Sejak tadi, Calvin hanya mampu duduk menunggu didepan rumah Tara. Tidak sama sekali tahu menahu perihal keberadaan sang gadis yang telah membuat hatinya gusar bukan main. Bodoh. Emosi dan perasaan cemburu yang mengakar tadi, tidak sengaja membuat ia berakhir bak seorang psikopat, yang memiliki rencana pembunuhan terstruktur pada seseorang yang sebenarnya ia cintai.
Benar.
Calvin memang sudah yakin telah resmi mencintai Tara.
Bukan sekedar perasaan ingin memiliki karena Tara dinilai berbeda ataupun perasaan ingin menaklukkan. Ini sama sekali berbeda. Apa lagi namanya kalau bukan cinta? Calvin saja bisa-bisanya duduk tenang didalam mobil selama tiga jam didepan rumah Tara tanpa memaksa bertemu.
Setidaknya, matanya bisa melihat kondisi Tara walau hanya sebentar. Atau mungkin, maafnya bisa tersampaikan walau pasti akan tertolak.
Empat jam berlalu, namun tak sedikitpun tanda-tanda keberadaan Tara didalam rumahnya. Calvin memilin ujung bajunya, sebuah kebiasaan kecil yang kerap ia lakukan sejak kecil ketika perasaannya gelisah. Raut wajahnya begitu sedih, bak anak kecil yang baru saja kehilangan benda kesayangannya.
Mengapa dada Calvin terasa begitu sakit? Kenapa rasa sakit terus menjalar di hatinya tanpa henti? Mantera apa yang Tara sihirkan padanya hingga bisa membuat Calvin yang acuh jadi uring-uringan seperti sekarang?
Lelaki itu meraih ponselnya, sebelum menaruhnya kembali diatas dashboard mobil. Ingin rasanya ia mendengar suara Tara sebentar, hanya untuk memastikan sang gadis dalam kondisi baik-baik saja. Ingin juga ia mengucap maaf, menyampaikan seluruh rasa sesal yang bermukim dalam tubuhnya.
Dia butuh Tara, hanya butuh Tara.
———
"Tara, bangun dulu. Minum obatnya". Suara lembut itu menyapa indera pendengaran Tara, membuat kesadarannya perlahan pulih.
Ken, dengan balutan kaos putih oversize dan celana hitam selutut, mendekat dan duduk tepat di sebelahnya, membawakan beberapa botol obat-obatan dan ointment untuk Tara. "Susah gak kalo duduk? Gue bantuin ya?".
Berkat bantuan Ken, akhirnya Tara berhasil duduk dengan bersandar ke headboard kasur. "Jam berapa ini?".
"Jam 9 malem. Nanti kalo mau dilanjut tidurnya gak apa-apa, yang penting lo udah minum obat". Balas Ken. Sang lelaki menyerahkan 5 butir pil pada Tara, membuat gadis itu bingung. Namun, Ken lebih dulu menjelaskan. "Itu ada painkiller, obat buat recovery lo, sama multivitamin. Diminum semua, biar kaki lo cepet enakan".
Sang gadis berakhir menuruti, meneguk habis semua obat yang diresepkan untuknya. Ken terlihat menyiapkan satu tube krim yang nampaknya akan dioleskan di luka dan lebam Tara. Lelaki itu meminta izin terlebih dahulu. "Gue olesin di bagian yang memar ya. Kemarin gue liat banyak banget bagian yang memar di badan lo".
Tara mengangguk, mengiyakan. Dan pada akhirnya, Ken mulai mengoleskan dengan ujung jarinya, dimulai dari area wajah Tara. Pelipis sang gadis, tulang pipi, rahang, hingga berakhir di ujung bibirnya. Tatapan Ken dan Tara sempat saling mengunci karena jarak diantara mereka terlampau begitu tipis. Saking dekatnya mereka, Tara bahkan bisa merasakan nafas Ken menyapu bibirnya.
Ken lanjut mengolesi dengan hati-hati, kini mulai turun ke area dibawah tulang selangka Tara yang terlihat membiru. Tara sempat meringis saat bagian itu tersentuh, membuat Ken sampai menatapnya khawatir. "Kenapa, Tara? Sakit banget yang ini?".
Tara hanya mengangguk lemah, menahan ringisannya agar tidak membuat Ken makin khawatir. "Sori, ya. Gue pelan-pelan. Tahan ya, supaya cepet sembuh". Ken melanjutkan kegiatannya, mengoles salep dengan begitu hati-hati di sekitaran kulit Tara, di area lengan, buku jari, hingga ia harus berhenti sejenak dan menyingkirkan rambut Tara guna memoles area tengkuk Tara dan pundaknya yang penuh lebam.
"Nunduk dikit bisa, Tar? Bagian pundak kiri lo banyak banget lebamnya". Pinta Ken sopan.
Ken bersumpah, harusnya otaknya berjalan normal. Namun, aroma harum Tara saat rambut sang gadis disibakkan, sempat membuatnya mematung sejenak. Terlebih, menyaksikan area tengkuk dan pundak Tara yang terbuka, membuatnya sampai harus menelan saliva.
"Udah, udah selesai. Agak gak nyaman dikit gak apa-apa, ya? Ini kata dokter harus dipakai sampe sembuh total lebam-lebamnya". Ucap Ken setelah memastikan area yang dipenuhi kebiruan di tubuh Tara sudah selesai dibaluri salep.
Tara menatap Ken lekat, mencoba membaca kegelisahan di wajah sang lelaki yang tiba-tiba saja terpancar. Perilaku Ken tiba-tiba saja jadi kikuk setelah agenda mengoleskan tadi. Lelaki itu juga menghindari pandangan Tara.
"Kenneth". Panggil Tara.
Dua bola mata bulat itu pada akhirnya menatapnya. "Hm?".
"Makasih ya". Ucap Tara disertai senyuman.
Ken nampak terpukau selama beberapa detik, sebelum akhirnya menjawab. "Akhirnya lo senyum juga".
Keduanya terdiam, seakan terhisap oleh atmosfer yang tiba-tiba saja berbeda. Cara Ken memandang Tara sekarang, begitu penuh dengan tatapan memuja, membuat Tara mau tak mau menyadarinya. Orang awam pun mungkin bisa melihat dengan jelas binar di wajah Ken saat ini ketika menatap Tara. Dan entah, sepetinya, Tara pun butuh distraksi dari pikirannya.
Tara lebih dulu meraih tangan Ken dan menggenggamnya, membuat hangat itu tersalur padanya. Sorot mata Ken langsung turun ke tangannya yang digenggam oleh Tara, bahkan rona kemerahan menjalar di pipi Ken. Baru kali ini Tara menyadari sesuatu; mungkin, ide jatuh cinta pada Ken bukan sesuatu yang buruk. Namun pertanyaannya, apakah benar?
"Ken". Panggil Tara lagi.
Kali ini, Ken hanya meresponnya dengan tatapan, menatap Tara dengan tatapan bertanya.
"Don't you wanna kiss me?". Tanya Tara blak-blakan.
Ken bersumpah, jantungnya mungkin sebentar lagi meledak. Mudah-mudahan Tara tidak pernah tahu soal ini. Suara parau Tara dengan nada polosnya, siapapun rasanya bisa gila mendengarnya. Tanpa sadar, genggaman Ken menguat di tangan Tara.
"Kenneth?". Panggil Tara lagi.
Ken tidak menjawab, hanya mendekatkan diri dan menjatuhkan kepalanya di pundak Tara, menarik nafas panjang karena jantungnya bak tengah dipompa habis-habisan. "Gue dari tadi nahan diri, Tara. Bibir lo bahkan masih luka. I don't think kissing you is the best idea right now".
Namun Tara tak mendengarkan, gadis itu malah meraih dan menakup wajah Ken, membawanya kedepan wajahnya sendiri agar mereka bisa saling bertatapan. "Tapi gue butuh distraksi. It's okay, I can handle pain".
Dan Tara-lah yang lebih dulu menginisiasi ciuman mereka, membuat Ken sampai berkedip berulang kali, sebelum berakhir memejam dan ikut larut dalam ciuman yang jauh dari kata gairah, tapi penuh dengan perasaan. Ken meraih pinggang Tara dan memeluknya, memperdalam ciuman mereka yang sudah lama tak terjadi.
Lelaki itu kemudian memutus secara tiba-tiba, mengecek apakah Tara menujukkan raut kesakitan lantaran bibir gadis itu masih luka dan penuh lebam di ujungnya. "Gak sakit?". Tanya Ken khawatir.
"Sakit, tapi masih ketahan kok". Balas Tara dengan terengah, wajahnya bahkan sudah memerah, seakan oksigen sudah terenggut darinya.
"Maaf.. Gak usah dilanjutin, ya? Gue gak tega". Ucap Ken lagi.
Tara menggeleng kuat. "Gue gak apa-apa". Kemudian sang gadis meraih tengkuk Ken dan menyatukan bibir mereka kembali.
Ciuman mereka begitu lembut, tidak terburu. Seolah, hati mereka tengah saling bersuara, menyampaikan sesuatu yang mungkin tak akan pernah terucap secara lisan. Hingga akhirnya Tara memutus ciuman itu, perlahan, menyaksikan bagaimana mata indah Ken terbuka perlahan untuknya, dan akhirnya, Tara bersuara.
"Do you love me, Kenneth?".
———

KAMU SEDANG MEMBACA
A MILE AWAY
RomanceGirisha Triastara Briel, Tara, gadis yang bahkan dijuliki si tomboy di kampusnya punya hobi mendatangi aktivitas drifting berkat ajakan sang kakak. Di arena balap itulah, Tara menemukan trigger dan juga ketertarikan. Di arena balap itu juga lah, Cal...