"Bentar-bentar gue ambilin tisu."
Menunggu Jamal mengambil tisu, gue menutup hidung agar yang lain tidak bisa melihatnya. Darah yang keluar dari hidung menetes mengenai dasar meja. Tiba-tiba saja gue mendadak pusing, bahkan kedua telapak tangan gue jadi pucat pasi seperti kekurangan darah. Gue juga merasa pandangan makin lama makin memudar. Orang-orang disini juga lambat laun mulai berubah warna jadi hitam seutuhnya. Ada apa dengan gue? Kenapa ini!
"Ini Gas tisu-nya." Jamal menyodorkan sebungkus tisu di hadapan gue, dia mengeluarkan satu tisu dan menyerahkannya ke gue. Saat gue ingin menggapai tisu itu, pandangan gue langsung berubah jadi hitam sepenuhnya.
'Bruk!
"BAGAS! TOLONG DONG TOLONGIN TEMAN GUE!"
Samar-samar gue dapat mendengar suara ricuh. Gue juga merasa ada beberapa tangan yang mengangkat tubuh gue, setelah itu gue benar-benar tidak ingat apa-apa lagi.
***
"Bagaimana ceritanya kamu jadi bisa ke rumah ibu itu?" Setelah pamit dengan ibu-ibu tadi, aku beserta Dafis pergi ke restaurant. Sebetulnya aku sudah membujuk Dafis agar pulang saja biar dia bisa istirahat, tetapi adikku yang satu ini keras kepala sama persis denganku. Dia tetap bersikeras ingin pergi ke restaurant ini, katanya dia bosan di kamar terus nggak ngapa-ngapain. Pada akhirnya aku menurut saja, itulah mengapa kami ada disini jadinya.
Keadaanya kini sudah jauh membaik, aku menghela nafas lega jadinya. Terlihat dia meneguk minumannya sampai setengah, lalu menatapku.
"Tadi sehabis pulang dari rumah teman ak---"
"Bentar, kamu ini mana yang benar. Tadi perasaan di telpon kamu habis balik dari sekolah, sekarang habis balik dari rumah teman." Dahiku mengkerut bingung. Apa aku yang salah dengar tadi di telpon atau dia yang salah ngomong. Ku lihat Dafis menyengir kuda, dia menggaruk tengkuknya. Entah itu gatal atau memang sengaja digaruk.
"Hehehe sebenarnya habis dari rumah teman. Di telpon tadi aku salah ngomong, lagian juga aku baru besok turun ke sekolah."
"Ada-ada saja." Dafis tersenyum lebar menanggapi, sampai deretan gigi putihnya terlihat.
"Coba cerita selengkapnya dari awal kejadian," pintaku yang langsung di balasnya akan anggukan kepala.
"Habis dari rumah teman, aku sengaja mau pulang ke rumah lewat jalan pintas biar lebih cepat sampainya. Terus waktu di jalan tiba-tiba aja ada mobil yang lewat cepat banget kayak lagi balapan, habis itu dari depan ada truk, mungkin nggak bi---"
Aku mendengarkan ceritanya dengan seksama. Namun ceritanya malah terhenti di jalan, salah satu alis ku terangkat sebelah. Bagaikan disambar sesuatu, Dafis berubah jadi orang ketakutan. Seketika aku baru sadar bahwa dia itu memiliki trauma, dengan bodohnya aku memintanya tadi buat bercerita. Bergegas aku berganti posisi ke samping dirinya duduk. Tetesan keringat mengalir deras di dahinya, tubuhnya pun juga gemetar tak karuan. Dia melirik kesana-kemari dengan ketakutan. Sebelum dirinya jadi tidak terkendali, sesegera mungkin aku memeluknya erat-erat. Takut jikalau dia pergi tidak tentu arah seperti dulu, dan itu bisa membahayakan dirinya.
"Maaf, aku benar-benar lupa soal itu. Sudah jangan dipikirkan, hilangkan kejadian buruk itu dari pikiranmu," ujarku berusaha menenangkannya. Dafis menangis kecil, tatapan orang-orang di restaurant ini tertuju pada kami. Beberapa dari mereka juga bisik-bisik sambil melihat ke arah kami berdua, entah apa yang mereka katakan. Tapi yang pasti, mereka keliatan menggosipkan hal yang tidak-tidak.
"Sekali lagi maaf." Dafis mencengkram kuat bajuku. Sepertinya dia sedang berusaha semaksimal mungkin menghilangkan ketakutan di dalam dirinya. Aku dapat merasakan energi itu.
"Kita pulang sekarang ya, biar kamu bisa istirahat dengan tenang di rumah." Meskipun tidak dijawab dengan kata-kata, Dafis mau menganggukan kepalanya tanda setuju dengan pintaku barusan. Aku membantunya berdiri, dan meletakkan pergelangan tangan kanannya ke pundak kananku, kemudian tangan kiri ditaruh ke pinggangnya. Lalu kami berdua keluar dari restaurant itu.
Dilihat Dafis lagi mengatur pernafasannya, dengan tangan satunya lagi aku gunakan untuk menelpon pak Samsudin selaku supir di rumah kami. Beliau dengan tepat mengangkat telponnya, dan aku menyuruhnya agar segera kemari menjemput kami setelah di berikan lokasinya. Sebenarnya motor Dafis ada disini, tapi tidak memungkinkan membonceng Dafis dalam keadaannya seperti ini. Yang ada nanti dia malah jatuh. Sembari menunggu pak Samsudin datang, aku membawa Dafis ke bangku bawah pohon rindang dekat restaurant, berakhirlah kami duduk di sini. Ku sandarkan kepala Dafis di bahuku, seraya mengusap-usap kedua telapak tangannya bergantian. Dia memang seperti ini kalau traumanya kambuh, setidaknya traumanya mulai berkurang setelah diusap kedua tangannya.
Dafis menjadi diam seribu bahasa sambil menatap lurus ke depan, dan aku memaklumi itu. Dia begitu karena lagi mengosongkan pikiran, biar ingatan buruk itu benar-benar menghilang di pikirannya. Untuk saat ini aku tidak mau mengajaknya bicara dulu, biarkan dia menenangkan diri sejenak. Aku pun mengusap rambutnya secara perlahan, agar dia makin tenang. Dan benar saja, kedua mata Dafis menutup. Tidur. Aku tersenyum melihatnya, dia masih keliatan mungil meski sudah menginjak usia remaja. Apa ini yang dinamakan baby face?
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA [End]✓
Teen FictionStory 4 (Bromance, no BL!) ❝𝓚𝓲𝓽𝓪 𝓼𝓪𝓶𝓪-𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓱𝓪𝓽 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓳𝓾𝓽𝓪 𝔀𝓪𝓻𝓷𝓪. ❞ "Lebih baik disembunyikan, daripada diungkapkan." 🄳🄾🄽 🄲🄾🄿🅈 🄼🅈 🅂🅃🄾🅁🅈 🄿🄻🄴🄰🅂🄴‼️