Chapter 7 - Calvin The Ride or Die

3.7K 224 14
                                    

Calvin mengunyah permen karetnya, kemudian menginjak pedal gasnya dalam-dalam, lelaki itu kini tengah dalam latihan lap 2 guna meningkatkan performa balapnya. Adrenalinnya tengah tinggi-tingginya ketika ia membanting stir dan membuat mobil berputar hampir 90 derajat.

Tian merekam record waktu yang Calvin habiskan menggunakan stopwatch.

"Nice!". Seru Tian saat Calvin menyentuh garis finish.

Calvin berhenti tepat di samping sang Coach dan melepeh permen karetnya asal ke jalanan. "What's my record?".

"2 seconds faster than last time, man. You're insane". Puji Tian.

Calvin menunjukkan cengirannya dan memarkir mobilnya. Lelaki itu turun dengan angkuh dan mengambil air botolan yang tergeletak di bangku.

"What's gotten into you? Lo kayak orang kesetanan". Ucap Tian.

Calvin terkekeh. "Gak tau, adrenalin gue lagi tinggi banget".

Tian menggelengkan kepalanya. Anak didiknya itu memang bisa dibilang tidak tertandingi di lapangan.

"Gue pengen rekrut adeknya temen gue nih, cewek. Keren banget pasti figurnya kalo bisa gue angkat". Ucap Tian.

Calvin hampir saja menyemburkan minumannya.

Tara kah maksudnya? Perempuan yang tidur dengannya semalam?

"Temen lo yang waktu itu kesini?". Tanya Calvin.

Tian mengangguk. "Iya, kata kakaknya, tuh anak tertarik. Anaknya juga bilang tertarik sih. Tapi gue harus ajarin dari 0".

"Gue bantuin sini". Ucap Calvin sembari memberi seringaian.

Tian terkekeh mendengarnya. "Tumben amat? Mentang-mentang cewek, maju lo, Vin".

Calvin tergelak, kemudian mengelap sisa keringat di keningnya. "Kayaknya anaknya menarik".

———

"Lo dari mana semalem?!". Seru Ken setelah melihat gadis itu muncul didepan apartemennya dalam keadaan penuh cengiran.

"Mabok, jadi dibungkus orang". Balas Tara singkat sembari melenggang masuk kedalam apartemen Ken.

Gadis itu membuka kulkas dan meneguk jus jeruk dari sana. "Wah, seger".

Ken masih melotot ditempatnya. "Dibungkus siapa, Girisha Triastara Briel?! Kok bisa dengan santainya lo ngomong gitu?".

Tara mengedikkan bahunya. "Gak tau, gue juga gak kenal. Lagian gak penting juga, orang gue gak ngapa-ngapain sama dia".

Ken maju untuk menggenggam bahu Tara, meniti tubuhnya dari atas sampe bawah. "Gak diapa-apain gimana? Gak mungkin lo dibungkus tapi gak diapa-apain, Tar?".

Tara mengerutkan keningnya, mencoba berargumen. "Beneran, Kenneth, ini buktinya gue gak apa-apa. Gak kerasa ada yang sakit juga, katanya kalo abis gituan kan sakit?".

Ken menepuk jidatnya sendiri. "Tar, how could you be so careless? Kalo lo kenapa-napa gimana? Gimana ceritanya lo bisa dibungkus orang? Kenapa gak bangunin gue?".

"Ih, ya mana gue tau. Orang mabok. Lo juga tumbang jangan salahin gue lah, udah lah yang penting kan gue gak kenapa-napa". Balas Tara lagi.

Ken menghela nafasnya. "Terus lo ngapain pagi-pagi disini?".

Tara kembali menunjukkan cengirannya. "Anterin pulang, gue bisa digorok sama abang gue kalo ketauan dibungkus orang".

"Terus lo numbalin gue buat digorok?".

Tara terkekeh. "Kalo sama lo kan pasti dia percaya, gak mungkin kita aneh-aneh. Bilang aja kita ketiduran abis ngerjain tugas. Ya ya ya?"

"Nyusahin amat punya temen ya". Gumam Ken sebelum masuk kedalam kamar mandi.

"Ken kok malah mandi?".

"Ya masa gue gak mandi ke rumah lo?! Udah gondrong kayak gembel gini, yang ada diusir". Seru Ken dari dalam kamar mandi.

Tara hanya cekikikan mendengar omelan temannya yang satu itu.

———

"Harus banget gak ngomong? Emang gak punya hp kalian?". Tanya Joan.

Tara dan Ken saling tatap-tatapan sebelum kompak menjawab.

"Ketiduran, Joan".

"Ketiduran, Jo".

Joan bergantian menatap keduanya. "Kompak amat, udah latian lo berdua?".

Keduanya hanya menunduk menatapi kaki mereka. Pada akhirnya Joan menarik nafas panjang. "Udah lah. Gue mau cabut dulu, lain kali jangan diulangin".

"Iya kakak sayang". Jawab Tara manja.

"Gak usah sok manis deh, lo tuh kayak laki". Balas Joan sembari berlalu.

Tara mencibir. "Hih, gue sumpahin jomblo seumur hidup lo".

Ken tertawa melihat interaksi kakak-beradik itu, membuat Tara memukul bagian belakang kepalanya.

"Aduh, penyiksaan lo".

"Jangan lembek jadi cowok". Omel Tara.

Ken menengus. "Kalo keras repot lo".

———

"Gue serius, kayaknya gue pengen deh belajar drift, menurut lo gimana?". Tanya Tara.

Ken mengunyah eskrim-Nya. "Lo nanya gitu ke calon Ketua Himpunan Mahasiswa, ya gue mah mana ngerti wahai Girisha".

"Gue belajar sama siapa ya, Ken? Ke Tian itu?". Tanya Tara lagi.

Ken menggaruk kepalanya. "Nih kalo lo nanya nya, gue belajar ujian bulan depan darimana, gue bisa jawab. Kalo ginian gue bingung".

"Susah punya temen akademis nomor wahid". Balas Tara.

Ken memilih membiarkan komentar bodoh itu dan menikmati eskrim-Nya. "Gue lagi pusing nih, gue ditunjuk buat bantu ospek sama ketua HIMA yang sekarang".

"Kapan sih?". Tanya Tara.

"Minggu depan, Tar. Pusing gak sih? Gue padahal gak mau". Ucap Ken.

"Ajak gue dong, gue pengen nge-Ospek". Balas Tara lagi.

Ken melirik gadis itu. "Beneran mau? Kebetulan emang lagi cari 1 lagi nih, sebenernya sih cowo. Tapi ya, lo kan kayak laki juga. Aman harusnya".

"Sialan, lo. Beneran tapi gue mau". Ucap Tara.

Ken menjitak kepala Tara. "Tapi jangan lo siksa anak orang, tujuannya mendidik, Tar".

"Nggak, paling gue ludahin doang". Balas Tara santai.

Tak lama kemudian, ponsel Tara berdering, menunjukkan chat dari nomor yang tidak ia kenali. Matanya membelalak saat menemukan siapa sang pengirim pesan.

Calvin.

Lelaki itu terang-terangan mengirimkan foto saat mereka melakukan kegiatan panas itu. Sialan, darimana ia mengambil foto itu?

Tara dengan sigap membalas pesan berupa ancaman dari Calvin, sembari menyembunyikannya dari Ken. Lelaki itu mulai sadar dengan perilaku aneh sang gadis.

"Dari siapa sih?". Tanya Ken.

Tara gelagapan, gadis itu langsung menutupi layar ponsel. "Bukan siapa-siapa".

"Boong, pinjol ya?". Tanya Ken.

"Ish, pala lo pinjol. Udah ah, gue mau mandi terus tidur, lo kalo mau balik, balik aja ya. Cuci dulu mangkok bekas eskrim-Nya sebelom balik". Ucap Tara sebelum berlalu.

Ken menatapi figur itu bergerak meninggalkannya, hatinya sebenarnya takut bukan main, tapi lelaki itu memilih diam. Tidak bisa menyuarakan apa yang ada didalam hatinya.

———

A MILE AWAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang