🍁Bab 60🍁

22 6 0
                                    

"Jadi, lo sudah tahu semuanya?"

"Iya, kemarin ayah sendiri yang jelasin semuanya, btw mama juga ada di apartemen. Lo nggak ke sini dulu nih sebelum kami berangkat ke Bogor?"

"Lain waktu aja, nanti liburan sekolah gue pulang ke Bogor. Tidak mungkin juga 'kan gue tinggalin Siti sama Jamal berduaan doang di kost, ntar takutnya si Jamal kebablasan lagi."

'Pluk!

"Oi enak aja lo ngatain gue sangean!"

Bantal sofa mendarat tepat di bahu kanan, kontan saja gue menoleh ke samping, di mana Jamal cuma memakai celana boxer tanpa baju, sambil menatap gue sinis. Gue hanya menyengir kuda, tanpa ada rasa bersalah.

"Hayo lho ngamuk tuh orang!" ucap Joni menakut-nakuti, tapi tidak mempan buat gue. Malahan yang ada, hampir tiap kali liat Jamal kesal gue liatnya malah lucu.

"EH JONI, IJINKAN GUE MENABOK ABANG LO!"

"IYA BANG, TABOK AJA!"

Teriakan memekikan telinga dari sebrang sana spontan mengolah gue langsung menjauhkan HP dari telinga. Nyaris saja gue hampir budek di buatnya, melihat gue kebisingan, Jamal mentertawakan gue.

"Ketawa lo setan!" umpat gue tidak terima. Gue makin geram lantaran Jamal menjulurkan lidahnya seperti anjing, lalu menepuk-nepuk bokongnya berulang kali. Mengejek.

"Awas aja lo!" Gue meletakkan HP ke atas meja, berniat mau mengepung Jamal untuk menendang bokongnya.

Dengan gesit Jamal menghindar, sedikit lagi gue meraih ujung bajunya, namun mendadak gue merasa lemas seakan-akan tenaga di hisap habis. Akibatnya gue kehilangan kendali dan terjatuh. Jamal yang berada di depan gue langsung putar balik.

"Eh lo kenapa Gas?!"

"Hello! Kenapa tuh?!"

Ah sial! Gue lupa mematikan telponnya tadi. Nyaris saja gue mengatakan sejujurnya ke Jamal tadi. "NGGAK PAPA!" sahut gue agak lantang, supaya kedengaran sampai ke sana. Rupa-rupanya Jamal mengambil HP gue. Degup irama jantung berdetak tidak karuan, takutnya Jamal membongkar rahasia gue. Mau merebut HP darinya juga tidak bisa, gue sudah sangat lesu, tidak berdaya.

"Serius nih nggak papa? Gue jadi khawatir nih, gue ke situ ya?!"

"Jangan! Eh maksud gue, abang lo baik-baik aja Jon, ini tadi dia kepeleset di teras waktu ngambil paket."

Jamal menatap gue sambil mengedipkan salah satu matanya, membuat gue tersenyum tipis. Ternyata dugaan gue salah, nyatanya dia tidak membocorkan rahasia tentang penyakit yang gue derita ini ke Joni.

"Hah?! Hahahahahaha .... gila, malu banget gue kalau jadi lo bang!" Gelak tawanya dari sana terkesan lucu. Gue meminta Jamal agar menutup telponnya, dikarenakan gue makin lesu. Pandangan gue juga mulai berkunang-kunang. Beruntunglah dia paham.

"Jon, gue matikan dulu ya telponnya? Ini ada tetangga ngasih sup, kami mau makan dulu," bohongnya, diselingi dengan tawa paksa sebentar.

"Ah iya, makan aja dulu, assalamu'alaikum."

"Walaikumsalam,"

'Tut!

Bertepatan dengan berakhirnya telpon, gue melihat Jamal makin lama makin buram. Jamal langsung sadar, dan gue masih dapat mendengar dia berteriak memanggil Siti berulang kali, sampai Siti datang menghampiri kami. Pas itu juga, pandangan gue sepenuhnya berubah jadi hitam. Penampakan mereka berdua juga sudah tidak bisa dijangkau lagi.

***

"Maafin papa ya Ray, karena saat itu papa pernah bilang mau ketemuan sama teman papa, Om Davin sama anaknya, Kayla. Padahal papa ketemuan sama tante Kinan, sekali lagi maaf ya?"

Saat ini kami berdua lagi berada di ruang keluarga, aku yang menyuruhnya agar menceritakan serinci mungkin. Ternyata papa menerimanya dengan tulus, dan mau menceritakan awal mulai tante Kinan menyuruh papa agar jadi pasangan pura-pura. Di simpulkan bahwa papa hanya menolong saja, bukan merebut istri orang, dan aku memahami itu.

"Iya, tidak masalah, yang penting sekarang semuanya sudah clear. Dan mereka kembali harmonis," balasku sembari menebar senyum tipis.

"Ngomong-ngomong, bagaimana hubunganmu dengan Bagas? Kamu berteman dengannya atau belum?" Dua pertanyaan sekaligus dilontarkan, mendengar nama Bagas aku jadi teringat dengannya, kira-kira kondisinya sekarang bagaimana? Apakah makin memburuk? Di lihat dari dirinya yang belum melakukan pengobatan intens.

Aku berharap dia dalam keadaan baik-baik saja, semoga Tuhan selalu memberikan dia kesehatan, dan diangkat penyakitnya, karena mukjizat datang kapan saja apabila sang penguasa langit dan bumi berkehendak.

"Ya, aku sudah berteman dengannya, walaupun dia itu kadang sok asik." Papa tertawa mendengar omonganku barusan, pasalnya yang ku bilang tadi benar adanya.

"Walaupun begitu, suatu saat nanti kamu akan merindukan sikap sok asiknya itu," ucap papa, sembari mengaduk-aduk kopi hangat.

Aku menatapnya lekat, ucapan papa sukses membuatku terdiam.

'Mendengarnya, kenapa hatiku mendadak jadi takut begini?'

"Eh ada apa nih rame-rame? Ikut gabung dong!" Tiba-tiba saja Dafis datang sambil membawa setoples keripik pisang yang dibelinya pagi tadi. Dia duduk di samping ku, di mana mulutnya mengunyah keripik.

"Ini kakakmu merengek mau kawin," ucap papa ngasal, di ikuti dengan tawa meledek.

"Ish papa nggak bener itu!" sanggahku, namun Dafis memakan bulat-bulat kata yang keluar dari mulut papa. Dia menoleh ke arah ku, terlihat jelas kedua pupil matanya yang kehitaman melebar total.

"Serius mau kawin?!" tanyanya seraya memandangku dari bawah sampai atas.

"Bukannya apa, tapi badan kecil gini nggak ada otot mau kawin ... bwahaha ...!" sambungnya meledek, diakhiri dengan tawa kerasnya.

'Pletak!

Tanpa ragu aku menjitak jidatnya, sehingga menyebabkan dirinya meringis ngilu, beberapa kali dirinya mengusap-usap dahi yang jadi pelarian rasa kesal ku kepadanya. "Rasain! Makanya jangan ngeledek terus, mentang-mentang punya otot gede, kakaknya sendiri di katain." Aku memutar kedua bola mata malas.

"Iya-iya maaf." Sekilas aku melirik ke arahnya yang lagi manyun. Sedangkan papa lagi-lagi tertawa kecil.

"Sudah-sudah, bagaimana kalau kita makan siang hari ini di luar, setuju?"

"SETUJU! AYO PAH BERANGKAT SEKARANG!" Bagaikan anak kecil, Dafis bersorak riang sembari melompat-lompat kegirangan. Tingkah Dafis sekarang ini berhasil membuat papa makin tertawa. Papa pun berdiri, lalu mengacak-acak rambut Dafis penuh kasih sayang, seperti yang biasa dilakukan kepadaku. Aku tersenyum melihatnya, kemudian juga ikut berdiri, tanpa basa-basi papa merangkul kami berdua.

"AYO BERANGKAT!"

"AYO!" Serentak aku sama Dafis mengucapkan kalimat yang sama. Habis itu kami bertiga pergi keluar untuk makan siang.

Bersambung...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang