🍁Bab 57🍁

16 5 0
                                    

Tok tok tok

"Bagas, itu adek lo di luar."


'Cklek!

"Hah? Yang benar aja lo, awas aja kalau bohong!" kata gue agak tidak percaya sama omongan Jamal. Akibat dia yang gedor-gedor pintu sambil teriak nyaring membuat gue terkejut bangun, rasanya jantung gue mau copot dari tempatnya.

"Iya benar, lo cek aja di luar."

Gue menyipitkan mata, mengawasi dirinya, namun dia bersikap biasa saja, memastikan bahwa ucapannya memang benar adanya. Untuk memastikannya, gue berjalan menuju pintu utama yang sudah terbuka lebar, tapi dari kejauhan tidak ada siapa-siapa. Gue pun mencek lebih dalam lagi dengan berjalan ke luar, saat gue menengok ke arah kanan, detik itu juga kedua bola mata gue melebar. Lantaran ucapan Jamal tadi bukan hanya omongan belaka, melainkan benar adanya. Gue tidak bisa berkata-kata lagi ketika Joni tiba-tiba memeluk gue begitu erat. Seperti anak yang melepas rindu kepada orang tuanya ketika mau pergi merantau.

Joni terisak dalam pelukan, gue membalas pelukannya yang hangat, sembari mengusap punggung belakangnya beberapa kali. Setelah dirinya tenang, gue menyuruh Joni agar masuk ke dalam supaya tidak di lihat orang lain. Gue lihat Jamal maupun Siti tengah mengintip di balik tembok, ketika pandangan mereka beradu dengan pandangan gue, mereka pada menghilang dalam sekejap. Sekarang gue fokus sama Joni, adek gue yang satu ini lagi menekukan mukanya ke bawah.

"Lo kok bisa ada di sini?" tanya gue memulai.

Perlahan namun pasti, dia pada akhirnya mendongakkan kepalanya juga, menatap gue dengan sendu. "Kemarin gue pulang ke rumah mau ngambil baju, terus liat ayah bawa koper. Ya gua tanya mau ke mana, katanya mau ke Jakarta menyusul mama,"

"Dan lo ikut," sahut gue, yang dianggukinya.

Gue menghembuskan nafas berat, seraya memijit pelipis pelan sebentar. "Kemarin lo ke mana? Apa lo tau kalau mama sama papa berantem di rumah Om Arsa?"

"Gue sama ayah diam di apartemen, terus ayah pergi, katanya mau pergi ke rumah Om Arsa, di situ gue sudah menduga bakalan ada mama. Sudah pasti mereka berdua akan bertengkar di sana, kalau gue ikut malah yang ada nyakitin telinga doang, mending diam di apartemen aja."

"Dan lo tau nggak kalau mama sama papa bakalan bercerai?"

"Tau, kemarin ayah bilang mau cerai."

"Terus, lo bilang apa?" tanya gue penasaran.

"Nggak bilang apa-apa."

"Itu berarti lo setuju mereka bercerai?" tanya gue ke sekian kalinya, tanpa mengeluarkan suara, Joni hanya menganggukkan kepalanya tanda iya. Sepertinya Joni sudah tidak ada niatan lagi ikut campur dalam urusan orang tua kami. Jujur saja, gue pun juga pusing ikut campur masalah orang tua. Susah sekali menyuruh mereka saling berdamai.

"Kalau mereka bercerai, lo mau tinggal sama siapa?" Joni menatap gue begitu dalam, dia tidak langsung menjawab pertanyaan gue, melainkan diam sejenak.

"Gue bisa tinggal sendiri, uang tabungan gue di bank juga sudah banyak, bisa beli rumah sendiri, soal pekerjaan juga gampang. Lagian ayah sama mama tidak peduli sama gue, saat gue kabur dari rumah aja nggak ada satupun dari mereka yang mencari, cuma lo doang bang yang nanya posisi gue di mana, mereka mah apa? Orang tua yang egois, gue ke sini juga niatnya cuma mau ketemu lo doang bang, gue kangen sama lo," katanya tak main-main. Gue mengembangkan senyum simpul menanggapinya.

"Gue juga kangen sama lo, padahal habis magang 4 bulan ini, gue rencananya mau ke Bogor mau nemuin lo Jon," ucap gue sesuai kenyataan. Memang begitu rencana awalnya, tapi ternyata Joni duluan yang datang menemui gue.

"Kita tinggal di sini aja, nggak usah balik lagi ke Bogor."

Gue menatap Joni lamat-lamat. "Terus sekolah lo gimana? Mau putus di tengah jalan?"

"Bukan begitu maksud gue, sebentar lagi gue lulus SMP, habis lulus gue nyambung sekolah disini."

"Bentar-bentar, lo sampai kapan liburannya?"

"Satu bulan. Kak, temenin gue terus ya sekolah di sini sampai lulus?" Joni memegang lutut kanan gue, sambil mengeluarkan puppy eyes-nya.

"Bisa iya bisa tidak, tapi gue usahain iya," balas gue disertai seuntai senyum. Tapi Joni malah menatap gue dengan dahi mengkerut.

"Kok ngomongnya gitu? Seolah-olah lo mau ninggalin gue?" Kedua mata Joni terlihat berkaca-kaca. Benar-benar cengeng sekali adek gue yang satu ini, padahal baru aja ngomong begitu sudah mau nangis, apalagi beneran gue tinggalin selama-lamanya, entah bagaimana jadinya dia.

"Begini Jon, umur itu tidak ada yang tahu, siapa tau 'kan besok gue meninggal."

"Jangan ngomong gitu! Gue nggak suka!" Joni menangis habis gue berkata demikian. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, tidak membiarkan gue melihat mukanya. Dari luar, tubuhnya terlihat gemetar, nampaknya dia benar-benar menangis, bukan bercandaan.

"Sudah nggak usah nangis, gue nggak akan tinggalin lo, gue akan terus ada di sisi lo sampai kapan pun itu." Gue menepuk-nepuk pelan bahu kanannya, upaya meringankan tangisannya itu.

Perlahan namun pasti, jari-jemari Joni mulai merenggang, dan mulai juga terlihat wajah sepenuhnya. Kedua matanya memerah, serta ujung hidungnya juga demikian. Lagi dia menundukkan kepala ke bawah.

"Jangan cengeng, lo makin jelek." Gue tertawa kecil, mencairkan suasana. Tak terima di bilang jelek, Joni menendang kaki gue.

"Ngeselin lo!"

Gue hanya tertawa terbahak-bahak, hal itu makin membuat kedua pipinya memerah malu. Joni menghapus air matanya dengan punggung tangannya itu, lalu memandangi gue dari bawah sampai atas.

"Tumben amat lo Kak pake baju lengan panjang sama celana panjang saat hari panas begini."

Gue memperhatikan pakaian yang sedang gue pakai, lalu kembali menatap Joni yang agaknya keheranan. "Cuma ke pengen aja," jawab gue, tak lupa akan senyuman.

"Bohong, itu kenapa tangan lo banyak bintik-bintik merah? Dan itu leher lo kenapa ada benjolan gitu?" Dua pertanyaan sekaligus di lontarkannya.

Gue melirik ke kedua punggung tangan gue, ternyata bintik-bintik merah itu kian menyebar, padahal tadi tidak separah ini bintik-bintiknya. Gue juga memegang leher, dan merasakan ada benjolan yang bersarang di sana. Rupanya gejala penyakit leukima yang gue derita makin meluas.

"Ouh, bintik-bintik merah ini karena gue di gigit nyamuk malam tadi, banyak banget, jadinya gue malu keluar kalau cuma pake baju lengan pendek, ntar dikira cacar lagi. Kalau benjolan di leher ini, habis di sengat tawon, kemarin mau ngambil mangga di depan eh malah kena sarangnya."

Joni terdiam sambil terus menatap gue, seakan-akan mengintimidasi.

"Serius? Nggak bohong 'kan?" tanyanya memastikan.

"Iya Joni, masa gue boong," ucap gue meyakinkan.

"Gue kirain lo ada penyakit serius, soalnya gue pernah baca di artikel orang yang punya bintik-bintik merah sama ada benjolan di lehernya itu dia menderita penyakit kanker darah. Makanya tadi gue kaget melihatnya, untungnya cuma di gigit nyamuk sama di sengat tawon, bentar lagi juga sembuh tuh." Habis berkata demikian, dia mengambil segelas aqua yang berada di atas meja, lalu meminumnya.

Gue cuma bisa tersenyum kikuk.

'Maafin gue Jon, harus bohongin lo.'

Bersambung...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang