🍁Bab 67🍁

24 8 0
                                    

Sudah dua bulan berlalu, kondisi ku sudah berangsur membaik, Dafis pun juga sama, dia tidak sering bengong lagi, walaupun dia tidak seceria dulu lagi. Sekarang aku lagi ada di rumah sakit, karena hari ini adalah jadwalku operasi mata, ada orang yang baik hati mau mendonorkan matanya. Selepas operasi nanti, aku akan mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya pada keluarga orang itu.

Aku sendiri bahkan tidak tahu siapa orang yang bersedia mendonorkan matanya ketika dia menghembuskan nafas terakhirnya. Aku turut berduka cita akan hal itu. Papa ku sebetulnya tahu siapa orang itu, namun dia akan memberitahukannya habis operasi nanti. Yang menemaniku kini hanya papa dan juga Dafis, biasanya Bagas turut menemaniku, tapi sudah seminggu ini dia tidak menemuiku, bahkan mengirimkan pesan saja tidak. Pernah aku meminta Dafis mengirimkan pesan ke nomornya, namun tidak dibalas, dan hanya centeng satu, itu berarti dia tidak aktif. Bukan hanya itu saja, Jamal maupun Siti nomornya sama-sama susah dihubungi.

Rencananya nanti selesai operasi, aku akan menemuinya di rumahnya. Ya memang, dia tidak mengkost lagi, lantaran penyakitnya makin memburuk, maka dari itu orang tuanya sudah lama berencana membawa Bagas ke rumah sakit di luar negeri, tetapi Bagas dulu menolaknya, tetapi sekarang dia akhirnya mau juga. Sebelum dia pergi, aku akan menjumpainya, ku harap mereka belum pergi.

"Sudah siap Dek?" Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan dari dokter tersebut. Walaupun dirinya memakai masker, tetapi dapat kupastikan bahwa dia menguraikan senyum, mungkin saja dia respect kepadaku karena sama sekali tidak menunjukkan ketakutan.

"Bagus, saya salut kepadamu," pujinya, sambil memegang suntik.

Beberapa jam telah berlalu, operasi sudah selesai, berjalan dengan lancar. Hari ini juga aku diperbolehkan pulang, sebab aku tidak suka berlama-lama di rumah sakit ini. Bahkan sampai di rumah pun papa masih saja merahasiakan siapa orang yang mau mendonorkan matanya itu untukku. Dafis pun juga sama, saat ku tanyai dia terus mengalihkan topik pembicaraan.

Tidak ada cara lain, aku sendiri yang akan mencari tahunya habis perban ku di buka. Mau tidak mau, aku harus menunggu waktu semingguan untuk melepaskan perban ini. Aku tidak sabar menunggu hari itu tiba, aku sudah rindu dengan pemandangan alam, terutama wajah orang-orang yang dekat denganku.

Setelah lumayan menunggu hari itu tiba, aku kembali lagi ke rumah sakit untuk membuka perban di mataku. Perlahan namun pasti, perban itu mulai terbuka, terpaan angin pun sangat kerasa. Dan perban tersebut sudah sepenuhnya terlepas.

"Sekarang buka matanya perlahan-lahan," titah dokter, aku segera menurutinya. Membuka mata secara pelan, namun pasti.

Saat mata terbuka, aku dapat melihat samar-samar ada dua orang memakai baju putih, dan ada dua orang yang lagi berdiri di sisi kiriku. Pandangan yang awalnya masih buram lambat laun mulai jernih, detik itu juga aku dapat melihat jelas wajah orang-orang yang ada di ruangan sini. Mataku  menuju ke arah papa, dia langsung meneteskan air matanya, ku lihat Dafis tersenyum lebar. Aku tidak sanggup menahan kebahagiaan ini, sampai air mataku turut turun. Papa segera memelukku, sesekali punggungku diusapnya.

"Alhamdulillah ya Tuhan, terimakasih," ucap papa penuh syukur, aku juga sama tiada henti mengucapkan terimakasih kepada Tuhan yang maha Esa. Melihat kami  berpelukan, dokter maupun suster saling bertukar pandang dan melemparkan senyum kecilnya. Papa menarik Dafis, membawanya agar ikut dalam pelukan hangat ini.

Setelah acara peluk-pelukan itu, inilah waktunya untuk menanyakan hal yang sudah lama bersemayam di otak. "Pa, siapa orang yang sudah mendonorkan matanya untukku? Aku juga ingin berterimakasih kepada keluarganya, karena sudah mengijinkannya."

Raut kebahagiaan papa berubah ketika aku bertanya barusan. Papa memandang Dafis tanpa ekspresi, Dafis pun cuma membalasnya dengan tatapan yang tidak bisa ku jelaskan dengan kata-kata. Akan tetapi tatapan aneh itu berakhir ketika papa kembali menatapku, kali ini dia mengembangkan senyum. Namun senyuman itu seperti sebuah paksaan yang mengharuskannya melakukan itu.

"Besok papa akan menjawabnya," ujarnya yang mengolah ku mendesah jenuh, lagian aku cuma bertanya siapa orang itu, tapi papa seolah-olah tidak mau memberitahukannya.

"Apa orang yang mendonorkan matanya itu orang yang ku kenal?" Dugaanku itu makin kuat, sebab wajah papa jadi memucat, bahkan dapat ku temui di pelipisnya ada sebutir keringat yang mengalir.

"Jawab Pa?!" desakku, kali ini detak jantung berdetak lebih cepat ketimbang biasanya. Takut bahwa orang itu ialah orang yang ku kenal selama ini.

"Dafis, jawab! Kamu tahu 'kan siapa orang itu?!" Aku menggeram marah, lantaran dia hanya diam membisu, dan membuang pandangannya.

"Kenapa tidak ada yang mau memberitahukannya hah?! Aku juga ingin tahu siapa orang itu?!" emosiku sudah mencuat, selimut yang menutupi sebagian tubuh, ku lempar asal.

"Baik, papa akan memberitahunya. Maaf Dok, Sus, apa bisa keluar sebentar?"

Dokter maupun suster tersebut keluar dari ruangan, sehingga tinggal menyisakan kami bertiga yang ditemani keheningan. Suasana hening itu dipecahkam oleh papa sendiri. Sebelum berbicara, nampak jelas kalau papa merasa keberatan. "Dafis, bisa ambilkan kaca itu?" Papa menunjuk ke arah cermin bulat yang menggantung di dekat pintu. Dafis pun segera mengambilnya, dan menyerahkannya ke papa. Dahiku mengkerut bingung, mau diapakan cermin itu.

Papa menghembuskan nafas beratnya, kemudian cermin ditangannya disodorkan. Aku mengambilnya penuh keheranan.

"Lihat matamu, dan ingatkan siapa pemilik mata itu. Papa yakin kamu tidak akan pernah melupakan tatapan itu."

Tanganku bergetar setelah mendengarkan ucapannya, ternyata asumsi ku bahwa orang tersebut ialah orang terdekatku ternyata benar. Sungguh, aku merasa tidak sanggup melakukannya. Namun jika tidak, selamanya aku tidak akan pernah tahu siapa orang itu. Bersusah payah aku meneguk air liur, cermin tadi ku arahkan ke wajahku dengan mata tertutup. Sebelum melakukannya, aku sekuat mungkin menguatkan diri. Kurasakan juga kedua telapakku mendingin total. Setelah memantapkan hati, aku membuka mata dan memandang cermin yang berisikan bayangan wajahku.

Dengan lekat aku memandangi mata orang tersebut, tak sampai bermenit-menit lamanya aku sudah mengetahui siapa pemilik mata ini. Cermin yang ku pegang barusan terjatuh ke lantai, tubuhku mendadak kaku, tidak bisa digerakkan. Mulutku pun juga sama, terasa kelu untuk digerakkan. Aku memandang ke arah papa dan juga Dafis yang mana mata mereka nampak memerah, melihat ke arahku.

"Yang sabar Nak." Papa langsung memelukku, aku ingin berlari tetapi langsung ditahan papa.

"Pa katakan padaku kalau mata ini milik orang lain, bukan punya dia! Pa, ini tidak lucu!" Tanpa terasa, air mataku turun begitu derasnya. Berulang kali aku memberontak, papa terus menahanku.

Dadaku sangat sesak mengetahui semua ini, bahkan hatiku juga terasa perih. Rasanya aku tidak sanggup menerima kenyataan pahit ini, kenapa harus dia? Kenapa bukan orang lain?!

"Tidak mungkin, papa pasti bercanda 'kan?" Aku menatap kedua mata papa yang berair dengan tersenyum pilu.

"Kamu harus menerima kenyataan ini Nak, kamu harus ikhlas."

Bukan ini jawaban yang mau ku dengar. Batinku ingin berteriak sekencang mungkin. "NGGAK MUNGKIN, AKU AKAN MEMBUKTIKAN KE PAPA KALAU DIA MASIH HIDUP! BIARKAN AKU PERGI!"

Lagi dan lagi papa menghalangiku.  Aku menjerit, tak bisa melakukan apa-apa, aku hanya bisa memukul dadaku sendiri dan mengacak-acak rambut begitu frustasi. Kenapa dia melakukannya?! Aku rela tidak bisa melihat, asalkan dia selalu berada disampingku.

"Kak, harus ikhlas, dia sudah tenang di alam sana." Aku menatap Dafis yang menangis. Saat itu juga, aku sedikit mendorong papa dan menuju ke arahnya. Kerah bajunya ku tarik, sehingga kami saling bertatap begitu dekat.

"INI TIDAK LUCU DAFIS! HENTIKAN LELUCON INI!"

"TAPI INI BUKAN LELUCON KAK, DIA SUDAH MENINGGAL SEMINGGU YANG LALU!"

Aku menjauh darinya, sampai mengenai tembok, tubuku merosot ke bawah. Bibirku bergetar hebat, kali ini aku menangis makin keras. Amarah dalam diri juga tidak bisa dikendalikan, aku mengambil vas bunga di atas meja dan melemparkannya penuh emosi.

"KENAPA KALIAN BARU MEMBERITAHUKANNYA SEKARANG?! AKU MASIH INGIN MELIHAT WAJAH BAGAS!" Saat itu juga, mendadak pandangan ku mulai gelap, dan tubuhku amburuk seketika. Sekilas aku masih bisa mendengar teriakan papa dan juga Dafis yang menyebut namaku. Habis itu mataku tertutup sempurna, tidak mengingat apa yang terjadi lagi.

Bersambung...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang