🍁26🍁

28 9 0
                                    

"Hah, gerah banget, sih." Di lantai berlapis karpet, gue lagi rebahan sambil merentangkan kedua tangan. Menatap kipas angin yang menggantung di atas, berputar-putar kayak biang lala. Derasnya angin yang dikeluarkan kipas angin itu cuma secuil mengurangi kegerahan yang gue alami sekarang.

Gue meraih hp di samping, membuka cuaca hari ini. Di layar, cuacanya berada di angka 37°. Pantesan panasnya nggak ngotak. Gue merubah posisi jadi duduk, merenung sekejap dulu. Kebiasaan.

"Eh, lo mau kemana?" Gue menarik ujung baju Jamal yang lalu dari hadapan gue. Membuatnya jadi terhenti.

"Keluar, mau ngadem. Kayak di neraka disini," ujarnya, yang mana gue lihat banyak peluh di dahinya.

"Ikut!"

Gue mematikan kipas dulu, terus mengikuti Jamal ke luar. Di luar, anginnya lumayan kencang, tapi terik matahari masih sangat panas. Kalau gue Vampir, sudah dipastikan badan gue bakalan jadi abu. Tapi bisa juga, sih, nggak jadi abu, soalnya pake cincin keramat, kayak di film Ganteng-Ganteng Serigala.

Gue ikut duduk di kursi reot, samping Jamal. Dia melepaskan baju kaosnya, dan menaruhnya di atas meja. Pembatas kami berdua.

"Kenapa, ya, mulut gue bau tai, padahal sudah sikat gigi terus tiap hari."

Gue memijit batang hidung. Terkikik geli mendengar ucapan Jamal barusan. Bisa-bisanya dia ngomong secara terang-terangan begitu, emang tidak ada urat malunya.

"Coba lu ngomong 'hah," pinta gue yang disetujuinya.

"Hah~~~"

"Iii ... bau tai."

"Sialan, gue serius nanya njir!"

"Biasanya kalau bau gitu, sih, lo cuma sikat giginya doang kali, seharusnya sikat lidahnya juga. Biar nggak bau, tapi bisa juga, sih, itu penyakit lambung. Biar tidak sesat, mending lo tanya sama Dokter di Instagram, atau sama orang yang tau gitu," saran gue, diangguki oleh Jamal.

Gue berdiri, ingin masuk ke dalam, mau mengambil sesuatu.

"Lho, baru juga keluar, mau kedalam aja. Sini dulu, dong, duduk-duduk." Jamal memonyongkan bibirnya ke kursi kosong, bekas gue duduk tadi.

"Gue mau jalan-jalan keluar, sekalian foto-foto pemandangan."

"Ikut dong, fotoin gue buat ganti foto profil WA."

"Halah, bilang aja lo nggak mau tersaingi sama Ray, kan? Biar Siti ngomong kek gini ke elu 'Wah Jamal ganteng banget, sih, aaa ... kiyowok ...," sindir gue blak-blakan. Jamal menonjok perut gue, refleks gue segera memegang perut.

"Gue cuma pengen ganti PP doang njir! Gue juga nggak naksir sama Siti, amit-amit!"

Walaupun masih terasa berdenyut ini perut, gue masih bisa mentertawakan Jamal yang masih saja menyembunyikan perasaannya ke Siti. "Bohong banget Mal, lu itu keliatan suka sama Siti!"

"Sekali lagi ngomong gitu, gue geprek pala lo!" Terlihat jelas urat-urat di wajah Jamal pada timbul. Matanya melotot ke arah gue, dimana giginya menggertak keras. Wuish mengerikan, matanya merah sangat.

"Iya-iya terserah lu, dah, tapi gue saranin duluan, ya, kalau suka beneran sama Siti, mending konfes duluan. Ntar keduluan diambil orang Siti-nya, nyesel yang ada lo!" Sebelum Jamal mengamuk, gue secepat kilat ngacir ke dalam.

"BAGAS!!!"

***

Di taman dekat kost, harinya lumayan agak berkurang panasnya. Biar badan tidak item, gue memakai hoodie warna oranye. Sekalian pake kacamata hitam, biar nggak silau. Jamal duduk di kursi taman, yang mana kakinya berada di kaki satunya lagi. Terus tangannya menyilang, persis kayak tampilan preman.

Gue beberapa kali mengubah-ubah posisi biar hasil fotonya kece badai. Memang sih, tiap kali fotoin teman, gue dengan sukarela motoin sampe bagus. Beda sama mereka, tiap kali gue minta difoto nggak ada yang benarnya. Pernah, tuh, teman gue di Bogor memfoto gue. Padahal gue sudah bergaya keren, tapi dianya malah memfoto rambut gue doang. Mana blur lagi, miring juga. Bukannya kayak Lee Min Hoo, malah yang ada jatuhnya kayak monyet pakai baju.

"Gas buruan dong fotonya njir, pegel, nih, senyum terus!"

"Jangan banyak protes! Mau hasilnya bagus nggak?!"

"Ck!"

"Gue hitung ya, 1 ... 2 ... 3 ..."

'Ckrek!

"Oke, ganti gaya!" Sesuai perintah, Jamal mengubah gaya posenya jadi berdiri. Membelakangi gue, sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

Gue menitik fokuskan lensa kamera ke Jamal. Mencari-cari supaya fotonya estetik.

"Mal, biar hasilnya estetik, bawa cewek! Kalau nggak mau ribet cari cewek, tuh, jemput Siti sana!"

Tanpa menoleh ke belakang, Jamal mengacungkan jari tengahnya. Gue terkekeh akibatnya. Suka banget gue menjahili Jamal, beruntung teman gue yang satu ini tidak baperan. Alias mudah tersinggung.

"Eh?" Saat gue memfokuskan kamera, tanpa sengaja gue melihat ada seseorang yang lewat, terasa familiar.

Gue menurunkan kamera. Menyipitkan kedua mata, biar lebih jelas siapa orang itu. Tidak sampai bermenit-menit lamanya, gue langsung kenal siapa dia. Cepat-cepat gue lari mengejarnya.

"RAY WAIT ME!!"

Bersambung ...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang