🍁18🍁

30 13 3
                                    

"Ternyata benar apa kata Om Arsa, bahwa kau adalah orang aneh. Selain itu juga, kau orang yang sok asik."

Ucapan menusuk bagaikan jarum itu menyerbu hati gue. Lebay!

Gue tersenyum menanggapi omongannya barusan. Menarik juga nih cowok, jadi kepengen ngusilin dia lagi. Apalagi raut mukanya yang lagi marah, ugh tampak loli sekali. Kawai. Andai dia cewek, gue bakal mati-matian mengejar-ngejar dia buat dijadiin pasangan hidup. Sayangnya, dia punya batang. Huh, yakali, gue masih normal.

"Yaelah bercanda, Bro, kalem!" Sedikit lagi tangan gue memegang pipinya yang gembul, namun ditepisnya kasar. Duh, nih, cowok kayak cewek lagi datang bulan aja.

"Jangan sesekali menyentuhku!" bentaknya, yang sama sekali tidak membuat gue takut. Malah sebaliknya.

"Norak amat pake aku-kamu, pake lo-gue dong biar gaul," ujar gue sembari merapikan rambut.

Ray memutar kedua bola matanya, lalu lanjut rebahan lagi. Membelakangi gue. Benar-benar dah si Ray, niat gue, kan, mau ngajak dia temenan. Seharusnya dia itu bersyukur bertemu cowok ganteng mirip Na Jaemin Nct.

"Nggak asik amat, sih, lo!" Dia tetap saja acuh. Gue melangkah menuju sofa, kemudian merogoh gawai dari saku Hoodie kesayangan gue.

Tetap online meski tidak ada yang nge-chat. Menyedihkan.

Buat menghibur diri yang muram ini, gue membuka aplikasi para penjoget handal. Ya, apa lagi kalau bukan tiktok. Baru aja nonton, sudah disuguhkan pemandangan seorang lelaki yang lagi di pantai, tanpa baju, celana pendek, dan pakai topi biru malam. Yang foto-fotonya dibikin jedag-jedug, pasti dari template cacput.

Mau bagaimana pun juga gayanya,  kalau good looking pasti hasilnya tetap bagus. Gue akui sih tuan berbibir besar ini ganteng, tapi tetap saja, kemana-mana pun tetap gantengan gue. Liat di komen, banyak sekali para betina yang terangsang. Sampai rela merendahkan harga diri sendiri.

Rata-rata komen para women kayak gini, 'Rahimku anget mas' terus diakhiri pake love merah segede gaban. Gue cuma geleng-geleng kepala liat kolom komentar. Karena bosen, gue menggulir konten selanjutnya dan begitu seterusnya.

"Akh kesel, kenapa coba hidup gue nggak kayak mereka?! Selalu bahagia?!" Gue hampir saja menumpahkan air mata, karena liat konten orang yang harmonis sama keluarganya.

"Mate KUDASAI!!" Sekarang gue berdecak sebal, dari tadi kebanyakannya disuguhi orang-orang good looking mulu. Mana good rekening lagi. Herannya lagi, tadi ada video berita tentang cowok yang membunuh kekasihnya sendiri. Dan gue cek komen, para women bilang 'Nggak papa, yang penting dia ganteng'. Emang benar, ya, 'Keadilan sosial bagi seluruh rakyat good looking'. Waduh, tsunami fakta.

Terus, rata-rata juga pamer pacarnya masing-masing. Mana lagi ciuman malah di posting, buat bahan konsumsi masyarakat. Semakin banyak yang lihat, maka dosanya juga makin banyak. Kasian.

"Capek ah insecure-insecure, saatnya masang susuk!"

"Pffttt----"

Gue menoleh ke arah sumber suara yang pastinya lagi mentertawakan gue. Dimana Rayyen sekarang sudah ubah posisi jadi duduk kembali. Dia bersedikap dada sambil tersenyum meremehkan ke arah gue.

"Apa yang lucu?!"

"Heran saja, kenapa kau senang senang sekali membandingkan kehidupan sama orang lain? Tanpa sadar, kau sudah menghina Tuhan. Seolah-oleh Tuhan tidak pernah berlaku adil dalam hidup mu."

Dam! Terdiam!

"Kenapa diam? Kebanjiran fakta?"

"Ya, ya, lo benar gue nggak tau kata bersyukur. Terimakasih sudah mengingatkan. Btw, kita ini sama-sama lahir tahun 2004, tapi kok lo pendek amat?" Gue menaik-turunkan kedua alis, seraya menyenderkan punggung di belakang sofa. Dimana kaki gue berada di atas kaki satunya lagi. Memandangi dirinya yang memasang ekspresi datar lagi.

"Iya pendek, seperti umurmu."

Perkataan mematikan bagaikan bisa ular itu sukses membuat gue meneguk air liur dalam-dalam. Si Ray, tidak ada duanya sama Hendra. Sama-sama berbisa.

Gue bangkit dari sofa, mendekatinya yang lagi memberikan tatapan elang. Gue menarik kursi, agar duduk bersebelahan dengannya. Dia terus memandangi gue tanpa senyuman.

"Ngapain kamu?!"

"Mau duduk."

"Menyingkirlah!"

"Nggak."

Ray melotot ke arah gue seorang pastinya. Dan itu tidak akan pernah membuat gue takut. Cukup berikan senyuman terindah ke cowok titisan ular ini.

"Dengar, ya, Ray ..." Gue mencondongkan tubuh, sehingga jarak kami berdua terbilang sangat dekat. Dari sini, gue makin kagum sama wajahnya yang sama sekali tidak ada jerawat ataupun bekasnya. Mulus. Bisa-bisa nyamuk pada kepeleset.

Tidak mau melihat pemandangan yang makin membuat gue insecure, gue mendekatkan mulut ke kupingnya. "Lo tau nggak, gue jadi suka sama lo?" 

'Cklek!

"Bagas, Ray, ada apa sama kalian?"

Gue sama Ray sontak saja menoleh ke arah pintu. Om Arsa dan om Bram lagi pada menatap kami berdua secara bergantian. Cepat-cepat gue mengubah posisi, lalu berlari kecil ke om Arsa yang lagi memegang botol Aqua dingin. Terlihat embunnya dari luar.

"Ini buat aku, kan, Om? Makasih, ya, mumpung lagi haus-hausnya!" Botol berisikan air pengunggah kering di tenggorokan itu gue ambil alih. Kemudian meneguknya sampai puas. Om Arsa geleng-geleng kepala melihat gue minum.

"Kamu ini, kayak orang nggak minum bertahun-tahun."

Tanpa menghiraukan ucapan beliau, gue meneguknya sampai tandas. Setelahnya, mengusap bekas air di bibir pakai lengan. "Grakhhh ...!" Akibatnya, gue bersendawa jadinya. Om Arsa lagi-lagi meninju pinggang gue. Hobi bener.

"Jaga sikapmu!" bisiknya, yang gue balas dengan memutar kedua bola mata malas.

"Gimana keadaanmu sekarang Ray?"

"Eeehh ... itu ... anu ... aku baik-baik saja. Papa tidak usah khawatir."

"Oh, ya? Apa kamu yakin? Kamu nampak berkeringat lebih."

Melihat Ray yang berbicara terbata-bata, makin meningkatkan keusilan gue mencuat tinggi. Gue yakin, dia pasti kepikiran sama ucapan gue beberapa menit tadi. Apa gue tadi ngomongnya terlihat serius kali ya?

"Om Bram, si Ray ini anaknya lucu sekali. Apa aku boleh memilikinya?"

"Uhuk-uhuk!"

"Ray!"

Bersambung ...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang