Chapter 57 - Truthful & Numb

1.2K 98 3
                                    

"He's ill, he's been really ill". Ucap Tara dengan nada sendu.

Sekitar satu setengah jam sudah, Tara menjelaskan dengan detail duduk perkara permasalahan Calvin dari sudut pandangnya pada Ken. Gadis itu menjelaskan semua, membagi pandangannya mengenai sang lelaki pada seseorang yang ia percayai sejak dahulu. Ken tidak banyak berbicara, lelaki itu hanya terdiam mendengarkan, berupaya menahan seluruh rasa cemburu yang tidak seharusnya ada di saat seperti ini.

"Waktu itu.. Aku sempat bilang ke kamu soal hal ini kan. Sekarang, aku akhirnya yakin kalau dia punya obsessive disorder, dan orang yang menjadi obsesinya adalah aku, Kenneth". Tutup Tara.

Mata Ken membelalak mendengarnya, khawatir langsung berkecamuk dalam dadanya. Tara-Nya di obsesikan oleh orang lain? Bukankah itu suatu hal yang mengerikan.

"Aku mau bantu dia, Ken. Aku satu-satunya orang yang bisa bantu dia. I can manipulate him to make him a good person, a sane one". Satu lagi kalimat yang membuat jantung Ken berpacu cepat, tidak benar rasanya.

"And danger yourself?". Potong Ken segera, lelaki itu membetulkan posisi duduknya agar lebih menghadap Tara. "Tara, kamu ini bukan pahlawan. Kamu juga bukan professional, belum. You can't do this, kamu tahu kapabilitas seseorang dengan obsessive disorder, he can murder you to keep you to himself".

Tara menelan salivanya. Jelas, gadis itu tahu semua perkataan Ken memang benar. "Tapi aku punya kamu, you will not let him kill me, right, Ken?".

Ken menggenggam kedua bahu Tara sama eratnya. "Tara, dengerin aku. Aku gak selamanya bisa disamping kamu. Aku gak terus-terusan bisa jagain kamu. Please, kali ini aja.. Dengerin aku, aku khawatir sama keselamatanmu, sayang".

Hati Tara nyeri rasanya, mendapati hubungan keduanya kini harus menghadapi permasalahan yang mungkin membahayakan bagi keduanya. Tapi nuraninya tak bisa berbohong, Tara tidak mungkin tutup mata dengan kondisi Calvin. "I'll be okay, Ken. Kamu tahu aku sekuat apa kan? We've been together since we were little. Kamu paling tahu aku".

Ken menghela nafasnya, kemudian merengkuh Tara untuk menciumnya, merenggut seluruh nafas sang gadis sebelum memeluknya erat, seakan takut kehilangan. "There's nothing I can do, kamu memang selalu seperti ini, keras kepala karena hatimu. Aku janji akan jaga kamu. Sebisaku, aku akan terus jaga kamu, sayangku, Girisha-Ku".

———

Sekembalinya Tara ke Jakarta, sang gadis langsung dipenuhi dengan berbagai aktifitas. Mulai dari kegiatan kampus, mata kuliah, kegiatan persiapan menjelas ujian, dan juga Calvin. Sang gadis rutin bertemu dengan Calvin guna membantunya mengkomunikasikan segala bisikan dan kecamuk dalam kepalanya.

Dan hari ini, lagi-lagi mereka bertemu di satu sudut di ruang baca kampus. Calvin yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam itu menghampiri Tara dan berdiri tepat di belakang sang gadis yang sedang sibuk membaca beberapa referensi artikel untuk ujian akhirnya. Calvin membaca beberapa kalimat yang tertera disana dengan suara yang cukup terdengar di telinga Tara. "Penyebabnya adalah trauma masa kecil dan kelainan pada.. Pada apa tuh bacaannya?".

Tara sontak menoleh dan menemukan wajah itu tersenyum untuknya. Entah mengapa, Calvin yang akhir-akhir ini menemuinya sudah jauh melunak dan bahkan seperti seorang berbeda. Lelaki itu menjaga kontak mata mereka. Posisi Tara yang masih terduduk mengharuskannya untuk sedikit berdongak kearah Calvin di belakangnya.

"Hey". Sapa sang lelaki dengan senyuman.

Tara mau tak mau ikut tersenyum. "Hai, ngagetin aja. Udah dari tadi?".

Calvin menggeleng. "Nggak. Baru aja, liat kamu fokus gitu aku jadi penasaran pengen ikutan baca, tapi gak ngerti, Kak".

Tara terkekeh. "Gak usah dimengerti. Ini kan materi mata kuliah psikologi".

"Aku maunya ngerti kamu, Kak. Pelan-pelan lagi dicoba sih, berasa gak?". Balas Calvin dengan senyuman lainnya.

Mata mereka kembali terkoneksi, saling menatap selama beberapa lama sebelum Tara ikut tersenyum. "Yes. You're getting a lot better, Calv".

"Karena kamu, Kak".

Tara mendorong sang lelaki sembari terkekeh. "Cmon, cringe banget, Calv. Makan yuk, udah makan belum?".

Sang lelaki menggeleng. "Ini mau ajak kamu makan, tapi diluar, gak di kantin. Mau gak?".

Tara nampak berkontemplasi, mengecek arlojinya sebelum menjawab dengan ragu. Pasalnya, pukul 7 nanti, ia sudah ada janji dengan Ken. Lelaki itu sudah dari jauh-jauh hari mengutarakan niatnya membawa Tara makan malam bersama di satu restoran yang terkenal dengan keindahan pemandangannya di satu sudut kota Jakarta.

"Mm—Kalo disini aja memang kenapa?". Tanya Tara ragu.

"No. Aku mau ajak lo ke suatu tempat, Kak. Tempat dimana aku biasanya menyendiri kalau kepalaku lagi berisik banget". Balas Calvin.

Tara mengedipkan matanya. Ini penting sekali, Calvin akan membawanya ke tempat yang hanya Tara yang tahu. Ini lebih dari sekedar penting, Tara harus mengetahui letak tempat itu untuk berjaga sewaktu-waktu terjadi sesuatu. Ia harus tahu letak pelarian Calvin yang sesungguhnya.

"Oke, gue mau". Balas Tara secepat kilat.

Calvin terkekeh. "Cepet banget berubahnya?". Sang lelaki kemudian beranjak dan membawa tangan Tara dalam genggaman, menggandengnya keluar dari ruangan. "Tapi makan dulu ya, drive thru aja. Aku bawa mobil hari ini, jadi kamu gak bakal kedinginan, Kak".

Hanya beberapa jam, Tara yakin ia hanya butuh beberapa jam dan akan kembali tepat waktu untuk menepati janjinya dengan Ken. Ia yakin bisa melakukan semuanya dengan baik tanpa merusak rencana yang sudah Ken siapkan untuk mereka.

Sebentar ya, Ken. Aku perlu lakuin ini.

———

Hujan turun deras membasahi bumi saat malam tiba. Ken sejak tadi hanya berdiri dibawah naungan atap restauran tempat dimana seharusnya ia dan Tara bertemu. Lelaki itu sebelumnya sudah lebih dulu mengarah ke kampus sang gadis, namun karena Tara mengirim pesan yang menyebutkan permintaan sang gadis untuk bertemu di restoran saja, jadilah Ken membanting stir dan menanti di tempat mereka berjanjian.

Hampir dua jam berlalu, namun sosok yang ia nantikan tak kunjung juga muncul. Ken memandangi tetesan hujan diluar yang jatuh tak terkira, jemarinya tak henti menyentuh layar ponsel untuk menelepon Tara, tapi panggilannya selalu teralihkan ke mailbox. Lelaki itu merasa serba salah, ingin pergi dari sana dan mencari Tara secepatnya, tapi ia juga takut jika ia melangkah keluar, Tara akan datang ke tempat itu dan tidak menemukan Ken disana.

Hati Ken benar-benar gelisah, ia merasa tak tenang. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan gadisnya? Bagaimana jika Tara dalam bahaya?

Ken mengusap wajahnya frustasi, merasakan putus asa dalam kesendirian. Makanan yang sudah ia pesan pada akhirnya tak pernah tersaji hingga restoran itu tutup. Ken hancur, ia benar-benar merasa kebingungan. Lelaki itu memutuskan untuk duduk di luar resto, menatap kebawah kearah ujung-ujung sepatunya. Air hujan terus jatuh dan perlahan mulai membasahi tubuh Ken, membuatnya terlelap oleh hujan, dan basah kuyup. Dingin memang menusuk tulang, tapi, Ken merasakan mati rasa total. Lelaki itu bahkan tak menyadari kalau bibirnya mulai membiru.

"Kamu dimana, Tara..".

———

A MILE AWAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang