Chapter 24 - The Siblings

2.1K 156 2
                                    

"Dari mana lo?". Satu suara mengejutkan Calvin yang baru saja kembali ke kediaman megah milik sang Papa.

Sejak minggu lalu, Papa Calvin memintanya untuk tinggal disana, menemani sang kakak, Claire yang katanya tengah menghadapi masalah besar di hidupnya.

Calvin menatap kearah asal suara, Claire, sang kakak yang menyandarkan diri ke tembok dengan sebatang rokok diantara jarinya. Melihat sang kakak, Calvin hanya melengos dan berjalan masuk.

"Bener kata Papa? Are you using them again?". Ucap Claire, menghentikan pergerakan sang adik. Calvin menoleh pada Claire yang kini berjalan mendekat dan memperhatikan pupil matanya. "You're using them again. That's why Papa wants you here".

"None of your bussiness". Desis Calvin, jemarinya mengepal erat.

Baru saja sang adik hendak pergi, namun Claire kembali berkata. "Gue tau lo hancur, Vin. Gue juga. But there are other ways to release it".

"Said someone who did the same first". Sahut Calvin tak mau kalah.

Claire menghisap dalam rokoknya dan membuangnya asapnya menjadi kepulan. "I quit, Vin. I know it's wrong".

"Lo bahkan masuk rumah sakit". Balas Calvin lagi.

Netra Claire menunjukkan luka, gadis itu menelan getirnya dalam. "Makanya gue gak mau lo berakhir sama, Calvin". Gadis itu berakhir mematikan rokoknya. "Gimana pun juga lo adek gue, I don't want you to suffer like me. Gue hancur, tapi lo gak boleh sehancur gue".

Calvin hanya menatapi sang kakak sebentar sebelum berakhir meninggalkannya dan berjalan ke kamar miliknya. "Just fuck off".

———

"Terus lo lanjutin kuliah dimana?". Tanya Tara pada Ken, keduanya kini tengah berada di rumah Tara, saling duduk bersila di lantai ruang tamu rumah sang gadis, meratapi Ken yang harus meninggalkan perkuliahan segera.

Ken mengedikkan bahu. "Probably Narata Institute? Yang deket-deket aja".

"Padahal lo dikit lagi berhasil jadi ketua HIMA, dan kemungkinan besar bakal jadi ketua BEM tahun depan. I mean who else would replace you? Lo tadinya satu-satunya calon kandidat yang qualified". Ucap Tara.

Ken terkekeh mendengarnya. "Mahasiswa berprestasi di kampus bukan cuma gue, Tara. Lagian gue gak minat banget. Not even in my bucket list".

Tara menggigit bibirnya, merenungi nasib Ken yang entah mengapa menurutnya menyedihkan. "Beasiswa lo juga.. Sayang banget Ken. Ditempat lain mana bisa dapet beasiswa lagi?".

Ken berakhir mengusak rambut sang gadis gemas. "Kalo aja kita lagi gak dirumah lo, udah gue cium lo sekarang". Hal itu sontak membuat Tara merona, namun lelaki itu melanjutkan. "Udah gue bilang, selama otak gue masih berfungsi dengan baik, gue gak apa-apa. Beasiswa ataupun nggak, gue masih tetep bisa kuliah". Ken kemudian menyatukan tangan mereka. "Gak akan ada yang berubah cuma gara-gara gue di DO selain lokasi kampus gue sama lo. Gue masih bisa kejar sarjana tepat waktu, masih bisa kerja di law firm sesuai keinginan gue, gak ada yang berubah".

Pada akhirnya, Tara menghela nafas panjang. "Iya sih". Gadis itu kemudian berdecak. "Tapi kan berarti kita gak bisa bareng-bareng lagi. Kita bakal sibuk sama kuliah masing-masing, gak kayak sekarang. Gue bakal jarang ketemu lo, Ken".

Ken tersenyum mendengarnya, lelaki itu kemudian menakup wajah Tara. "Gue gak tau kenapa gue seneng banget dengernya. I don't even know whether you said this out of our friendship or you just want to cling around me. But it makes me happy". Ken kemudian mengelus pipi sang gadis. "Gini ya, Triastara, gue janji bakal samperin lo tiap pulang kuliah, nonton lo latihan balap, dateng kerumah lo tiap pulang kuliah, gak akan ada yang berubah".

Tara memandang wajah itu lama sebelum merespon. "Promise to get drunk with me everytime I feel like to? Like usual?".

Hal itu membuat sang lelaki otomatis terbahak. "Of course, I promise".

Keduanya saling berpandangan, tanpa sadar wajah mereka saling mendekat bagai dua kubu magnet yang tarik menarik, melupakan keadaan sekitar yang terlalu terbuka untuk kedekatan mereka. Tara merasakan dirinya mulai menutup netra, seiringan dengan nafas hangat milik Ken yang mulai menyapu bibirnya. Begitu dekat, Ken bahkan sudah memiringkan kepalanya guna mengakses bibir Tara lebih mudah. Dua labium itu hampir saja bersentuhan, hingga satu dehaman membuat mereka berdua tersentak dan saling menarik diri.

Joan masuk kedalam rumah dan mengusal rambutnya sendiri yang berantakan. Lelaki itu memasang tatapan heran pada dua manusia yang tengah berlaku kikuk.

"Kak? Baru balik?". Ucap Tara berbasa-basi. Gadis itu hanya mampu berharap rona kemerahan di wajahnya tidak terlalu terlihat.

Joan menggelengkan kepalanya. "Kalian tuh udah pacaran?".

Ken sontak terbatuk, tidak mengantisipasi pertanyaan tepat sasaran dari Joan. Lelaki itu hanya menggeleng sejenak sembari menatap bingung kearah Tara.

Tara ikut menimbrung. "Apa sih, Kak? Kenapa tiba-tiba pacaran?".

"You both almost put each other tongues out on each others throat. Emang lo pikir gue gak liat?". Balas Joan lagi.

Mati lah.

Baik Tara dan Ken tak ada satupun yang berani berbicara, keduanya hanya tertunduk di tempatnya masing-masing, menghindari tatapan Joan yang menghakimi keduanya. Sang Kakak mencoba menelisik, namun kemudian memutuskan untuk membiarkan keduanya bernafas lega hari ini. "Whatever. Yang jelas, jangan pernah ngelakuin hal-hal gak pantes disini, dirumah ini. Gue gak peduli lo udah kenal lama sama gue, Ken, lo bakal tetep gue kick out kalo sampai ngelakuin itu disini".

Tara baru saja hendak bernafas lega sebelum Joan menghardiknya. "Dan lo, Dek. Jangan macem-macem lo dirumah. Bayangin kalo tadi yang masuk Papa sama Mama, gimana? Bisa dikurung dikamar berminggu-minggu lo".

"Iya, iya". Balas Tara dengan bersungut.

Pada akhirnya, Joan meninggalkan keduanya disana dan memilih pergi ke kamar. Ken dan Tara masih membisu, namun mereka berpandangan. Tara adalah yang pertama terbahak karena tak mampu menahan geli, disusul oleh Ken yang ikut tertawa hingga sudut matanya mengeluarkan airmata.

"What was that?". Ucap Tara diselingi tawanya yang tak mau henti.

"I guess we're just unlucky". Balas Ken.

Tara masih belum sanggup menghentikan tawanya. "That was the most awkward moment in my life, ever".

"We should never kiss here". Ucap Ken.

Hal itu sukses menghentikan tawa Tara, membuat sang gadis menatap dengan serius. "It means.. You wanna kiss me again?".

Ken ikut menghentikan tawanya. "I mean.. Only if you want to".

Sang gadis tersenyum menatap kearah Ken, membuat refleksi di wajah sang lelaki yang turut menarik sudut bibirnya keatas. Entah apa jawaban di benak keduanya, biar menjadi misteri, sebab tidak pernah ada yang tahu apa yang hari esok bisa tawarkan untuk manusia di bumi. Termasuk bagi Tara, maupun Ken.

———

A MILE AWAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang