Chapter 54 - Unsent

1.1K 122 7
                                    

Tara menyaksikan dengan kedua matanya saat peti berwarna cokelat itu dibawa beriringan menuju ke pemakaman yang letaknya tak jauh dari Kuta. Langit hari tidak terlihat secerah biasanya, cenderung kelabu bak senada dengan suasana yang melingkupi semua yang hadir disana. Airmata Tara berhasil ditahan dengan baik, meski sesak. Menyaksikan sekali lagi bagaimana keluarga dan rekan dari seorang Gionanda Prasasti hadir disana dengan airmata di masing-masing pipi mereka, menahan kesedihan saat melepas sosok yang menurut semua orang seperti matahari bagi sekitarnya. Begitu ceria, begitu menyenangkan.

Airmata Tara berhasil tertahan sampai ketika gadis itu menyaksikan Ales, kakak Gio berjalan mendekat kearah lokasi pemakaman dengan menggunakan pakaian rapi. Tuxedo berwarna gelap yang begitu pas di tubuhnya. Tara, atau siapapun yang hadir disana nyatanya tidak sanggup lagi menyembunyikan kesedihan saat melihat Ales berlutut di pusara sang adik, dan melakukan monolog kecil dengan dirinya sendiri.

Di satu sisi, mata Tara mengekor pada sosok seorang yang berdiri di seberangnya, menatapinya dengan tatapan penuh rasa khawatir. Berdiri disana adalah Calvin, dengan pakaian serba hitam dan rambut yang dibiarkan berantakan. Sebenarnya, Tara sudah yakin, lelaki itu pasti akan berada di tempat yang sama dengannya. Sebab, Calvin dan Gio sendiri memang terbilang sudah sering bertemu di arena balap, sebelum Calvin memutuskan untuk mundur dari kegiatan tersebut.

Mata mereka bertemu, saling mengunci untuk beberapa waktu, seakan tengah berbicara dalam bahasa yang tidak membutuhkan kata.

Sampai akhirnya satu tepukan di pundak Tara menyadarkannya. Tara tidak menyadari bahwa sejak tadi, Ales sudah berdiri di dekatnya, berupaya mengajaknya berbicara.

"Kak Ales? Aku turut berduka". Ucap Tara otomatis, menyaksikan bagaimana Ales langsung mengangguk.

Ales terlihat merogoh sesuatu dari dalam kantong tuxedonya, kemudian mengeluarkan 2 buah amplop dengan warna berbeda. Hitam dan putih. Ales terlihat memandangi kedua amplop itu sejenak sebelum menyerahkannya pada Tara.

Tara terlihat kebingungan menerimanya. "Ini apa, Kak?".

"Ini sebelumnya punya Gio, selalu ada di laci kamarnya. Sekarang saya serahin ke pemiliknya, biar dibaca. Kamu buka dulu amplop yang putih, baca isinya, baru habis itu yang hitam". Balas Ales.

Tara memperhatikan masing-masing amplop itu baik-baik, sebelum mengangguk. "Makasih, Kak Ales".

"Saya duluan ya, Tara". Balas Ales sebelum kembali menepuk pundak Tara dan berjalan menjauh, meninggalkan sang gadis yang masih kebingungan di tempatnya.

Tara memutuskan untuk mengikuti instruksi Ales, merobek dengan hati-hati amplop berwarna putih di tangannya dan mengeluarkan selembar kertas dari dalam. Ternyata, isinya adalah sebuah surat yang tertulis cantik dengan tulisan tangan khas milik seorang yang sudah beristirahat dengan tenang disana. Surat itu hampir tertulis penuh, isinya ialah ungkapan perasaan terdalam yang seseorang pernah miliki.

Dan airmata Tara jatuh deras saat membaca satu kalimat disana ;

I always ask myself why, the love my heart wants, will never be mine.

Gio mencintainya, memiliki perasaan yang begitu dalam padanya, dan memutuskan untuk menguburnya dalam. Tara jelas tidak pernah menyangka sebelumnya, bahwa selama ini ia terlalu acuh pada sekitar, hingga tidak menyadari perasaan seseorang yang tertanam untuknya.

Hingga akhirnya, sang gadis membuka amplop berwarna putih, yang nampaknya isinya sama; sepucuk surat yang ditulis tangan oleh pemiliknya. Tapi surat kali ini tidak berisi banyak kalimat, hanya satu kalimat yang membuat tangis Tara makin pecah.

By the time you're reading this letter, I have decided to love you quietly, Girisha Triastara Briel.

Tara memeluk dua surat di tangannya, merasakan bagaimana ia sesak setelah membaca pengakuan terdalam dari seseorang yang kini tak mungkin lagi ia temui. Ditengah tangisnya, Tara tak menyadari saat seseorang merengkuhnya kedalam pelukan, membuat tangisnya teredam karena tubuh mereka begitu dekat dan saling menempel.

Tara mengenali parfum ini, aroma yang begitu familiar untuknya. Orang yang merengkuhnya ini Calvin, sudah pasti Calvin.

Tara menoleh, mendapati bagaimana tatapan lembut sang lelaki mengarah padanya. "Are you okay, Kak?".

Sang gadis hanya menggeleng lemah. Ia yakin mungkin sekarang ini sudah banyak pasang mata menatap kearah mereka, terutama dari orang-orang yang mengenal keduanya. Tapi, Tara sudah tak memiliki tenaga untuk menolak, energi seakan sudah diserap habis dari tubuh mungilnya.

Bak bisa membaca situasi dengan baik, Calvin kembali memeluk Tara erat, mengelus punggung sang gadis sebagai bentuk afeksi untuk menenangkan, yang mana nampaknya berhasil. Sebab, tangisan Tara mulai mereda setelahnya.

"Nangis aja, Tara. Habisin airmatanya, biar lega. Gak apa-apa, aku peluk kamu terus sampai rasanya lebih ringan". Ucap Calvin lagi, suaranya begitu lirih seumpama kapas.

Dan tanpa diduga, Tara membalas pelukan itu, bahkan melesakkan wajahnya lebih dalam ke pelukan mereka, gadis itu menutup kedua matanya dan membiarkan hangat diantara mereka menenangkan perasaannya yang berkecamuk. Pergerakan Tara itu tentu membuat Calvin terkejut, tidak mengira sang gadis tidak menolak dan bahkan membalas afeksinya.

Calvin kemudian memilih memberanikan diri untuk mengecup kening Tara, yang membuat sang gadis otomatis membelalak sejenak, namun memilih untuk memejam kembali.

Jujur, Calvin senang bukan main setelah tidak menerima penolakan, lelaki itu kembali mengelus punggung Tara lembut. "It's okay, Girisha, You're okay. Kamu gak sendiri, ada aku yang nemenin kamu".

———

"Kapan landingnya?". Ucap Tara lebih dulu pada Calvin.

Saat ini keduanya tengah menghabiskan waktu di salah satu kafe yang letaknya tak begitu jauh dari lokasi pemakaman Gio tadi. Calvin sengaja membawa Tara mampir kesana, sebab tahu bahwa sang gadis belum mengkonsumsi apapun sejak tadi.

Calvin melirik kearah Tara. "Tadi pagi, kayaknya cuma selisih berapa lama dari flight kamu, Kak".

"Emang tau flight gue kapan?". Tanya Tara balik.

Calvin tersenyum mendengarnya. "Tahu, aku tanya coachmu, tanya temen-temen tim kamu juga, Kak".

Kening Tara berkerut mendengarnya. "Kenapa gak tanya langsung?".

Calvin terkekeh dan menggeleng. "Gak mau, maunya tiba-tiba udah di sebelah kamu, bikin kamu kaget. Aku suka diem-diem gitu, Kak".

Tara seketika merinding, ia tahu lelaki di depannya memang memiliki gangguan obsessive love disorder padanya, tapi mendengar langsung bagaimana jalan pikiran Calvin nyatanya masih membuatnya merinding juga.

"Lain kali langsung tanya aja, Calv. Gue gak nyaman kalau lo tanyain soal gue ke orang-orang". Balas Tara.

Calvin memiringkan kepalanya dan menaikkan sebelah senyumnya, membuat Tara sampai menelan saliva karena rasa takut yang muncul. "Kamu gak mau orang-orang tahu soal kita ya, Kak?".

"Enggak, toh gak ada apa-apa diantara kita, gue cuma gak nyaman". Balas Tara singkat.

Calvin kini mengangguk pelan. "Gak nyaman ya, oke, aku gak akan lakuin lagi kalau gitu".

Tara mempelajari detail ekspresi Calvin yang sejak tadi masih menatapnya, jelas sekali tengah menerka bagaimana otak yang tidak sehat itu tengah berpikir. "Makasih ya, Calv". Sang gadis kemudian menghela nafasnya, mencoba menenangkan diri dari rasa takut yang hinggap karena Calvin masih saja menatapnya tanpa kedip. "Gue mau langsung balik ke penginapan habis ini, lo gak apa-apa kan gue tinggal disini?".

"Enggak boleh, Tara".

Tara menoleh, merasa bingung mendengar larangan dari lawan bicaranya. Belum sempat Tara mencerna, Calvin sudah kembali berbicara.

"Nginep di penginapan ku, Tara. Sama aku. Gak akan kamu biarin sendiri. Kamu harus sama aku terus, setiap hari, setiap saat, selamanya".

Tara bersumpah seluruh tubuhnya kembali merinding bukan main saat mendengar kalimat itu meluncur dari bibir Calvin. Nampaknya jika dibiarkan terlalu lama, kasus Calvin akan termasuk kearah yang berbahaya untuk keselamatannya. Tara bisa membacanya dengan jelas.

———

A MILE AWAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang