Hari ini juga, aku bersikeras mau ziarah ke makam Bagas. Padahal jauh di dalam lubuk hati, Bagas itu masih hidup, dan omongan papa sama Dafis hanyalah lelucon belaka. Aku akan memastikan semuanya, berharap mereka itu salah. Kini kami berjalan ke arah pemakaman, dilihat di atas gerbangnya ada tulisan TPU Teratai. Jika ini benar, bahwa Bagas sudah tiada, apakah aku bisa menerimanya?
Papa tersenyum lembut ke arahku, seolah mengatakan bahwa aku tidak pernah sendiri. Dari kejauhan mataku menangkap ada beberapa orang-orang yang lagi ziarah, dengan berpakaian hitam semua. Arah tuju kami semakin dekat ke arah mereka. Ketika persis di depan, aku terkejut lantaran orang-orang dari kejauhan tadi sebagian adalah keluarganya Bagas. Semuanya nampak bersedih, sembari menatap gundukan tanah yang mana ada nisan tertancap, bertulisan nama lengkap Bagas beserta tanggal lahir dan tanggal wafatnya. Sungguh, melihat makam itu membuat jiwaku seakan hilang.
Semuanya pada menatap kami, dan kompak melabuhkan pandangannya ke arah ku begitu lama, terutama tante Kinan. Dia berjalan ke arahku dengan matanya yang sembab, ku yakin dirinya tiada henti menangisi kepergian anaknya. Dia berhenti di hadapan ku. Tangannya yang hangat namun gemetar menangkup kedua pipiku, dan mengusapnya berulang kali begitu lembutnya. Tante Kinan menatapku terpaku, sebutir air matanya runtuh membasahi pipi.
"Anakku Bagas ..." Tante Kinan menerbitkan senyumnya, meskipun cairan bening itu masih berjatuhan. "mama sangat merindukan kamu sayang ... mama sangat merindukanmu." Tak kuasa menahan kepedihan di dalam hati, tante Kinan menyudahinya. Om Arthur juga melakukan hal yang sama, tatapannya menjurus dalam kepadaku, lalu disusul dengan senyuman hangat.
"Kita pulang ya, sebentar lagi akan turun hujan," ucap Om Arthur menenangkan, sembari mengusap punggung tante Kinan berulang kali.
"Aku tidak mau pergi sekarang, anakku ada disini, aku tidak mau kehilangannya lagi." Suaranya kian bergetar, sambil terus memandangku. Terlihat jelas om Arthur hanya bisa menghembuskan nafas beratnya.
"Besok kita akan kesini lagi." Tante Kinan sedikit mendongakkan kepalanya, memandang om Arthur yang mengembangkan senyuman. Aku tahu, dia harus bisa tersenyum di hadapan orang terkasih, menandakan bahwa dia kuat menghadapinya. Walaupun di dalam lubuk hatinya terbesit rasa sesak di hati, kehilangan putranya untuk selama-lamanya.
"Biarkan aku memeluknya." Tante Kinan mengalihkan pandangannya ke arahku dengan penuh harap.
Aku mengangguk mengiyakan, saat itu juga dia tersenyum cerah, dan langsung memelukku begitu erat. "Tolong, jaga mata anak tante baik-baik, tante mohon sama kamu," rintihnya akan permintaan, tak terasa air mataku turut turun, segera ku hapus dengan punggung tangan.
"Sudah pasti, aku akan selalu menjaganya. Terimakasih tante, sudah mengijinkan Bagas untuk mendonorkann matanya kepadaku." Tante Kinan melepaskan pelukan, dia mengangguk sambil masih tersenyum.
"Kamu juga harus berterimakasih kepada Bagas, dia pasti sangat bahagia kalau kamu sudah bisa melihat lagi." Tante Kinan menatap makam Bagas, kemudian menatapku lagi.
Aku mengiyakan ucapannya dengan menganggukan kepala. Dan mereka berdua pun ijin pamit pulang terlebih dulu, di susul dengan Joni. Adik Bagas itu juga sama halnya dengan yang lain, kedua matanya terlihat sembab dan kantong matanya sedikit memghitam. Sekilas dia menatapku dan tersenyum begitu tipis, nyaris tidak bisa ku lihat. Dia pasti sangat terpukul, aku sangat merasakannya.
Sekarang hanya tersisa aku, papa, Dafis, Jamal, Siti, satu orang cewek dan empat orang cowok yang terlihat familiar, namun aku tidak bisa mengingatnya. Aku menjongkokkan diri, menatap nisan tersebut lumayan lama. Kenangan indah dengannya melintasi pikiran, dan yang paling ku ingat waktu di taman dulu.
Teruntuk kesekian kalinya, cairan bening keluar dari mataku. Aku membiarkannya keluar tanpa menghapusnya. Di depan, ada Jamal yang menangis tanpa suara, dia juga tak kalah sedihnya ditinggalkan sahabat selama-lamanya. Siti yang ada disampingnya juga tidak bisa berbuat apa-apa selain ikut menangis, dan cewek yang satunya itu juga sama. Sedangkan ke empat orang laki-lai itu pada menundukkan kepala ke bawah, ku lihat salah satu dari mereka tubuhnya kelihatan gemetar hebat.
"Kenapa kalian tidak memberitahuku soal ini?" Dengan wajah kusut, Jamal memandangku, begitu juga Siti.
"Karena dia tidak mau lo tau sebelum operasi itu tiba. Dua minggu yang lalu keadannya makin parah," Jamal sekuat mungkin menjelaskannya, walaupun dia berbicara terbata-bata. Siti berulang kali mengusap bahunya, seakan memberikan sedikit tenaga.
Jamal mengusap kasar air matanya, tapi tetap saja keluar lagi. "Dia bilang ke kami, kalau dia meninggal, matanya di donorkan ke lo, karena dia bilang juga kalau dia sudah berjanji bahwa lo akan bisa melihat dalam jangka waktu sebentar lagi. Dan ternyata dia menepati janji itu." Jamal kembali terisak, dia tidak sanggup lagi berkata-kata.
Batinku tersiksa mendengar tuturannya barusan, ternyata itulah sebabnya mengapa Bagas waktu itu sangat yakin mengatakan bahwa aku tidak lama lagi akan bisa melihat. Tapi tidak pernah terpikir olehku bahwa orang itu adalah dia sendiri. Sebenarnya aku sangat kecewa padanya, karena meninggalkan kami secepat ini, dan aku juga menyesal tidak ada di sampingnya disaat raganya dibawa oleh malaikat maut. Namun aku teringat dengan ucapannya di rumah sakit dulu, dia pernah bilang bahwa takdir tidak ada yang tahu, dan dia juga bilang harus bisa menerima kenyataan. Sekarang pun aku mulai mengerti ucapannya, meski dalam hati masih sesak.
"Waktu di rumah sakit, sebenarnya bukan hanya kalian berdua tapi gue juga ada. Gue saat itu menemani Bagas, karena gue tidak bisa membiarkan dia sendiri menjaga lo, apalagi kondisinya jauh dari baik-baik saja. Andai lo tau Ray, dia dengan rela hati selalu menunggu lo sadar walaupun dia tidak bisa berdiri lagi dan hanya menggunakan kursi roda. Semisal lo bisa melihat waktu itu, lo pasti hampir tidak bisa mengenalinya lagi," terangnya lagi, tanpa memandangku sedikitpun.
Siti mengambil sesuatu dari dalam tasnya, ternyata itu adalah ponsel. Dia menyerahkannya kepadaku. Aku menyambutnya, dan melihat apa yang mau ditunjukan olehnya. Di HP itu terpampang jelas disaat aku lagi memegang tangannya, pandanganku terfokus ke arah dirinya yang duduk lesu di kursi roda, dimana tubuhnya terlihat kurus, rambutnya pun juga tidak selebat dulu lagi. Di lehernya ada syal yang melilit. Pemandangan itu membuatku syok, jantungku berdebar-debar tak karuan. Saat itu juga aku kembali menangis tanpa suara, mengabaikan tatapan sendu dari mereka.
Aku menatap nisannya, dan mengusapnya perlahan-lahan. "Kenapa kamu tidak jujur kepadaku Bagas? Kenapa kamu memilih merahasiakannya?" Tentu saja pertanyaan itu tidak mungkin dijawab. Aku menggenggam erat gundukan tanahnya, air mataku menetes ke dasarnya.
Tetesan air hujan mulai turun hingga mengenai kepala, aku mendongakkan kepala sebentar lalu berlari sekencang mungkin. Papa berteriak memanggil ku, namun aku mengindahkannya dengan terus berlari. Aku perlu waktu sendiri, tidak sanggup berada di situ berlama-lama, malahan yang ada makin membuatku dirundung penyesalan. Tak lama kemudian hujan turun begitu lebatnya, awan-awan hitam menggumpal memenuhi langit.
Aku menghentikan larian, lalu duduk di salah satu bangku jalanan. Air mataku bercampur dengan air hujan, dan mengabaikan tatapan aneh dari orang-orang sekitar. Kedua tanganku mengepal kuat, lalu memukul-mukul kursi tersebut, melampiaskan emosi di dalam diri.
'Kenapa kamu harus pergi secepat ini Bagas?! Aku tidak sanggup rasanya kehilangamu.'
End
Done.
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA [End]✓
Teen FictionStory 4 (Bromance, no BL!) ❝𝓚𝓲𝓽𝓪 𝓼𝓪𝓶𝓪-𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓱𝓪𝓽 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓳𝓾𝓽𝓪 𝔀𝓪𝓻𝓷𝓪. ❞ "Lebih baik disembunyikan, daripada diungkapkan." 🄳🄾🄽 🄲🄾🄿🅈 🄼🅈 🅂🅃🄾🅁🅈 🄿🄻🄴🄰🅂🄴‼️