"Aku ke kampus sebentar, paling sampai jam makan siang. Habis itu nanti langsung balik. Makananmu jangan lupa dimakan, sama obatnya diminum". Pesan Ken pada Tara yang masih bermalasan di kasur.
"Iya, ganteng. Kamu udah ngomong itu 3 kali". Balas Tara dengan kekehan.
Ken mengecek barang bawannya sekali lagi, dan berakhir menggendong ransel miliknya. Lelaki itu kemudian menghampiri Tara dan duduk di sisi kasur, memperhatikan wajah cantik Tara yang baru bangun tidur. Jemarinya mengelus puncak kepala sang gadis pelan. "Jangan lakuin yang aneh-aneh. Sementara, password apartment ku lagi kuganti, supaya kamu gak nekat keluar selagi masih sakit begini".
"Posesif banget deh". Ledek Tara disertai tawa.
Ken mencubit pipi Tara gemas, membuat sang gadis mengaduh. "Protektif, bukan posesif".
"Iya deh, pacarku yang paling protektif". Balas Tara.
Ken tersenyum mendengarnya, kemudian beralih mengecup singkat puncak kepala sang gadis yang masih berbaring. "Aku pergi dulu, inget pesen aku. Habis ini langsung makan sarapannya. Kalo sampai aku pulang piringmu masih penuh, aku hukum nanti".
Tara tersenyum jahil. "Wah, kalo gitu aku gak makan ah, biar dihukum kamu".
"Tara". Panggil Ken dengan nada memperingatkan.
Tawa Tara meledak dibuatnya, gadis itu sampai terkikik. "Iya, iya. Udah sana berangkat. Nanti telat jam pertama loh".
Ken berakhir mengangguk, kemudian beranjak pergi keluar dari kamar. Tara kemudian merasa hampa, sesak itu seakan kembali dalam seketika saat Ken pergi meninggalkannya. Entah sesak apa ini yang ia rasakan, sepertinya, kecewa dan rasa terkhianati yang Calvin timbulkan baginya begitu dalam.
Setelah melalui malam-malam bersama, bahkan mengutarakan rasa ingin memiliki, Calvin nyatanya malah berniat mencelakai Tara dan berhasil. Jika diingat hari itu, sekujur tubuh Tara masih merinding rasanya. Saat dimana tiba-tiba saja pengelihatannya gelap dan hanya terdengar suara tabrakan dan dentuman yang begitu hebat. Tara bahkan masih mengingat rasanya ketika tubuhnya terbanting-banting karena mobil yang ia kendarai ditabrak begitu kencang hingga keluar dari lintasan.
Dan tidak sedikitpun ia mengira, bahwa pelaku hal mengerikan tersebut adalah Calvin.
Ia tahu Calvin hanya sebatas teman beneficialnya. Terlebih, mereka lebih seperti musuh. Namun, opsi mencelakai fisik seperti itu, rasanya terlalu berlebihan. Bukankah Calvin terasa seperti psikopat sekarang? Yang bersedia membunuh demi memenuhi keinginannya.
Buktinya, nyawa Tara hampir melayang karenanya.
Ditengah perang batinnya itu, ponsel Tara berbunyi, membuatnya tersentak dan otomatis mengecek. Entah sudah berapa lama ia tak mengecek ponsel miliknya sendiri.
Dan bak panjang umur, nama itu tertera di sana. 'Calv'.
Sekujur tubuh Tara bak dialiri listrik lantaran terkejut, sensasi rasa takut dan benci yang menggunung membuatnya bimbang. Apakah ini saat baginya memulai aksi pembalasan? Ataukah mentalnya masih belum siap.
Tapi, jemari Tara yang bergetar itu, berpikir lebih cepat dari otaknya. Gadis itu mengangkat panggilan dari Calvin dan menelan saliva, berupaya mengalahkan rasa takutnya yang menggerogoti, apalagi saat mendengar suara bariton milik sang lelaki.
"...Kak?". Panggil Calvin lebih dulu, seakan tak percaya karena akhirnya panggilan itu tersambung.
Tara mengatur nafasnya yang tiba-tiba saja sulit, rasa takut itu makin menghantui begitu saja hingga membuatnya tak kunjung bersuara.
Dirasa tidak ada jawaban, Calvin kembali bersuara. "Kak Tara?".
Tara menahan gemeletuk giginya, kemudian mengumpulkan segenap keberanian untuk menjawab. "Ada perlu apa, bajingan?".
Calvin tak langsung menjawab, terdapat jeda yang cukup panjang sebelum helaan nafas itu terdengar bersamaan dengan kekehan. "Oh, my baby is okay. Aku lega denger kamu marah, berarti kamu gak apa-apa".
Gak apa-apa gimana katanya? Dasar manusia brengsek.
Emosi Tara yang meluap mendengar respon Calvin, membuatnya berani kembali menyahut. "Kenapa? Lo kira gue mati? Gak berhasil lo bunuh gue?".
"Gak ada yang mau bunuh kamu, sayang. Mana mungkin aku bunuh kamu. Aku cuma mau kasih pelajaran, kalau kamu macem-macem, itulah akibatnya". Balas Calvin lagi, seakan tak punya dosa.
"Bangsat. Psikopat lo. Gue lakuin apa sampai lo bertindak segila itu, hah? Gue bisa mati gara-gara lo". Emosi Tara makin membabi-buta.
Tara mendengar Calvin kembali terkekeh. "Kamu bikin aku cemburu. Pakai baju seterbuka itu didepan umum, terus mesra-mesraan sama cowok dari negeri dongeng yang pengen banget aku musnahin didepan mataku".
Tara mual bukan main mendengarnya, lelaki itu benar terdengar seperti seorang psikopat. "Sakit jiwa lo".
"Mungkin, tapi gak apa-apa. Namanya juga jatuh cinta, bisa aja bikin orang jadi psikopat cuma karena pengen milikin". Balas Calvin lagi.
Tara menjambak rambutnya frustasi, berupaya meredam emosinya yang makin jadi. "Sampai kapan pun lo gak akan bisa milikin gue, bajingan".
"Iya. Gak apa-apa kamu denial aja dulu, aku tungguin sampe kamu yang berlutut depan aku. Mohon supaya kita sama-sama terus. Aku bisa sabar kok buat kamu, Kak". Balas Calvin santai.
Cukup. Tara sudah muak.
Gadis tersebut memutus panggilan dan memeluk bantal guna meredam teriakannya yang kencang. Berurusan dengan orang yang seakan tak memiliki akal sehat membuatnya hampir tak waras juga. Entah apakah Calvin adalah bentuk hukuman tuhan untuknya atau bukan, yang jelas, Tara nyaris tak kuat.
———Ken masuk kedalam kamar dengan diikuti seseorang dibelakangnya, yang melongok kikuk sebelum masuk dan berakhir tersenyum setelah mendapati kondisi Tara yang mulai memulih.
"Gio". Panggil Tara, senyumnya terangkat saat menemukan Gio lebih dulu tersenyum untuknya.
Ken lebih dulu menjelaskan. "Tadi Gio tanya kabar kamu karena kamu ilang beberapa lama. Jadi, aku ajak aja dia kesini buat liat langsung".
"Hi, Tara, lo udah mendingan?". Tanya Gio lebih dulu, berdiri tepat disamping kasur Tara dengan Ken yang sudah duduk disisi kasur.
Tara mengangguk. "Udah kok, bentar lagi juga udah bisa race lagi".
Hal itu menuai pelototan dari Ken. "Sembarangan. Gak, sampe dokter bilang sembuh total, gak boleh".
Gio tertawa mendengar perdebatan kecil itu. "Everyone in our team miss you, apalagi coach, nanyain mulu".
Tara meringis. "Gue juga udah kangen kehidupan luar, Gi. Kuliah, racing, apa lagi bentar lagi ada racing di Bali kan?". Sang gadis kemudian menatap kosong. "Nama gue udah dicabut ya dari list tanding di Bali, Gi?".
Tatapan Gio berubah sedih. "Iya, 4 hari yang lalu batas terakhir konfirmasi, coach gak bisa ambil resiko karena lo belom pulih, Tar".
Raut wajah Tara berubah sedih, gadis itu kemudian menunduk. "Harusnya itu balap pertama gue..".
Gio dan Ken tak sampai hati melihatnya, merasa iba karena sang gadis yang begitu terpuruk dan tak sedang baik-baik saja. Ken meraih jemari Tara dan mengelus punggung tangannya halus, berupaya memberi ketenangan. Sedangkan Gio berupaya menenangkan dengan ungkapan. "Gak apa-apa, Tara. Kan next race bisa ikut lagi. Bisa race bareng kok kita nanti suatu hari. Asalkan lo belom kapok aja buat latihan".
"Gak akan kapok lah, cupu amat gue begini aja kapok". Balas Tara. Gadis itu kemudian kembali berkata. "Biarpun gue gak jadi ikut tanding, gue akan tetap ke Bali, support lo. Lo harus menang ya, Gi. Lo pasti bisa deh ngalahin peserta lain, gue jamin".
"Iya. Nonton gue ya kalo lo udah sembuh. Biar lo bisa observasi buat ngalahin gue di sirkuit suatu hari nanti". Balas Gio lagi.
Pada akhirnya, sang gadis terkekeh. "Janji ya, one day kita bakal jadi lawan tanding di sirkuit, Gi?".
Gio mengangguk, memberi senyum hangat pada sang gadis. "Iya, janji, Tara. One day".
---
KAMU SEDANG MEMBACA
A MILE AWAY
RomanceGirisha Triastara Briel, Tara, gadis yang bahkan dijuliki si tomboy di kampusnya punya hobi mendatangi aktivitas drifting berkat ajakan sang kakak. Di arena balap itulah, Tara menemukan trigger dan juga ketertarikan. Di arena balap itu juga lah, Cal...