Chapter 56 - If Only

1.6K 110 3
                                        

"Aku punya kamu kan, Tara?". Suara berat itu menggema di seluruh penjuru ruang terbuka, membuat keduanya saling bertatapan, tersenyum seakan sarat kebahagiaan.

"You always have me, selamanya, Calv".

Tara terlihat begitu cantik hari ini, dengan gaun berwarna putih, mereka berbaring bersama diatas rerumputan hijau. Tangan Calvin menggenggam erat jemari Tara, berupaya menyalurkan hangat untuknya. Senyum tak lepas menghiasi, bak kedua insan yang tengah dilanda kebahagiaan tak berakhir.

"Aku gak pernah kira saat ini akan datang, Tara. Aku gak pernah berpikir kalau akhirnya kita bakal sama-sama". Ucap Calvin penuh kenang.

"Aku juga". Suara Tara terdengar begitu merdu di telinga sang lelaki.

Calvin bangkit guna menatap Tara lebih baik, kemudian memilih mengecup kening sang gadis. "Dari sekian banyaknya manusia di dunia, bisa-bisanya aku dipertemukan sama kamu, aneh rasanya".

Tawa itu terdengar mengalun. "Kamu nyesel?".

Sang lelaki menggeleng. "Enggak. Sama sekali enggak. Aku bersyukur ketemu kamu, kamu alasanku tetap hidup di dunia, Tara".

Kekehan Tara kembali terdengar. "Kamu udah gak panggil aku Kak?".

Calvin tak tahan untuk tak mengecup kekehan itu. "Nope. I should call you mine".

"Yours?".

"Yup, you're mine, Girisha. For an entire life".

"I'm already yours since the beginning, Calvin Pramudya Morritz".

Dan semua kilatan indah itu mengabur begitu saja bagai sebuah gambar yang dihapus ketika Calvin membuka matanya. Mimpinya begitu nyata, seakan benar terjadi di sore kemarin. Ujung jemari Calvin seakan masih mengingat bagaimana rasanya menyentuh tubuh Tara, meskipun ternyata tak lebih dari sekedar bunga tidur yang terlampau indah.

Semalam, butuh segenap kerelaan untuk Calvin melepas pelukannya dari Tara. Entah berapa lama berpelukan di depan villa yang sang gadis tempati, ia juga tidak menghitung. Yang jelas, saat mereka berpisah, Calvin berakhir menanti hingga Tara masuk kedalam villa, dan bahkan berdiri disana selama kurang lebih setengah jam, sebelum memutuskan untuk pergi ke penginapannya sendiri.

Senyum terukir di bibir Calvin, jelas ia menyukai segala hal yang terjadi di hidupnya sekarang. Ia suka keadaannya dan Tara, ia suka berada di dekat sang gadis, merasakan kehadirannya, bahkan bisa merasakan sentuhannya yang sehalus kapas.

Calvin dan Tara, bukan lagi dua individu yang saling menjatuhkan. Ikatan diantara keduanya kini.. Terjalin rumit. Yang satu berketergantungan, sedangkan yang satunya berniat menyembuhkan. Mereka bisa saja saling mengisi, bahkan saling memiliki. Asalkan Tara percaya, itu kuncinya.

Setidaknya itulah yang ada di pikiran Calvin.

———

Suara ponsel Tara berbunyi membuat sang gadis meraih sisi nakas. Dengan mata mengantuk, ia menemukan nama itu disana, Kenneth. Buru-buru Tara bangkit dan duduk guna menyadarkan diri.

"Ken?".

"Morning, baby. Sorry, did I wake you up? Suaranya lucu banget". Ucap Ken gemas sendiri.

Tara terkekeh. "No problem. Kenapa? Tumben telfon pagi begini".

"Aku di depan villa-Mu, sayang". Balas Ken, membuat Tara terlonjak dari kasurnya dan segera berjalan kearah pintu utama.

Tara membuka dengan tergesa, kemudian menemukan senyuman manis sang kekasih disana yang masih setia menempelkan ponsel di telinga. "Hi, Girisha. I miss you, a lot".

"Kok kamu tiba-tiba disini?". Tanya Tara sontak, terkejut akan kehadiran Ken di pulau Dewata demi menyusulnya.

Ken memutus panggilan telepon dan berjalan selangkah mendekat. "Kan aku bilang, selesai ujian, aku akan susulin kamu, baby. Lupa ya?".

Jemari Ken meraih sisi wajah Tara dan mengelusnya pelan. "Aku langsung terbang kesini sehabis ujian tadi pagi jam setengah 7. Buru-buru, takutnya kamu masih nangis, tapi kayaknya kamu udah baik-baik aja, aku lega".

Senyum Tara mengembang, otaknya langsung berpikir akan betapa beruntungnya ia memiliki seseorang seperti Ken di dalam hidup. Sang gadis berakhir menghambur ke pelukan Ken, membiarkan dirinya dilingkupi kehangatan yang membuat hatinya tenang. Perkara kegelisahan yang tengah Tara alami kini; tentang kenyataan mengenai perasaan Gio, ataupun tentang Calvin, semuanya membuat sang gadis kalut.

Dan Ken datang tepat pada waktunya.

Lelaki itu seakan melebur segala jenis kegelisahan di benak Tara, menyerap segala energi negatif di sekujur tubuhnya. Tara menyamankan diri disana, yang disambut dengan erat oleh Ken, memeluk sama kuatnya. "Kamu gak perlu usaha mati-matian jadi pacar idaman, Ken..".

"Siapa bilang aku usaha jadi pacar idaman, sih? Geli banget, Tara". Kekeh Ken, disusul kekehan lain oleh Tara.

Tara menyandarkan dagunya di dada Ken, mendongak kearah sang lelaki. "Terus apa dong?".

"Ya, jadi pacarmu aja. Pacar Girisha Triastara Briel yang dulu bau matahari kalau siang, tapi sekarang jadi cantik dan populer". Balas Ken dengan nada bercanda.

Tara mengerutkan hidungnya. "Aku cantik dan terkenal sejak dulu, kamu aja yang gak ngeh".

Ken mengecup gemas bibir Tara saat sang gadis berbicara. "Salah, aku udah sadar dari dulu. Kamunya yang gak ngeh kalau ada yang jatuh cinta dari dulu".

"Siapa?". Tanya Tara bingung.

"Ya aku lah, bodoh". Balas Ken yang disambut tawa keduanya. Terkadang, hubungan keduanya benar-benar masih terasa seperti dulu, saat status mereka masih sama-sama bersahabat.

"Semalam kamu disini aja? Atau pergi kemana gitu?". Tanya Ken tiba-tiba.

Tara tidak langsung menjawab, otaknya berpikir panjang perkara berkata jujur atau harus berbohong. Tapi, gadis itu memilih hal yang hatinya ucapkan terlebih dulu dibanding otaknya.

"Semalam, aku diantar Calvin pulang kesini, Ken".

Secara otomatis, pelukan Ken di tubuh Tara mengendur, bahkan terlepas begitu saja. Wajah sang lelaki berubah serius, ia kini menatap lekat pada Tara seakan menuntut penjelasan lebih lengkap.

Tara menelan salivanya sebelum berkata. "Aku ceritain semuanya, boleh? Habis ini aku janji akan cerita semua ke kamu, tapi untuk sekarang, boleh peluk aku lagi, Ken? Sebentar lagi aja".

Ken gantian menghela nafasnya, namun lelaki itu tidak mendebati, melainkan menyetujui. Lengannya memeluk tubuh mungil Tara kembali, memberi kehangatan yang sang gadis butuhkan.

Entah untuk alasan apa, Kenneth tahu gadisnya itu tidak sedang baik-baik saja.

Mereka saling terdiam, hanya sibuk menyamankan diri dengan memeluk satu sama lain dengan hati yang masing-masing berkecamuk. Tapi satu yang keduanya jelas miliki didalam hubungan yang umurnya masih seumur jagung ini; rasa percaya.

Bisa dibilang, Ken mempercayai Tara dengan sepenuh hatinya. Dan begitu juga sebaliknya. Itu sebabnya Tara percaya, bahwa berkata jujur dengan sang lelaki tidak akan menimbulkan hal buruk bagi hubungan keduanya. Sama seperti Ken, yang meskipun memiliki rasa takut kehilangan, juga ternyata memiliki keyakinan yang kuat akan hubungannya dengan Tara.

Meski tanpa disadari, hubungan keduanya memang membawa perubahan dan perlahan menuntun mereka tumbuh menjadi individu yang jauh lebih dewasa dari sebelumnya. Sebab baik Ken maupun Tara, keduanya adalah pribadi yang menjadikan cinta sebagai ikatan diantaranya, tanpa rasa memiliki yang lewat dari batas wajar.

———

A MILE AWAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang