🍁17🍁

31 11 0
                                    

Sesampainya di rumah sakit, bau obat-obatan menyiksa rongga hidung gue. Bau yang tidak mengenakan. Gue melirik ke arah papan yang bertuliskan 'Rumah Sakit Anshari, disini lumayan banyak para suster cantik lalu-lalang. Beberapa pasien juga ada yang lagi jalan-jalan, pakai kursi roda, dibantu dengan seseorang dibelakangnya. Mereka sesekali tertawa, membuat senyum kecil gue merekah melihatnya.

Om Arsa menyenggol bahu gue, mengakibatkan gue lumayan kaget.

"Jangan ngelamun aja kamu, ntar ke sambet penghuni sini. Ngeri kalau kamu kerasukan." Gue cuma menampilkan cengiran lebar, sambil menggaruk tengkuk.

"Malah nyengir, ayo!"

Gue mengikuti langkah kaki om Arsa yang lebar. Tapi, tidaklah sulit buat mengejarnya. Om Arsa terlebih dahulu mendatangi resepsionis, menanyakan di mana kamar anaknya om Bram di rawat. Gue berjalan ke arah poster yang bertuliskan 'Jagalah kesehatan anda, karena kesehatan itu penting. Gue heran, kenapa, ya, dikasih nama rumah sakit? Kenapa tidak diberi nama rumah sehat? Huh, nggak habis thinking.

"Bagas, ngapain kamu disitu? Mari!"

Gue menoleh ke belakang, dimana om Arsa berjalan dahulu, tanpa menunggu gue. Cepat-cepat gue menyusulnya. Ketika tepat berada di samping om Arsa, gue memberenggut, berpura-pura merajuk.

"Nggak usah manyun tuh muka, makin jelek." Sesekali om Arsa melirik ke gue yang langsung memegang dada.

"Sungguh jahat sekali Om ini."

"Nggak usah lebay."

Ah si om nggak asik, nggak bisa dibawa bercanda. Kayak Siti, oh iya, ya, gimana kabarnya Jamal di rumah calon mertuanya? Wah, kalau udah datang gue bakalan kasih dia banyak pertanyaan. Ahihihi.

Tanpa sadar, om Arsa lagi-lagi meninggalkan gue masuk ke dalam ruangan, yang pastinya ada om Bram disana juga. Sebelum masuk, gue mengelus rambut yang belah tengah kayak Oppa Korea ini. Lalu ikutan masuk. Sesuai dugaan, om Bram sama om Arsa lagi berbincang, membelakangi gue. Dimana mereka berdua menghalangi pandangan gue yang tidak bisa melihat anaknya om Bram.

Gue tersenyum menggemaskan, sambil menutup mata. "Hello ...nona yang geulis ..." Saat mata terbuka, senyum gue langsung pudar. Tatkala melihat anaknya om Bram.

"Eh  batang rupanya." Om Arsa meninju pinggang gue dengan sikunya. Beliau melotot ke arah gue.

Om Bram tertawa kecil melihat gue kesakitan. Anaknya om Bram yang lagi nyander tanpa ekspresi menatap gue dengan sorotan mata tak biasa.

Sinis amat.

"Eh? Lo, kan ..." Gue merasa tidak asing dengan mukanya. Kayak pernah liat, tapi dimana? Gue mencoba mengingat wajahnya yang bisa dikatakan lumayan tampan. Setelah di ingat-ingat gue baru sadar bahwa dia yang kecelakaan tadi. Yang gue kira dia udah mati sebelum gue periksa denyut nadinya.

"Kamu sudah kenal sama Rayyen?"

"Rayyen?" ulang gue lagi. Baru pertama kali dengar tuh nama.

Om Bram mendekati cowok itu. "Ini anak Om, namanya Rayyen. Dia seumuran denganmu. Maaf, Om baru mengenalkan kamu dengannya." ujarnya, sembari tersenyum.

Gue menatap papan nama yang melekat di depan ranjangnya. Gue membacanya di dalam hati, bahwa nama lengkapnya Rayyen Vee Valka, tanggal lahirnya 29 Mei 2004. Selepasnya, gue kembali menatap om Bram.

"Nggak seumuran Om, aku lahir tanggal 29 Januari 2004. Duluan aku menghirup oksigen. Daripada dia." Gue memonyongkan bibir ke arah cowok yang bernama Rayyen itu. Dimana dia membuang muka. Gitu amat.

Om Arsa menarik bibir gue seperti karet saja. "Maaf Bram, keponakan ku ini otaknya agak miring. Jadi mohon dimaklumi sama kelakuannya yang aneh-aneh nanti."

Gue memutar kedua mata malas. Sungguh membosankan, apalagi seruangan dengan orang sombong. Andai dia tahu kalau gue yang menolong dia, apa masih berani melayangkan sorotan sengit ke gue?

"Terus gimana kondisi orang yang menabrak Ray?" tanya om Arsa, mewakili gue yang juga penasaran, gimana kabarnya.

"Alhamdulillah, suami-istri itu tidak apa-apa. Cuma lecet sedikit aja, tadi juga mereka sudah ganti rugi akibat kerusakan, dan meminta maaf. Begitupun juga aku. Sekarang mereka sudah pada pulang," jelas beliau dengan senyuman. Di pipi kirinya ada lesung yang membuat beliau terlihat lebih muda dibandingkan om. Kenyataannya, om Bram lebih tua dua tahun dibanding om Arsa.

"Syukurlah kalau begitu."

"Oh iya Arsa, mari kita minum-minum dulu di kantin."

"Baiklah, ayo."

"Aku gimana, Om?" Gue memasang mimik wajah belas kasihan. Yakali gue ditinggal sama cowok songong.

"Kamu temenin Ray dulu. Nanti kalau kami sudah selesai, kamu boleh pergi ke kantin." Jawaban om Arsa mengolah gue menghembuskan nafas panjang, sambil curi-curi pandang ke arah Ray yang lagi nengok ke jendela yang terbuka. Sok cool. Apa coba yang dilihat? Disitu cuma ada pohon besar, menghalangi pemandangan lain.

"Tapi, Om...aku juga haus, nih." Sengaja gue mengelus tenggorokan, memberi kode bahwa gue perlu minum. Buat menghilangkan dahaga.

"Nanti Om belikan."

"Ta----"

Belum selesai gue bicara, om Arsa sama om Bram langsung pergi gitu aja. Gue mencibikkan bibir, menatap punggung keduanya yang mulai hilang dari pandangan.

Mau tidak mau, gue harus menurut. Kalau tidak menurut, bisa-bisa om Arsa memanggil dokter buat menyuntik gue. Karena suntikan adalah kelemahan gue. Trauma sama itu jarum lancip. Dulu waktu kecil, kira-kira kelas 3 SD, ada para pegawai Puskesmas yang datang buat menyuntik kami. Mulai dari kelas 1-3. Karena kami semua takut, sengaja menumpukkan meja sama kursi di depan pintu. Tapi hasilnya tidak menguntungkan, tetap saja kami semua disuntik. Gue waktu itu sembunyi dibawah kolong meja, terus dipaksa keluar. Lalu gue disuntik, sampai tertusuk ke tulang. Ya memang, sih, gue yang salah, karena saat disuntik, gue menggertak ingin kabur.

Kembali masa sekarang, gue mendekati Ray yang masih saja tidak bergeming. Dilihat-lihat dari jarak dekat begini, ini cowok imut-imut juga, sih, kayak cewek. Apalagi bulu matanya terbilang panjang dan lentik. Tadi, tuh, mukanya ketutup sama darah, jadinya tidak terlalu gue perhatiin. Takut melihat banyak darah sebenarnya gue. Mengingatnya lagi bikin kedua kaki gemetar.

"Hei lo, gue mau nanya, nih!" Gue mencolek bahunya, membuatnya langsung menoleh ke arah gue, tanpa senyuman. Lagi.

"Orang bodoh selalu berkata tidak, jadi, apakah lo mencintai gue?"

Bersambung ...

NOTE : BUKAN AREA 🌈

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang