🍁Bab 52🍁

15 8 0
                                    

"Sebenarnya dia sakit apa dok?" Berbekal mobil milik laki-laki asing di taman tadi, akhirnya bisa membawa Bagas ke rumah sakit dekat sini, sebut saja Rumah Sakit Islam. Walaupun namanya begitu, tapi dalam penerimaan pasien tidak memandang agama. Yang penting pasien sembuh seperti sedia kala setelah dirawat disini.

Saat ini aku lagi berhadapan duduk dengan dokter laki-laki yang umurnya seperti berkisar dua puluhan lebih, dimana ada name tag melekat di jas snelli kepunyaannya, yang namanya tertera di situ. Stefan Azell Milvano.


"Maaf sebelumnya, apakah anda bisa menghubungi orang tuanya untuk kemari kesini dan menemui saya?" ucap dokter Stefan.

Aku terdiam sesaat, pasalnya aku sama sekali tidak mempunyai nomor salah satu orang tuanya. Bahkan saling kenal aja tidak. "Maaf Dok saya tidak punya nomor orang tuanya, tapi Dok, kasih tahu saya sebenarnya teman saya ini sakit apa?" tanyaku penuh harap.

"Maaf saya belum bisa menjawab pertanyaan anda sebelum orang tuanya tau, apakah anda ada mempunyai salah satu nomor anggota keluarga dari saudara Bagas?"

Aku menghela nafas panjang mendengar jawabannya. "Saya tidak punya nomor salah satu anggota keluarganya Bagas, tapi saya akan segera mencari tahu."

"Baiklah, tolong secepatnya dicari tahu, karena ini bukan hal sepele." Ucapan dokter Stefan makin membuatku penasaran setengah mati. Sebetulnya Bagas itu sakit apa? Sampai dokter bilang kalau ini bukan masalah kecil. Gini ceritanya aku akan terus dirundung rasa penasaran.

"Tunggu sebentar Dok, saya mau pergi menemui temannya Bagas, barang kali dia punya nomor orang tuanya," ujarku sambil bangkit dari duduk, dokter Stefan mengangguk mengiyakan.

"Nanti kalau mau ketemu saya lagi, temui di ruangan pribadi saya. Jalannya dari sini belok ke kiri lalu belok ke kanan, anda jalan saja terus ke depan, nah disitu terdapat empat ruangan, cari nama saya yang tertera di depan pintu." Aku mengangguk paham, tanpa buang-buang waktu lagi, aku bergegas pergi. Kemana lagi selain pergi ke kost Bagas.

Beruntung baru keluar dari rumah sakit, ada tukang ojek lewat, segera ku pinta untuk mempercepat laju kendaraannya. Tak lama kemudian aku sudah sampai di pekarangan kost Bagas, dari tempat ku berdiri di depan pagar terlihat ada satu orang perempuan serta satu orang laki-laki yang dari perangainya seperti kedua teman kost Bagas. Kalau tidak salah namanya Jamal sama Siti, nampak jelas mereka saling adu mulut. Pertikaian mereka terdengar lebih jelas disaat aku mulai berjalan mendekat. Dimana mereka belum mengetahui keberadaan ku disini.

"Gue 'kan sudah bilang jagain dia, kalau dia kenapa-kenapa gimana?! Lo tau sendiri kondisinya itu bagaimana!"

"Siti sudah bilang sama Bagas diam dulu di kamar sedangkan Siti mau bikin bubur buat Bagas. Waktu Siti ke kamarnya mau nganterin bubur, Bagas sudah tidak ada di kamarnya. Siti sudah cari ke mana-mana tapi tidak ketemu, orang-orang di sekitar sini Siti juga tanya tapi mereka bilang nggak liat," ucap cewek bernama Siti itu dengan sedikit terisak. Semarah-marahnya laki-laki kalau melihat perempuan nangis di hadapannya apalagi karena ulahnya pasti sangat merasa bersalah dan ujung-ujungnya akan kembali merendahkan intonasi bicaranya. Terbukti seperti Jamal sekarang ini, dia langsung memeluk Siti sambil mengucapkan kata maaf berulang kali, yang dibalas Siti dengan ucapan maaf juga.

Kini aku sudah berdiri tepat di hadapan mereka, saat itu juga mereka tersadar, dan langsung menatap ke arahku. Kedua mata Siti maupun Jamal nampak memerah, ku yakin mereka sangat khawatir sekali.

"Bagas ada di rumah sakit islam, dia pingsan tadi di taman. Dan dokter memintaku untuk menyuruh orang tuanya agar segera kesana, tapi aku tidak punya nomornya. Jadi aku kesini ingin meminta nomor orang tuanya Bagas ke kalian berdua kalau ada, kalau tidak nomor salah satu anggota keluarga Bagas," ucapku langsung ke inti. Detik itu juga mereka berdua tersentak kaget pastinya, sesuai dugaan. Jamal mendekati ku dengan berurai air mata.

"Gimana keadaan sahabat gue?! Dia tidak kenapa-kenapa 'kan?!" Aku terkejut ketika Jamal tiba-tiba menarik kerah bajuku kuat.

"Jamal sabar!" Buru-buru Siti menarik lengan Jamal agar menjauh dariku.

"Jawab gue! Bagas baik-baik saja, iya 'kan?!" ketusnya dengan nada suara meninggi.

"Dia masih belum sadarkan diri, makanya itu aku terburu-buru kesini untuk meminta nomor orang tua---"

"JAMAL TUNGGU!"

Belum juga menuntaskan kalimat, Jamal menyosor pergi begitu saja tanpa bersuara lagi. Siti pun segera mengejarnya, ku lihat pintu kost mereka terbuka lebar, sebelum ikutan menyusul aku menutup pintunya terlebih dahulu, lalu secepat mungkin berlari mengejar mereka berdua.

Beberapa menit kemudian, kami bertiga sudah sampai dirumah sakit, Jamal langsung masuk tanpa permisi ke ruangan Bagas lagi dirawat, setelah ku kasih tahu dia dimana ruangannya berada. Di dalam ruangan itu sudah tidak ada dokter yang menunggu keberadaan kami, melainkan hanya ada seorang perawat laki-laki tengah menunggu Bagas yang masih belum juga siuman. Dia bertindak cepat ketika Jamal bersikap brutal, mengguncang-guncang tubuh Bagas, memintanya agar segera bangun sambil menangis, aku pun juga ikut membantu perawat itu menahan Jamal agar tidak melakukan hal yang berlebihan. Ku lihat Siti hanya bisa menangis melihatnya.

"BAGAS LO HARUS BANGUN, GUE NGGAK RELA LO PERGI!" teriak Jamal nyaring, sambil terus memberontak. Pada akhirnya aku pun malah terpancing suasana gara-gara dia.

"Jaga sikapmu, ini rumah sakit! Bagas tidak kenapa-kenapa, dia sebentar lagi akan bangun kata dokter. Kau begini sama saja menganggu waktu tenang Bagas, bersikaplah sedewasa mungkin. Daripada buang-buang tenaga dengan cara berontak begini, mending temui dokter untuk mendapat kejelasannya lebih lanjut." Untungnya Jamal mau menurut, dia pun berusaha mengontrol perasaannya yang campur aduk.

"Tolong jaga Bagas sebentar, kalau dia siuman tolong secepatnya kasih tahu ke kami. Temui saja kami di ruangan dokter Stefan." Perawat itu menganggukan kepalanya. "Makasih," lanjutku yang dibalasnya akan anggukan kepala lagi, tentunya dengan seuntai senyuman kecil.

"Ayo kita temui dokter Stefan." Aku berjalan lebih dulu, diikuti Jamal serta Siti di belakang, menemui dokter Stefan untuk mengetahui apa sebenarnya penyakit yang mengidap di tubuh Bagas?

Bersambung...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang