Chapter 44 - Similarities

1.3K 135 7
                                    

⚠️Mentioned of Murder Attempt

Nulis ini tuh knp lama krn harus mateng bgt gitu loh plottingnya biar nnti endingnya pd gak hah heh hah hoh trs otak w ikutan sakit krn chara ku yg hmmmmmm bgt WKWKWKWK

DAN JUGAAA... Plotting disini sama sebelah (Repetitive goodbye itu nyambung) 🙂
Jadi aku harus hati2 biar ttp nyambung sama sana, tapi dari 2 point of view.

Nah, kalo kalian kaget baca tiba-tiba kok ada event yang gak diceritain disini secara detail, itu berarti ada di judul sebelah dan silahkan dicari dimana penjelasannya HIHI 🫣

———

Ini akan menjadi pertandingan kedua Calvin di Bali, setelah sebelumnya memenangkan situasi dengan mulus. Lelaki itu sudah mempersiapkan diri, beberapa kali bahkan berlatih guna memenangkan kembali trophy kemenangan, tapi nampaknya kali ini ia harus merelakan kemenangan itu jatuh ke orang lain. Sebab ia sudah berjanji untuk Tara, bahwa ia akan membiarkan rekan seperjuangan Tara, Gio, yang memenangkan lap kali ini.

Rasa bersalah dan cinta sang lelaki yang bercampur itu, sudah siap menerima konsekuensi apapun. Mungkin, jika orangnya bukan Tara, Calvin tidak akan peduli. Seperti yang pernah terjadi dengan Papanya waktu itu. Toh, ia tak pernah peduli akan dihukum secara negara maupun dimasukkan ke sel.

Berbeda dengan perlakuannya ke Tara, lelaki itu sungguh merasakan sesuatu yang menempel di hatinya, beban sebesar dunia yang terus mengganjal, menanti untuk ditebus dengan apapun yang Tara inginkan dan gadis itu rasa setimpal dengan perilaku keji yang Calvin lakukan.

Calvin pernah mendengar pembicaraan Claire dan Mamanya di suatu hari, tepat setelah insiden penusukan yang ia lakukan pada sang Papa. Calvin yang hari itu tidak terlelap bahkan setelah diberi obat tidur agar tenang, menguping pembicaraan Claire yang dengan gamblang mengemukakan hal pada sang Mama.

"Yang perlu anda tahu, Calvin itu sakit. Jadi, saya harap anda bisa menjaga dia. Pastikan dia tidak menyakiti orang lain ataupun dirinya sendiri".

Kata-kata itu terus terngiang di kepala Calvin, perihal sakit macam apa yang Claire maksud. Tubuhnya terasa baik-baik saja, walau terkadang lemas efek kurang tidur dan konsumsi alkohol maupun obat-obatan terlarang yang berlebihan. Pada akhirnya, Calvin tidak pernah menemukan jawabannya, sebab yang ia dengar selanjutnya adalah tangisan sang Mama, yang diikuti oleh Claire yang membanting pintu saat keluar dari kamarnya.

Calvin bahkan ingat menikam sisi di dekat tulang selangka sang Papa sebanyak dua kali, kemudian tertawa kesenangan saat melihat sang Papa tergeletak memegangi sebelah dadanya. Argumen tak terelakkan itu begitu sengit, baik Calvin maupun Papanya tak ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya Calvin memilih berjalan pelan ke dapur, mengambil sebilah pisau dan langsung menghampiri sang Papa.

Setelahnya, ia bahkan ingat mencuci tangannya, berikut wajahnya yang terciprat darah, sebelum berjalan keluar dari rumah milik Papanya di Jakarta, daerah Menteng tepatnya. Lelaki itu tak menghiraukan lolongan dari dalam, suara sang Papa yang meminta tolong, dan beberapa orang sempat terlihat masuk kedalam rumah karena teriakan itu. Security yang bertugas di rumah itu bahkan sempat menatap Calvin takut, seakan ia adalah makhluk yang patut dihindari.

Namun, rasanya enteng. Tidak ada sedikitpun yang salah bahkan ketika Calvin kembali ke apartment miliknya. Lelaki itu masih berlaku seperti biasa, menonton tayangan di televisi dengan memakan apel, bahkan berulang kali menertawai tontonannya yang menurutnya konyol.

Berbanding terbalik dengan apa yang ia lakukan pada Tara, yang rasanya ingin membuatnya menghukum diri sendiri dengan menjatuhkan diri dari ketinggian, atau menabrakkan diri dengan kecepatan tinggi. Sebab, rasa bersalah itu menggantung terus, ia merasa kalut, khawatir apabila Tara mengalami satu kerusakan permanen di tubuhnya karena akibatnya.

Padahal, Calvin tidak pernah berniat menyakiti Tara, apalagi berupaya membunuhnya. Lelaki itu benar hanya dikuasai amarah dan cemburu, membuatnya berkeinginan menabrak mobil Tara yang kebetulan tak jauh darinya, memberi sang gadis pelajaran agar jera. Tapi tak disangka, efeknya begitu gila.

Rasa bersalah itu kian menggerogoti.

Apalagi saat melihat Tara dibawa pergi menggunakan tandu dengan luka terbuka di segala sisi tubuh, Calvin bersumpah ia merasa takut bukan main. Takut kalau apa yang ia lakukan akan membuat Tara mati, atau menimbulkan hal buruk di diri sang gadis.

———

"Kak". Panggil Calvin pelan, menghampiri sang gadis yang tengah duduk di salah satu sudut ruang perpustakaan dengan buku bacaan berjudul 'Theories of Psychology Study' di pangkuannya. Mata Calvin otomatis mempelajari bagaimana tatapan datar itu mendarat padanya.

Gadis itu langsung menutup bukunya, cahaya sore dari luar ruang perpustakaan membuat sebagian wajahnya tersapa kilau matahari sore, begitu cantik dipandang mata. "Ada apa?".

"Kamu.. Ngapain sendirian disini?". Tanya Calvin lagi, kini mulai beralih untuk ikut duduk bersama sang gadis.

Tara memperlihatkan tumpukan buku di depan matanya. "Belajar. Gue ketinggalan banyak".

Calvin tidak menyadari betapa rindunya ia akan sosok Tara, yang kini masih terbalut beberapa buah plester di sisi kanan dan kiri dahinya. Sisanya, gadis itu masih terlihat sama cantiknya seperti yang terakhir Calvin temui. "Belajarin mata kuliahmu? Buku psikologi semua".

"Iya lah. Sebagian juga karena gue tertarik belajarin isi otak manusia, cara berpikirnya. Gue gak salah pilih jurusan ini". Balas Tara acuh, sembari mulai membereskan tumpukan bukunya untuk dibawa, sepertinya hendak memilih pergi dari Calvin, menjauh.

Namun, tangan Calvin menahan pergerakan itu. "Tunggu, Kak. Disini dulu. Sebentar aja, jangan pergi dulu".

Tara menatap datar kearah tangan mereka, tangan Calvin diatas tangannya, menahannya agar tetap di tempat. Gadis itu menarik nafas panjang, seperti berupaya mengatasi sesuatu. Calvin memilih mencari dua netra Tara, menatapnya lebih baik lagi. "It's been a long time I don't see you, aku kangen banget.. Tara".

Tara mengerutkan keningnya, jelas heran dengan perubahan sikap Calvin yang menjadi seperti budak cinta secara tiba-tiba semenjak insiden kecelakaan yang menimpa dirinya. Namun, gadis itu terus menutup mulut, membiarkan Calvin yang berbicara, menjelaskan isi pikirannya.

"Aku tau ini kedengaran aneh buat kamu.. Tapi, aku merasa jauh lebih baik setelah lihat kamu. Sebelumnya aku kacau, pengennya marah dan nyalahin diri sendiri. Tapi begitu aku ketemu kamu, semuanya hilang, Tara. Aku jadi baik-baik aja". Sambung Calvin lagi, kali ini dengan tatapan tulus yang membuat Tara bertanya-tanya.

"You sound weird". Komentar Tara singkat.

Calvin mengangguk. "I know. Aku bahkan gak ngenalin diriku sendiri. Itu makanya aku butuh kamu Tara. You're my sanity".

Lelaki itu kini memberanikan diri untuk mengambil tangan Tara dan mengecup punggung tangannya. "Apapun yang kamu mau, akan aku turutin. Asal kamu gak kemana-mana, tetep begini. Aku janji, apapun akan aku lakuin buat kamu, Girisha".

Tara menatap penuh selidik, kemudian melirik salah satu buku dari tumpukan bacaannya, pikirannya seakan menangkap sesuatu yang tak ingin ia suarakan, sebab rasanya Tara baru saja membaca bagian pembahasan studi kasus di buku itu, yang entah mengapa rasanya begitu mendekati dengan apa yang ia saksikan barusan dengan kedua matanya.

———

A MILE AWAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang