🍁Bab 49🍁

18 8 0
                                    

•Keesokan paginya

"Gas, makan dulu."

Tanpa ketuk lebih dulu, Jamal asal buka pintu kamar. Beruntung gue sudah makai celana dalam, mau marah juga nggak bisa, sudah terlanjur. "Iya," jawab gue, lalu menyusul Jamal yang jalan lebih duluan.

Disana sudah ada Siti yang lagi memasukkan nasi ke piring kami berdua, seperti pembantu disini. Ada untungnya juga tinggal bareng Siti, soal makanan dia yang urus, jadi kami tinggal menikmatinya saja lagi. Gue menarik kursi buat duduk, sambil melihat menu makan pagi ini. Di atas meja ada telur dadar, tempe orek, sama ikan nila goreng tiga ekor. Gue mengambil satu ekor ikan itu, ditambah telur sama tempe orek, begitu juga dengan mereka berdua.

"Mending lo nggak usah ikut magang lagi Gas."

Gue menatap Jamal heran.

"Kenapa?"

"Lo harus banyak istirahat, nggak boleh terlalu capek."

"Iya, nanti kami kasih tau ke Bu Puput soal kondisi kesehatan Bagas. Siti yakin kok Bu Puput pasti paham, pokoknya Bagas jangan sampai kelelahan, kudu banyak istirahat. Biar kami berdua yang bantu-bantu Bu Puput, Bagas tenang aja kok kami berdua nggak akan kasih tau ke guru kalau Bagas tidak ikut magang," sahut Siti, gue menundukkan wajah ke bawah sembari memainkan sendok dan garpu. Kemudian gue menatap mereka berdua bergantian.

"Nggak, gue bakalan ikut magang, gue nggak enak hati sama kalian. Ya kali gue santai disini, tapi kalian malah keringetan disana," jawab gue serius, terdengar Jamal menghela nafas berat.

"Sudahlah Gas nggak usah mikirin kita, pikirkan keadaan lo ini. Ini penyakit serius Gas, lo nggak boleh kecapean. Kami ini peduli sama lo, tolong hargai." Siti mengangguk memantapkan ucapan Jamal, gue menarik nafas panjang dan dikeluarkan secara perlahan.

"Baiklah, gue tidak akan ikut magang, tolong ya kasih tau ke Bu Puput. Dan gue juga minta tolong bilangin ke Bu Puput jangan bocorkan soal penyakit gue, hal ini cukup kalian bertiga saja yang tau."

"Lo yakin nggak mau kasih tau soal ini ke orang tua lo? Lo seharusnya cepat-cepat diobati sebelum makin buruk."

"Tidak, biarkan saja. Kalau gue mati sekalipun, mereka pasti tidak peduli."

"Hush! Bagas nggak boleh ngomong gitu, tidak baik tau. Percaya deh sama Siti, Bagas akan sembuh." Siti menepuk punggung tangan gue dengan sendok makannya, reflek gue mengibaskan tangan sebentar.

"Sekali lagi lo ngomong gitu gue congkel mata lo!" Dilihat kedua bola mata Jamal melotot tajam seperti mau keluar dari tempatnya, gue meneguk air liur kasar melihatnya.

"Sudah-sudah, ayo makan, keburu dingin nasinya," titah Siti yang kami angguki. Kami pun mulai makan tanpa ada yang bersuara lagi. Sampai ada sesuatu mengganjal perut, seolah-olah ada mendorongnya keluar. Gue langsung menghentikan makan, terasa perut gue sakit bagaikan ditusuk-tusuk jarum.

"Bagas kenapa?"

"Lo kenapa Gas?!"

Gue tidak bisa membalas ucapan mereka, perut gue makin lama makin kerasa sakitnya. Mendadak juga gue merasa sakit kepala hebat. "Huwek!" Buru-buru gue pergi ke toilet, dan memuntahkan isi makanan di dalam perut. Terdengar hentakan kaki menuju ke arah gue.

"Ti ambil minyak kayu putih buruan!" Jamal mengusap-usap punggung gue berulang kali, upaya meredakan mual. Gue memuntahkan semua isi makanan yang baru masuk tadi, sampai terasa leher gue agak panas karena digosok Jamal dengan menggunakan minyak kayu putih.

Setelah mengeluarkan semua isi di dalam perut, gue terkulai lesu, bagaikan tidak punya tenaga sama sekali. Jamal menyodorkan gue secangkir air putih, gue pun meminumnya dengan bantuannya.

"Nah 'kan apa gue bilang, lo itu harus banyak istirahat!" ketus Jamal yang tidak gue tanggapi.

"Jamal lihat deh muka Bagas, pucet banget kayak nggak ada darah. Nggak mungkin kita tinggalin Bagas sendirian disini, kalau kenapa-kenapa bagaimana?"

Sebelum Jamal membalas pertanyaan Siti, gue lebih duluan menyambarnya. "Tidak usah pikirin gue, gue bisa jaga diri, kalian pergi aja."

"Tidaklah goblok yakali kami membiarkan lo disini sendirian! Ti tolong ambil HP gue di atas meja." Jamal menunjuk ke arah meja makan, bergegas Siti mengambilnya. Entah siapa yang mau dihubungi Jamal. Siti mendekat ke arah gue, dia mulai menggosokkan minyak kayu putih ke kedua telapak tangan gue.

"Hello, ada apa Jamal? Tumben telpon ibu."

Terdengar dari sana suara pemilik toko kami magang. Ternyata Jamal menelpon Bu Puput, gue kira dia bakal nelpon salah satu teman gue.

"Bu saya boleh minta ijin?"

"Ijin apa ya Mal?"

"Jadi begini Bu, Bagas lagi sakit jadi hari ini saya doang yang turun magang. Kalau Siti dia harus temani Bagas Bu, takut terjadi kenapa-kenapa. Nanti setelah saya sampai situ saya akan cerita lebih detail, jadi apakah boleh bu?"

"Ah iyakah? Ya ampun kasian sekali, memangnya Bagas sakit apa?" tanya Bu Puput di sebrang sana, Jamal melirik gue sekilas, dan gue langsung buang pandang.

"Nanti saya akan kasih tau Bu."

"Baiklah kalau begitu, semoga Bagas cepat sembuh."

"Iya Bu makasih sebelumnya, kalau gitu saya matikan dulu telponnya."

"Iya."

'Tut!

"Gas, kembali ke kamar, istirahat. Sini biar gue bantu."

Gue mengangguk lesu, Jamal pun membantu gue berdiri beserta Siti juga. Setibanya di kamar, gue merebahkan diri. Menatap plafon kamar yang polos.

"Ti, lo buatkan Bagas bubur gih. Habis makan, lo minum obatnya Gas, gue mau berangkat dulu," ucap Jamal yang gue angguki.

"Hati-hati." Jamal menganggukan kepalanya kecil sambil mengembangkan senyum. Sebentar Jamal menepuk-nepuk bahu gue, memberikan sedikit kekuatan untuk lebih bersemangat.

"Jamal tenang saja, Siti akan menjaga Bagas total hari ini. Ayo Siti antar ke depan," tawarnya yang ditolak halus oleh Jamal.

"Nggak. Lo langsung aja buatin Bagas buburnya, gue bisa pergi sendiri."

"Yaudah deh, Siti mau buatin buburnya dulu. Bagas diam disini sebentar ya?" Lagi gue menganggukan kepala, lalu Siti mulai menjauh.

"Makasih Mal, lo memang baik sama gue," ucap gue dengan mata berbinar-binar, bersyukur mempunyai sahabat seperti mereka yang selalu ada disaat gue lagi kesusahan.

"Tidak perlu mengucapkan kata terimakasih, kita ini sudah jadi sahabat yang selalu ada disaat temannya lagi berada di titik terendah. Lo harus semangat Gas, yasudah gue pergi, lo jaga diri baik-baik."

"Iya," jawab gue sambil melemparkan senyum kepadanya, yang dibalasnya juga. Selang beberapa detik, Jamal sudah tidak ada lagi di kamar. Tinggalah gue sendiri, seraya memandang ke arah jendela yang terbuka. Dimana ranting-ranting pohon pada bergoyang ditiup angin.

"Entah sampai kapan gue bisa bertahan?"

Bersambung...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang