Chapter 65 - The Love That Has No Boundaries

1.2K 112 4
                                    

Hari-hari Calvin, berjalan dengan cukup kondusif. Semua proses pemeriksaan, baik secara hukum dan kesehatan, semua ia jalani dengan semestinya. Lelaki itu selalu menekankan seluruh permintaan terakhir Tara padanya, menjadikannya pedoman sebagai seorang yang patuh atas dasar keinginan seseorang yang dicintai.

Tara turut menepati janjinya, gadis itu akan memunculkan wajah beberapa kali dalam seminggu, meskipun beberapa kali wajah itu terlihat pucat karena kelelahan. Tapi, setiap kali bertemu, Tara akan menampakkan senyum terbaiknya, mengajak Calvin berbicara untuk membicarakan hal-hal tidak penting yang terjadi di hari-hari sibuknya. Sedangkan Calvin akan mendengarkan, sibuk menatap dengan penuh cinta pada sang pendongeng yang kini menghias hari-hari gelapnya sebelum persidangan digelar.

"Calv, kamu udah siap untuk besok?". Ucap Tara pada Calvin, mengukir senyum sekaligus raut khawatir pada sang lelaki.

Calvin mengangguk disertai senyuman. "Apapun hukumannya, akan aku lewati".

Tara membuka mulutnya sebelum menutupnya kembali. Gadis itu seakan takut salah bicara. "Besok.. Kakakmu akan ada disana".

Satu sudut di hati Calvin tertohok saat mengingatnya. Benar juga, di persidangan besok, Calvin sudah pasti akan bertemu dengan Claire. Dari kabar yang Calvin terima, saat ini, Claire sudah benar-benar pulih. Operasi yang gadis itu jalani terbilang berhasil, hidupnya pun sudah kembali berjalan dengan normal. Hanya saja, proses hukum nyatanya harus tetap berjalan.

"Calv? What are you thinking?". Suara Tara kembali menyadarkan lamunan Calvin.

Lelaki itu menggeleng pelan. "Gak ada. Kamu gak perlu khawatir, Tara. Aku siap ketemu Claire, aku juga siap nerima vonis dari pengadilan".

Senyum Tara terlihat begitu dipaksakan. Suara yang terdengar dari sambungan telepon itu begitu.. Bergetar. "Aku janji akan temenin kamu terus, inget kan?".

Calvin merasakan seluruh perasaannya membaik, hatinya kian menghangat. "Iya".

Sang gadis melirik kearah jam di dinding, kemudian menghela nafas panjang. "Waktunya sebentar lagi habis.. Aku pamit ya?".

"Balik ke tempat magang?". Tanya Calvin memastikan.

Tara mengangguk. "Iya, tadi aku izin cepat-cepat kesini supaya bisa ketemu kamu sebentar. Habis ini harus balik lagi. Besok, aku udah dapat izin untuk datang ke persidanganmu. Jadi, kita ketemu lagi besok. Okay?".

Calvin terdiam sejenak, sebelum menunjukkan raut penuh cinta. "Makasih, Tara".

Sang gadis tersenyum sekali lagi sebelum menutup telepon, beranjak, dan melambaikan tangannya sebelum menghilang dari pandangannya.

———

"Sebentar lagi, persidangan akan segera dimulai".

Suara pemberitahuan itu membuat seluruh yang ada di ruangan berdiri, menyaksikan bagaimana majelis hakim masuk ke ruangan melalui pintu khusus dan duduk di tempatnya. Sesaat setelahnya, panitera pengganti mempersilahkan seluruh yang ada di ruangan kembali duduk.

"Sidang pengadilan negeri Jakarta Selatan,yang memeriksa perkara pidana nomor 003/04/8/AGP/22 atas nama Calvin Pramudya Morritz pada hari Selasa tanggal tujuh bulan delapan tahun dua ribu dua puluh dua dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum". Hakim ketua membuka suara, pertanda persidangan dimulai untuk hari ini.

Setelahnya, hakim ketua meminta terdakwa untuk hadir, yang kemudian disusul dengan pemandangan Calvin yang berjalan pelan menyusuri ruangan sebelum duduk di tempatnya. Calvin sibuk menunduk, menatapi borgol yang melingkar di tangannya dengan erat.

Suasana di ruang sidang nampak lumayan riuh, sepanjang perjalanan tadi, terlihat beberapa wartawan pun sudah berjaga di depan gedung, mencoba mengambil potret wajah Calvin yang sudah dengan susah payah ditutupi.

Dari satu sudut lainnya, seorang wanita yang Calvin kenali betul, berjalan mendekat dengan perlahan. Wanita itu mengambil duduk di salah satu sisi, menatap Calvin dengan tatapan sendu, sebelum menunduk seakan menahan tangis. Wanita itu adalah Claire, yang kini dengan terpaksa harus mengikuti persidangan sang adik sebagai korban dan memberi kesaksian. Melihat sang adik dengan seragam tahanan, Claire merasakan seluruh hatinya remuk. Namun, gadis itu memilih untuk menguatkan hati.

Dari satu sudut lainnya adalah sang Mama, yang sudah menguatkan hatinya untuk hadir di persidangan kedua anaknya dalam keadaan tidak memihak, meskipun kali ini sudah pasti akan menyaksikan anak lelaki kesayangannya menjadi seorang terdakwa di persidangan.

Sesaat sebelum persidangan dimulai, Calvin melirik ke belakang, mencari satu sosok yang ia butuhkan saat ini. Hatinya kian tenang saat menemukan sosok Tara disana, di bangku penonton yang sudah nyaris penuh terisi. Gadis itu tersenyum untuknya dengan senyum familiar. Rumah, Tara adalah rumah untuknya, tempatnya merasakan ketenangan yang dinanti.

Pengacara yang mendampingi Calvin hari itu sudah duduk di tempatnya. Meski sudah beberapa kali bertemu, nyatanya Calvin tetap tak begitu mengenali
sosok itu. Persidangan dimulai dengan hakim ketua yang mempersilahkan jaksa penuntut umum untuk membacakan tuntutan pidana. Calvin merasakan telinganya terasa tuli sementara ketika mendengarkan rentetan tuntutan pidana itu padanya.

Sekelilingnya terasa bak dunia latar, tidak mampu masuk kedalam dimensinya yang kini terasa berbeda. Calvin seakan tak lagi ada di tempatnya, sampai pada akhirnya hakim ketua memanggil namanya. "Saudara Calvin, apakah sudah memahami isi tuntutan pidana yang telah dibacakan oleh penuntut umum tadi?".

Calvin tidak merespon, lelaki itu hanya terdiam sejenak, sampai hakim ketua mengulang pertanyaan tadi untuk kedua kalinya. "Saudara Calvin, apakah sudah memahami isi tuntutan pidana yang telah dibacakan oleh penuntut umum tadi?".

Disisi lain, Tara berdoa di tempatnya. Gadis itu hanya sibuk merapal segala jenis doa yang mengharapkan Calvin mampu merespon dengan semestinya, seperti yang sudah direncanakan. Dan pada akhirnya, lelaki itu bersuara.

"Mengerti". Ucap Calvin pelan.

Dengan adanya respon dari Calvin, persidangan dilanjutkan. Selanjutnya, pihak penuntut menyampaikan beberapa bukti-bukti berikut reka kejadian, yang diwakilkan oleh kesaksian Claire melalui pengacaranya. Claire sendiri sejak tadi masih menunduk, diam-diam meneteskan airmata karena harus menjalani persidangan yang tidak ia inginkan.

Calvin menatapi bukti-bukti yang terlampir. Dimulai dari tempat kejadian perkara, baju yang dikenakan, pisau, hingga obat-obatan yang sempat ia konsumsi sesaat sebelum dan sesudah kejadian. Semua terpampang di layar proyektor, menujukkan rentetan kejadian yang digambarkan melalui bukti-bukti yang didapatkan.

Semua bukti yang didapatkan, menyudutkan Calvin sebagai terdakwa. Nampaknya, hukuman yang harus ia jalani pun cukup panjang. Hingga menjelang pengajuan pembelaan, kesaksian dari dokter yang menangani Calvin, berikut rekaman medisnya dibacakan.

"Berdasarkan hasil observasi dan rekam medis, kami dari pihak rumah sakit menyatakan bahwa terdakwa atas nama Calvin Pramudya Morritz mengalami gangguan mental disorder dengan indikasi Obsessive Love Disorder, dimana pelaku cenderung mengalami delusi dan keterikatan ekstrem terhadap korban. Dari situ juga, Calvin terindikasi memiliki kecenderungan melukai, yang tercipta karena rasa kecewa".

Suasana sidang yang tadinya hening, berubah penuh bisikan saat kesaksian tim dokter yang memeriksa Calvin. Perilaku Calvin yang diluar nalar itu, nyatanya terjadi akibat gangguan mental yang dimiliki. Dimana pada kasus ini, terjadi pada sang Kakak. "Selain yang disebutkan diatas, Calvin juga terbukti dalam pengaruh obat-obatan, dalam hal ini adalah Lysergic acid diethylamide, dan kokain yang ditemukan dari hasil tes darah dan urine".

Claire menutup matanya, tak sanggup lagi mendengar segala jenis fakta mengenai sang adik yang terdengar begitu menohok hati. Sama halnya dengan Tara, yang memilih menahan airmatanya agar tidak jatuh saat mendengar hal tersebut.

Calvin sendiri tidak begitu memperhatikan bagaimana jalannya persidangan, sebab hatinya hanya sibuk memacu pada seseorang. Seseorang yang kini tak henti tengah berdoa untuknya. Bagi Calvin, hasil apapun dan seberat apapun hukuman yang ia dapatkan nanti, tak begitu berarti. Toh, ia memang harus mendapatkan hukuman atas perlakuannya.

Baginya, asalkan Tara ada dan berjanji untuk terus ada di sampingnya, Calvin yakin ia pasti akan baik-baik saja.

A MILE AWAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang