🍁Bab 63🍁

27 8 0
                                    

Lima bulan kemudian ...

"Lo mau pergi kemana Gas?"

Baru saja selesai mengenakan hoodie, Jamal menegur gue dengan menepuk pundak dari belakang. Kontan saja gue berbalik badan, menjumpai Jamal yang sedang memakai topi.

"Ke taman, mau ketemuan. Kalau lo sendiri mau kemana?" tanya gue balik, sambil memperhatikan penampilannya dari bawah sampai atas.

"Ke Indomaret, mau beli tepung segitiga, si Siti mau bikin kue," jawabnya yang gue sambut dengan ber'oh pelan.

"Kalau lo sendiri mau ketemuan sama siapa hayo? Sama Caca ya? Ihiy!" godanya, di sertai akan cubitan pelan di pinggang sebentar.

"Ih apasih, enggak lah," balas gue yang berhasil mengubah dahi Jamal jadi mengkerut.

"Lah, terus sama siapa?"

Gue mendekati telinganya, dan mulai membisikkan sesuatu. "K-e-p-o." Gue terkekeh pelan, lantaran ekspresi Jamal berubah jadi datar.

"Sesuka hati lo dah, asal jangan kecapean aja, ntar bisa-bisa gue diamuk masa sama orang tua lo."

Gue terkekeh pelan, habisnya ekspresi Jamal terlihat lawak. Memang, keluarga gue termasuk om Arsa sudah mengetahui tentang penyakit yang gue derita ini. Awalnya saat mereka tahu merasa kecewa dengan gue, terutama nyokap marah banget sambil nangis-nangis karena gue tidak jujur padanya lebih dulu.

Sebenarnya nyokap sama bokap Bersikeras menyuruh gue untuk terus istirahat. Ya gue tau itu, tapi bagaimanapun juga bosen banget diam doang di kost. Bukan hanya itu saja, orang tua gue memaksa supaya tinggal serumah sama mereka, tapi gue menolak karena masih betah tinggal di kost. Perlu diketahui, rumah gue di Bogor di jual oleh bokap dan juga nyokap, bahkan Joni juga pindah sekolah ke Jakarta. Alasannya cuma satu, yaitu tidak mau jauh-jauh dari gue.

Minggu lalu aja gue habis kemoterapi, kata dokter juga pernah bilang bahwa gue harus transplantasi sumsum tulang, apalagi tujuannya kalau bukan mengganti sumsum tulang yang rusak dengan sumsum tulang sehat. Orang manapun pasti ngeri mendengar dirinya harus di transplantasi. Jujur gue takut sekali, takutnya itu bakalan gagal dan malah memperburuk. Ah sial! Gue nggak mau berpikiran buruk seperti itu. Kemoterapi aja sudah bikin jantung dag dig dug tak karuan. Sekarang pun gue masih sedikit merasa pusing dan nyeri tulang, namun gue tidak mau memberitahu ke Jamal, ntar yang ada dia ngadu ke nyokap.

"Dah sana pergi, gue juga mau pergi," usir gue sembari mendorong tubuhnya pelan, mengolah bibirnya melengkung ke bawah.

"Anjir ngusir! Ntar gue kasih tahu Caca kalau lo orangnya kasaran," ancamnya yang gue tanggapi biasa saja.

"Terserah, lagian Caca nggak mungkin percaya sama lo."

Huh berbicara tentang Caca, gue jadi teringat dua bulan yang lalu. Waktu itu gue mau konfes ke dia, alias nyatain perasaan. Baru juga mau jujur, sudah bawain coklat sama bunga, dia malah curhat duluan ke gue. Katanya dia itu tidak mau pacaran, tapi maunya langsung menikah. Mendengar itu, pupus sudah harapan gue. Tetapi gue tetap menghargai keputusannya, makanya gue sudah berencana habis lulus sekolah, lulus kuliah, terus kerja, gue langsung melamar Caca. Itu pun kalau gue masih di beri umur. Gue yakin kok dia itu juga suka gue balik, kelihatan banget sikapnya yang berbeda ke gue dibanding dengan teman-teman cowoknya yang lain.

"Iyadeh, gue duluan ya, hati-hati."

"Ya, lo juga hati-hati." Jamal mengacungkan jari jempolnya, kemudian motor vario miliknya sudah menghilang dari pandangan.

Gue pun segera pergi ke tempat ojek yang lagi mangkal di depan. Padahal gue bisa aja pergi ke taman jalan kaki atau pakai motor, tapi situasinya tidak bisa, kadang gue mendadak lemas dan pusing. Malahan yang ada gue pingsan di tengah jalan, pernah satu kali gue mengalaminya, alhasil orang tua gue marah banget, takut terjadi hal buruk kepada gue, kata mereka sekali lagi melihat gue naik motor sendirian, nama gue hilang di kartu keluarga. Begitulah ancamannya, tidak main-main bukan?

Akhir-akhir ini gue sering sekali pingsan, lemah sekali, tidak seperti dulu lagi. Tiap hari gue terus merasa kesakitan, baik itu pusing, muntah, nyeri, kejang, demam, bahkan menggigil. Pokoknya banyak lah, bikin gue tidak semangat hidup.

"Dek, sudah sampai."

"Hah?"

"Sudah sampai!" ulang mamang gojek meninggikan suaranya. Gue turun dari motor, lalu melepaskan helm-nya. Kok tidak kerasa ya sudah sampai aja, padahal tadi masih di depan kost. Ini nih kebanyakan melamun.

"Nih Pak, kembaliannya ambil aja." Uang kertas warna biru dengan nominal lima puluh ribu gue serahkan kepada mamang gojek yang umurnya kisaran empat puluh tahunan lebih.

"Wah beneran nih Dek?" Gue menganggukkan kepala tanda iya.

"Makasih ya Dek, semoga sehat selalu dan dilancarkan rezekinya."

"Aamiin, hati-hati Pak."

Mamang gojek sudah mulai menjauh, gue merogoh HP di dalam saku hoodie. Jari-jemari bergerak cepat mengetik pesan untuk seseorang yang gue pinta untuk datang kesini.

Anda

Gue sudah sampai nih, lo dimana?

Sudah dua menit belum dibalas juga, gue memilih mencari tempat teduh dulu, lantaran terik matahari sore lumayan menyengat kulit. Setelah hari tidak terlalu panas lagi, gue pindah posisi, duduk di kursi taman yang sebelumnya pernah kami berdua duduki sebelumnya, yang mana di depan ada pancuran air.

'Tring!

Ray

Aku di belakangmu.

Habis membaca pesan baru itu, gue menoleh ke belakang, menemui Ray yang merekah senyumnya, gue pun turut membalasnya dengan senyuman juga. Dia berjalan kemari, kemudian duduk di samping gue. Setelah lima bulan berlalu, hubungan gue sama Ray terbilang sudah dekat, dia juga tidak irit bicara seperti dulu. Pokoknya sifatnya berbeda 180° dibanding pertama kali bertemu dengannya, sifatnya sekarang ini sungguh membuat gue suka.

"Ada apa?" tanyanya ke the to point. Sebelum menjawabnya, gue melepaskan kamera yang mengalung di leher sedari tadi.

Ray melihat kamera yang sedang gue pegang dengan salah satu alis terangkat sebelah, seolah bertanya 'apa?

"Ayo ngevlog buat kenang-kenangan."

Bersambung...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang