Chapter 21 - Pelampiasan

2.8K 175 14
                                    

🔞 dikit dan ⚠️ karena ada mention of abusive behavior

———

Calvin memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, menginjak pedal gasnya dalam-dalam tanpa memerdulikan mobil disekitarnya yang untungnya jumlahnya tak banyak. Lelaki itu benar-benar tengah digempur emosi, dan memutuskan untuk melampiaskannya di jalanan, memacu kecepatan hingga mendekati 200km/jam.

Calvin butuh pelampiasan, batinnya panas bukan main. Ia benci kekalahan. Dan melihat bagaimana frustasinya gadis yang ia inginkan meminta cumbuan dari lelaki lain, membuat seluruh jengkal di tubuhnya mendidih, panas bukan main.

Lelaki itu memacu kendaraan berwarna hitamnya hingga memasuki area apartment milik kekasihnya, tidak peduli kalau jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi saat lelaki itu tiba disana. Ia juga tak memikirkan perihal Sara, sang kekasih yang baru saja dapat beristirahat setelah seharian bekerja dan baru bisa kembali ke kediaman sejam sebelumnya.

Calvin memang terkenal tak berperasaan, bahkan kepada orang yang ia pilih menjadi kekasih. Seperti sekarang contohnya, lelaki itu tiba-tiba saja masuk kedalam kamar Sara, menyingkap selimut yang membungkus tidurnya dan langsung melepas seluruh pakaian yang melekat di tubuh gadis itu tanpa memedulikan teriakan penolakan dari sang kekasih.

Calvin hanya memberi cumbuan untuk foreplay sebentar, sebelum memilih langsung menyetubuhi Sara, membuat gadis itu merasakan sakit karena belum terangsang sepenuhnya.

"Vin, pelan-pelan. Ah, Kamu kenapa sih? Aku capek baru pulang kerja, Mmm. Emang gak bisa nanti aja?". Rintih Sara lemah, meringis karena meraskan bagaimana Calvin menghujamnya kasar dan tidak memelan.

Calvin malah meludah kearahnya. "Gak usah ngeringis lo, gak usah berlagak gak mau. Lo aja ngedesah. Nikmatin aja".

Sara merasakan airmatanya mengalir di kedua pipinya. Bukan, ini bukan airmata yang terjadi karena perasaan menyenangkan saat bercinta. Ini sakit. Entah mana yang lebih sakit Sara rasakan, tubuhnya, atau hatinya. Ia tak tahu.

Tapi inilah Calvin, inilah kekasihnya. Lelaki itu memang selalu memperlakukannya seperti benda mati. Entah apa alasan Sara terus bertahan dengan seseorang yang sebenarnya menyiksa batinnya terus-menerus kalau bukan karena cinta.

Calvin baru menghentikan gerakannya saat lelaki itu sudah puas, meski setengah hati menerima, Sara tidak bisa memungkiri kemampuan Calvin dalam memuaskan lawan mainnya di ranjang. Nyatanya, bahkan ditengah rasa sakit di hatinya, Calvin tetap berhasil membawa Sara sampai ke nirwananya.

Hal itu membuat Calvin makin melecehkannya. "Keluar juga kan lo? Munafik. Sok-sok bilang gak mau".

Setelahnya, lelaki itu langsung memilih berbaring disana dan tertidur. Tidak sedikitpun memikirkan segukan tertahan dari Sara yang menangis sendu, meratapi perlakuan kekasihnya yang jauh dari kata lembut dan penuh sayang.

Namun, ia akan bertahan, sekuat tenaga akan bertahan untuk tetap bersama Calvin.

Ia cinta Calvin cukup dalam, dan bersedia menerima Calvin seutuhnya, dengan segala kekurangannya.

———

Ken keluar dari dalam club dan langsung berlari kecil ke mobilnya, menyaksikan Gio yang masih menghisap rokoknya disana, menatap kearah dalam mobil, seperti menjaga Tara disana.

Ken menepuk pundak Gio. "Aman, bro?".

Gio tersentak, rokoknya sampai terjatuh dari bibir. "Eh, udahan? Aman kok. Tidur dia dari tadi. Gue kunciin sesuai permintaan lo".

Ken bernafas lega mendengarnya. "Thank you, Bro. I owe you. Lo mau gue anter balik sekalian? Masih sadar gak?".

Gio otomatis menggeleng. "Gak usah, gue balik sendiri aja. Masih bisa nyetir kok, aman".

"Oke, kalo gitu gue duluan ya. Gue mesti anter Tara balik. Hati-hati lo". Ucap Ken, menepuk pundak Gio sekali lagi sebelum masuk kedalam mobil dan menatapi Tara yang tertidur tenang, bahkan nampak tak menyadari kehadirannya.

Ken menyetir dalam diam, buku jarinya sampai memutih karena terlalu kencang memegang kemudi. Emosinya memuncak jika mengingat bagaimana menjijikannya percakapan tadi dengan Calvin. Ia yakin, ada yang salah dengan anak itu. Apalagi saat membayangkan kalau bocah sialan itu berhasil meniduri Tara, kebencian itu makin menguar.

Ken merasakan satu kehangatan mendarat di pahanya, yang ternyata adalah telapak tangan Tara. Gadis itu sepertinya terbangun karena bunyi klakson dari mobil Ken yang beberapa kali terdengar.

"Tar, kebangun ya? Sori, sori. Bentar ya, dikit lagi sampe rumah kok. Pusing ya?". Ucap Ken, sembari melirik kearah Tara yang sudah memandangnya bingung.

"Ken, kita dimana?". Panggil Tara, gadis itu memegangi kepalanya linglung.

Ken mencoba menenangkan dengan memegang jemari Tara. "Dijalan pulang kerumah lo. Bentar lagi sampe kok".

Tara langsung bangkit dan menggeleng. "Jangan kerumah, lagi ada Papa. Gue bisa abis kalo ketauan pulang dalam keadaan high gini".

Mobil yang Ken kendarai perlahan memelan dan berhenti di satu sudut. "Terus mau kemana? Udah hampir pagi ini, lo butuh istirahat".

Gadis itu menggigit bibir bawahnya. "Hmm.. Kalo ke.. Apartement lo gimana?".

Ken bersumpah sampai harus menelan salivanya susah payah mendengar itu. Tara pasti tidak tahu betapa menggairahkannya gadis itu sekarang di mata Ken, pikirannya yang sudah sempat teralihkan mau tak mau jadi kembali mengeruh.

Jadi, lelaki itu memilih berkata jujur, guna melakukan tindakan prefentif. Entahlah, sebagian besar mungkin dilatar belakangi oleh alkohol. "Tara.. Let me be honest with you. I'm not thinking straight right now, semenjak kejadian tadi. Gue takut lose control kalo kita berduaan aja sekarang di apartment gue. Kalo mau, lo gue drop di apart gue, tapi gue habis itu langsung cabut ya? Lo aja yang tidur disana".

Tara seakan berpikir sejenak, gadis itu menggigit bibirnya gelisah dan menggeleng. "Gak apa-apa..".

"Gak apa-apa gimana? Yang jelas ngomongnya". Tanya Ken balik.

Tara berakhir menunduk malu. "Just.. Let it be. Gue juga lagi gak bisa mikir dengan baik. Let's just.. Let things happen without thinking, should we?".

Sialan.

Ken bersumpah, debaran jantungnya seakan terdengar di kesunyian ini. "Bangsat".

Tara menautkan alisnya bingung. "Kenapa? Kok marah?".

"Bukan, gue ngatain diri gue sendiri". Lelaki itu kemudian kembali memacu kendaraannya, membawa mereka ke tempat yang sudah lebih dulu mereka setujui.

Bila harus menyesal, biarlah besok mereka menyesalinya bersama. Biar malam ini mereka habiskan tanpa sedikitpun memikirkan perkara hal yang benar ataupun salah. Bagai dua manusia tak berakal yang melakukan segala hal tanpa dipikirkan baik-baik dampaknya.

Dan ketika hal itu terjadi, Ken tidak mungkin berpikir untuk menyesali. Karena ketika Tara berada dibawahnya, dengan tanpa sehelai kain pun menutupi, rasanya hidupnya sudah lengkap.

Seumur-umur, ia tidak pernah berpikir akan bertindak sejauh ini dengan sahabatnya sendiri, yang memang ia pendam rasa sejak lama. Namun mendengar rintihan itu memanggil namanya berulang kali, merasakan bagaimana candunya mengecupi seluruh jengkal dari tubuh cantik itu, dan berakhir dengan sama-sama meraih apa yang mereka kejar, rasanya menjadi satu hal yang tidak akan pernah lepas dari ingatan Ken. Entah kejadian ini pelampiasan atau bukan namanya, Ken tidak peduli.

Tara begitu responsif terhadap sentuhannya, begitu mendamba perhatiannya, membisikkan kata-kata yang tidak ia bayangkan akan terlontar dari bibir sang cantik. Malam mereka begitu panas, apa yang sejak tadi tertahan akhirnya tercapaikan juga, tanpa seorang pun selain mereka yang mengetahui.

———

A MILE AWAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang