Hasil putusan sidang yang bergulir beberapa kali itu akhirnya menemukan akhir. Meski bukan yang terindah, tapi mungkin ini sudah yang terbaik. Hasil pengadilan memutuskan, Calvin akan dibebaskan dari tuntutan pidana karena penyakit mental yang diderita. Dalam hukum pidana, gangguan jiwa dikenal baik dengan istilah skizofrenia. Calvin pada akhirnya dinyatakan tidak sehat akal, seperti diagnosis dokter sebelumnya.
Hal itu terbukti dari kurangnya kemampuan Calvin menjawab di persidangan dengan alasan yang masuk di akal. Yang terucap darinya hanyalah, sesuatu di dirinya mendorong keinginan membunuh. Tapi, apa penyebabnya atau bagaimana kronologi percobaan pembunuhan tersebut, Calvin seakan hanya mampu mengingat secara acak.
Ketukan palu di hari itu membuat baik Claire, maupun Tara, bernafas lega meskipun sang lelaki masih harus menjalani hukuman dalam bentuk lain. Pengadilan menyatakan, Calvin harus ditindak secara medis, sekaligus mendapatkan treatment di pusat rehabilitasi secara simultan. Alih-alih mendekam di kurungan, Calvin diperkenankan menghabiskan waktunya di dalam rumah sakit kejiwaan, mendapatkan penanganan tepat sampai batas waktu yang ditentukan dan tentunya dalam pengawasan negara.
Jadi, sampai ia dinyatakan sembuh sepenuhnya oleh pihak dokter yang merawat, lelaki itu harus tetap mendekam di ruang khusus yang akan disiapkan untuknya. Steril dan tidak dicampur dengan pasien lain yang mungkin gejalanya tidak membahayakan.
Sebelum pihak berwajib membawa Calvin ke dalam
mobil untuk dilakukan pengantaran, Claire lebih dulu bangun dan menghampiri sang adik, meski harus tetap menjaga jarak karena status mereka. "Vin..".Calvin menoleh, menatap kearah sang Kakak yang kini bengkak di area matanya. Claire berbicara dengan suara lembut sekali. "Maaf...".
Untuk beberapa detik, mata mereka sempat bertemu, namun Calvin memilih untuk kembali menunduk, menghindari pandangan sang Kakak yang begitu sendu untuknya. Setelahnya, petugas menggiring Calvin ke mobil, namun sang lelaki sempat menolak. "Tara, dimana? Gue mau ketemu Tara dulu".
"Calv". Balas Tara dari arah belakang, membuat sang lelaki berbalik dan menemukan gadisnya yang berwajah sembab, dengan sisa airmata mengering di pipinya. "It's okay, go on. Aku gak kemana-mana".
"Tapi kita bakal susah ketemu setelah ini". Ucap Calvin tak terima. Lelaki itu sudah ketakutan setengah mati. Sebab jika peluangnya bertemu Tara hilang, maka hidupnya bisa hilang juga.
Namun, Tara menenangkan. "Calv, percaya sama aku. Okay? Kamu gak akan kehilangan aku sedikit pun. I'll be there. You just have to go with the process, ya? Jangan takut".
"You made a promise again, Tara".
"And I'll keep it, aku akan tepatin janjiku lagi, seperti sebelumnya". Balas Tara lembut.
Dengan keyakinan itu, pada akhirnya Calvin menuruti. Lelaki itu mengangguk dan memasrahkan diri, membiarkan dirinya dibawa kedalam mobil dengan penjagaan ketat. Beberapa orang turut mendampingi disana. Selanjutnya, pengelihatan Calvin dibatasi, matanya ditutup dengan sebuah kain hitam, mencegahnya untuk mengetahui arah ataupun jalan menuju ke rumah sakit yang akan menjadi kediamannya nanti untuk beberapa lama.
———
Calvin kembali mendapatkan pengelihatannya saat ia berada di ruangan bernuansa putih. Seorang perawat lelaki berdiri disana, membawakan sepasang baju di tangannya. "Calvin, silahkan diganti bajunya".
Calvin mengenali pakaian itu sebagai seragam pasien. Perutnya langsung mual saat menyadari bahwa sekitarannya kini merupakan dinding putih tanpa adanya jendela. Hanya ada pendingin ruangan, sebuah kasur, dan ruangan kecil yang sepertinya merupakan kamar mandi. Hidupnya kini akan resmi terkurung, hanya bedanya bukan di belakang jeruji besi.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MILE AWAY
RomanceGirisha Triastara Briel, Tara, gadis yang bahkan dijuliki si tomboy di kampusnya punya hobi mendatangi aktivitas drifting berkat ajakan sang kakak. Di arena balap itulah, Tara menemukan trigger dan juga ketertarikan. Di arena balap itu juga lah, Cal...