Chapter 32 - The Statue of Hurt

2K 160 17
                                    

⚠️Another mention of drug use.

———

Tara menyaksikan luka itu tergores jelas di wajah Ken, yang membuat sang lelaki langsung terdiam tak bersuara. Di sudut hatinya, gadis itu menyesali, entah mengapa sepertinya ucapan terakhirnya betul-betul keterlaluan.

"Right. Gue yang salah, Tar. I should never set my thoughts on you too far". Pada akhirnya Ken berucap, membuat Tara merasakan perih juga di dalam dadanya.

Gadis itu menggeleng. "M.. Maksud gue gak gitu, maksud gue..".

"No. Lo bener. Gue harusnya tahu diri. Gue terlalu khawatir sampai tanpa sadar ngerasa punya hak untuk marah. Gue salah". Balas Ken lagi, entah mengapa, kata-kata yang terus terucap itu terasa menyakitkan. "Lo masuk kerumah gih, gue mau balik".

"Kenneth, dengerin dulu..". Panggil Tara, mencoba meredakan pertengkaran yang sudah ia sulit sendiri.

Ken terkekeh. "Enggak, Tara. Gak perlu lo jelasin lagi maksudnya apa. Yang ada gue bakal makin sakit dengernya. Gak apa-apa, gue akuin gue salah, gue minta maaf karena udah kelewat batas. Udah ya? Gue mau balik".

Tara membungkam mulutnya sendiri, bingung akan situasi yang terjadi dan perkara tidak ingin memicu perdebatan lain. Jadi, yang gadis itu lakukan selanjutnya ialah turun dari mobil Jeep milik Ken dan memperhatikan dari area garasi rumahnya saat mobil itu berangsur menjauh.

Sial.

Rasa bersalah dan kalut yang berpadu itu bercampur dan menghujam dadanya bukan main. Tara sadar, seharusnya tidak perlu berlaku separah itu pada Ken. Padahal jika dipikir-pikir, tentu saja Ken punya hak untuk marah. Pertama, Ken adalah sahabat Tara sejak dulu. Kedua, Ken dan Tara baru saja melewati malam bersama beberapa hari kebelakang, jadi wajar jika Ken sampai semarah itu. Ketiga, Ken adalah orang pertama setiap Calvin memperlakukannya secara buruk.

Entahlah, Tara sudah tidak lagi tahu perkara mana benar dan salah, semuanya terasa aneh.

Gadis itu pada akhirnya memilih masuk dan mengunci dirinya di kamar. Sebagian di kepalanya menyesali betul kejadian semalam, tapi sebagian lagi merasakan euforia itu bersemayam. Semalam, ia dan Calvin bahkan melakukan aktivitas ilegal, hanya sampai situ yang ia ingat, sisanya, hanya adegan panasnya dengan Calvin yang terus bersemayam di ingatan sang gadis.

———

Siang hari Tara di Kanoko Institute sudah dikejutkan dengan pencalonan namanya di pemilihan ketua HIMA yang seharusnya diduduki oleh Ken. Gadis yang sama sekali tak tahu menahu itu keheranan saat melihat namanya di papan nama, padahal ia sama sekali tidak pernah menginput namanya disana.

"Pemilihan dilandaskan atas pilihan voting terbanyak, yang sudah diambil sekitar 4 hari lalu". Jelas Bian, sang pemimpin HIMA sebelumnya saat Tara mengkonfirmasi.

Sang gadis mengerutkan keningnya. "Hah? Tapi saya gak pernah mencalonkan diri".

"Memang, tapi kami ambil dari popularity juga, sekaligus dengan reputasi calon selama disini. Reputasimu naik semenjak berulang kali ikut racing yang sama dengan Calvin. Banyak yang mau dia ikut dicalonkan karena prestasinya, tapi mengingat dia baru masuk tahun ini, jadi belum bisa terhitung sebagai kategori. Jadilah, kamu yang terpilih, Tara". Jelas Bian lagi.

Tara menggeleng. "Tapi saya gak berminat, Kak. Bisa tarik nama saya dari list kandidat?".

"Maaf, untuk pengajuan keberatan sudah ditutup dari 2 hari lalu. Seharusnya kamu bisa mengajukan dan menarik namamu saat itu. Sekarang sudah tidak bisa". Balas Bian lagi.

Tara menepuk dahinya. "Shit".

"Kalau udah gak ada yang mau ditanya lagi, saya permisi ya, Tara. Goodluck dalam pencalonannya". Ucap Bian sebelum berlalu.

Satu hembusan angin bertiup di telinga Tara secara tiba-tiba, mengagetkan sang gadis yang masih tercengang ditempatnya. Calvin terlihat berdiri disana, tersenyum jenaka kearah Tara. "Hai, sayang".

Gadis itu mengernyitkan keningnya. "Sayang pala lo, ngapain lagi tiup-tiup gue".

"Lo cepet amat berubahnya sih? Kemarin kita udah sayang-sayangan padahal. Di kasur gue". Sahut Calvin tanpa mengecilkan suaranya, membuat Tara sontak maju dan menutup mulut itu dengan telapak tangan mungilnya.

Dengan percaya diri, Calvin mengecup telapak tangan Tara yang membekapnya, berhasil membuat sang gadis langsung melepas bekapannya. "Apaan sih? Segala dicium".

"Tadinya mau cium bibir lo, tapi entar lo diliatin segedung. Balik kampus aja ya, ke apart gue lagi. Gue udah kangen". Ucap Calvin lagi, lebih kencang dari sebelumnya.

Hal itu sontak membuat Tara meraih tangan Calvin dan membawanya menjauh, menarik sang lelaki ke toilet difabel dan mengunci mereka berdua bersama. Tara langsung memasang wajah bengis seusai memastikan pintu sudah terkunci dengan rapat. "Lo sengaja ya ngomong teriak-teriak gitu? Nanti orang pada denger, anjing".

"Gue sih gak masalah, malah gue mau orang-orang tau lo sama gue udah ngewe. Kenapa harus diumpetin?". Balas Calvin santai.

Tara memegangi kepalanya yang seakan mau pecah. "Gila ya. Gue lagi stress, makin stress aja ngobrol sama lo gini".

Calvin tersenyum sebelum mencuri satu ciuman ke bibir Tara. "Kamu lagi stress? Mau dibikin lupa gak?".

Tara menatap dengan tajam. "Gak usah ngaco lo".

"Aku serius, Tara". Balas Calvin sebelum mengeluarkan satu benda dari kantongnya. "Nih, yang kayak kemarin. Kamu pasti langsung happy".

Tara menatapi benda itu, yang sengaja Calvin mainkan di jemari lentiknya. Lelaki itu merendahkan nada bicaranya pada Tara. "Kita pakai bareng, supaya senengnya bareng".

Tara tidak lagi bercakap, dan membiarkan Calvin memagutnya dalam kedalam sebuah ciuman yang menguapkan otak Tara. Gadis itu bak tersihir, tidak lagi mendahulukan otaknya yang perlahan terbuai karena ciuman yang memabukkan. Calvin lah yang pertama melepas pagutannya dan menyulut ujung lintingan di jemarinya.

Seusainya, sang lelaki mengarahkan lintingan tersebut pada bibir Tara untuk dihisap. "Nih, inhale. Terus cium aku. Buang aja asapnya di mulutku".

Tara berulang kali mengarahkan matanya bolak-balik ke wajah Calvin dan benda kecil di tengah jari sang lelaki. "Is it safe to do it here?".

"You'll always be safe with me, I promise". Balas Calvin lembut.

Pada akhirnya, Tara menyambut ajakan itu. Menghisap dalam, dan menahan asapnya. Gadis itu tak perlu menunggu sebelum Calvin lebih dulu menyatukan bibir mereka dan seakan membiarkan Tara membagi asap hisapan benda terlarang itu padanya. Ciuman yang begitu saling menuntut, dengan Tara yang sampai merengek karena bibir Calvin yang tidak memberinya jeda untuk bernafas. Hingga akhirnya sang lelaki mengizinkan Tara menarik nafas.

"Gosh, I'm so much obsessed with you, Girisha. Please be mine already, my precious lady". Ucap Calvin sebelum berakhir dengan kembali memagut bibir sang gadis yang mulai terjalin dengan euphorianya sendiri.

Tidak ada yang pernah tahu, bahwa mungkin ini adalah kali pertama Tara mendapatkan adiksi barunya, akan sesuatu yang baru Calvin kenalkan padanya. Sesuatu yang jauh dari hal yang patut dicontoh atau dimaklumi.

Tara yakin ini salah, tapi gadis itu memilih tidak peduli. Memilih buta akan realita yang berniat menyadarkannya dari hal kelam.

———

A MILE AWAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang