Chapter 52 - Manipulative For The Best

1.3K 152 8
                                    

Tara menaruh sebelah tangannya di pundak Calvin, dengan posisi mereka yang duduk berhadapan di sudut kampus yang jarang dihadiri siapapun, rasanya menjadi lokasi aman untuk membicarakan mengenai hal buruk yang menjadi ketergantungan seorang Calvin dengan leluasa. Tara memperhatikan bagaimana Calvin meniti wajahnya dengan pandangan yang tak kunjung lepas, kepala sang lelaki pun sampai bergerak kekanan dan kekiri bak tengah meneguk keindahan pahatan yang begitu cantik didepan mata.

"Boleh keluarin semua yang lo bawa? Taruh disini, ditangan gue". Ujar Tara lebih dulu, mencoba meyakinkan Calvin dengan menyodorkan sebelah tangannya di hadapan Calvin.

Calvin menaikkan kedua alisnya. "Semuanya?".

"Iya, semuanya. Pills or weed, kasih semuanya ke gue". Balas Tara dengan nada tenang.

Calvin terlihat berpikir sejenak sebelum mengusak isi kantung baju dan celananya satu persatu dan mengeluarkan isinya untuk diserahkan pada Tara. Tara mengitung jumlah pil yang Calvin serahkan, totalnya mungkin belasan dan dibungkus seadanya dengan sebuah kantung plastik kecil yang ter-seal dengan aman.

"Weed nya habis, tadi kan udah dibakar. Sisa pills aja, sama rokok. Tapi rokok gak termasuk kan?". Ujar Calvin jujur.

Tara tak menjawab, gadis itu kemudian gantian mengantongi obat terlarang di tangannya kedalam kantung celana. "Masih ada persediaan di apart?".

"Masih. Harus aku kasih kamu juga?". Balas Calvin bertanya.

"Harus. Besok bawa semuanya dan kasih ke gue". Balas Tara tegas.

Calvin terlihat kecewa, ekspresi itu tidak dapat ia kendalikan. "Tapi, Kak.. Nanti aku bisa sakit".

"Lo gak percaya sama gue?". Balas Tara dengan nada tinggi.

Calvin menggeleng. "Percaya. Aku percaya banget sama kamu. Tapi, kamu tau kan efeknya kalau aku tiba-tiba berhenti? Selama ini, aku konsumsi itu hampir setiap hari dan jumlahnya gak sedikit".

"Gue tahu apa yang harus dilakuin, Calv. Just in case you forgot, I am a psychology student. Kalo lo kekeh gak mau lakuin ini, gue akan tinggalin lo, dan jangan harap lo bisa lihat gue lagi". Nada Tara kali ini mengancam, membuat netra Calvin otomatis membesar.

"Jangan.. Jangan, Tara. Gak mau". Rintih Calvin, memohon. "Sesakit apapun nanti, aku akan tahan. Asalkan jangan pergi, jangan tinggalin aku".

Tara tahu betul apa yang ia lakukan ini salah, memanipulasi perasaan dan obsesi seorang Calvin padanya, tapi itulah yang harus dilakukan demi bisa memperbaiki Calvin secara perlahan. Tara harus mengubur rasa bersalahnya dalam-dalam.

"Okay, then. Kalo lo mulai ngerasa sakau, bilang gue. Gue akan temenin lo, lewatin itu bareng gue. Tapi jangan sekalipun berpikir untuk konsumsi lagi, karena sekali gue tau lo diem-diem beli lagi dibelakang gue, gue pastiin gue akan hilang hari itu juga sampai lo gak bisa temuin gue". Ucap Tara penuh penekanan.

Calvin meneguk salivanya, kemudian mengangguk patuh. "Iya. Aku janji gak akan lakuin itu, aku gak mau kamu tinggalin aku".

"Good. Sekarang, gue akan larutin pills ini dan buang di wc. How do you feel about it?". Tanya Tara, memancing reaksi dari sang lawan bicara.

Calvin mematung, terdiam dan memandangi butiran LSD di telapak tangan Tara dengan ragu. Lelaki itu menggigit bibirnya seakan tak rela, dan juga penuh ketakutan.

"Apa yang lo rasain? Lo gak suka kalo gue buang barang ini?". Tanya Tara lagi. Gadis itu kemudian mengatur ekspresinya seakan tengah menertawai. "Kok diem? Berarti bener lo gak suka? Berarti barang ini lebih penting dibanding gue dong ya? Berarti mendingan gue yang hilang dibanding barang ini?".

Calvin kembali menggelengkan kepalanya cepat. "Enggak. Kamu jauh lebih penting. Kamu segala-galanya, Tara. Kamu gak tau seberapa pentingnya kamu buat aku. Buang aja barang itu, lakuin apapun yang kamu mau, aku gak apa-apa asalkan bukan kamu yang hilang".

Tara mengangguk, merasa puas karena teknik triggeringnya ternyata berujung berhasil. "Okay. Good. Kalo gitu, besok kita ketemu lagi disini, bawa semua sisanya dan kasih gue. Gue butuh kejujuran lo".

"Iya, Tara". Balas Calvin penuh patuh.

Calvin menyaksikan bagaimana Tara mulai beranjak dari tempat duduknya, tangan sang lelaki tak sengaja menahannya. "Kamu mau kemana?".

Dan disana, Tara menyaksikannya untuk pertama kali. Bagaimana tatapan Calvin begitu tulus dan lembut untuknya, seperti seorang yang bahkan Tara tak kenali. "I need to destroy this. Pembicaraan kita udah selesai, lo ada kelas juga kan 10 menit lagi? Go, jangan bolos".

"Sebentar, tunggu dulu. Jangan pergi dulu". Pinta Calvin dengan nada memohon, membuat Tara kembali duduk di tempat.

Akibat posisi duduk mereka yang berhadapan, Tara jadi menyadari bahwa ujung lutut mereka pun bahkan saling bertemu, Calvin begitu mendambanya dengan tatapan, jemari Calvin bahkan bergerak mendekat dan berakhir menempel di pipi Tara, menakupnya lembut.

"Aku.. Boleh peluk kamu? Sebentar aja. Aku.. Kangen". Pinta Calvin lembut, alisnya sampai bertaut saking takutnya ia salah berbicara.

Sejujurnya, Tara tidak boleh mengizinkan. Sebab itu artinya ia mengizinkan Calvin untuk menyentuhnya secara personal lagi. Terlebih, saat ini Tara sudah resmi menjadi kekasih Kenneth. Tapi, Tara tahu bahwa Calvin memerlukan dukungan emosi saat ini, lelaki itu memang butuh afeksi yang bisa menenangkannya dari ketakutan menjalani hal baru yang nantinya sebenarnya akan menyakitkan. Sebab, proses sembuh dari hal buruk itu bukanlah hal mudah untuk dijalani.

Jadi, kali ini Tara mengizinkan, gadis itu mengangguk pelan, membiarkan Calvin merengkuhnya dalam pelukan. Tara bisa melihat bagaimana dua bola mata Calvin bersinar saat Tara memberi anggukan, dan bagaimana lelaki itu bernafas lega saat akhirnya berhasil merengkuh tubuh mungil Tara di pelukannya.

"Jangan dilepas ya, sebentar aja. Aku kangen banget sama kamu. Kangen kita". Bisik Calvin ditengah pelukan mereka.

Tara mulanya tak memeluk balik, namun kemudian memutuskan untuk menepuk-nepuk punggung Calvin guna memberinya afeksi lebih. Tara bisa merasakan betapa eratnya pelukan itu sampai membuatnya sulit bernafas dan terbatuk. "Calv, sesek. Jangan kenceng-kenceng".

Calvin otomatis melepas pelukan itu dan menakup wajah Tara dengan dua tangannya. "Maaf, gak kerasa. Kamu baik-baik aja? Aku nyakitin kamu ya? Maaf, Kak".

Tara membaca kekhawatiran itu terlukis jelas di wajah Calvin, hingga akhirnya ia menggeleng. "Gue gak apa-apa".

Calvin kembali bernafas lega, lelaki itu kemudian berkata dengan tatapan memohon. "Aku peluk sekali lagi ya? Kali ini gak kenceng-kenceng. Aku masih kangen kamu, sebentar lagi aja. Habis ini udah, aku janji".

Sebelum Tara menjawab, Calvin sudah lebih dulu merengkuhnya, menepati janjinya untuk memeluknya hati-hati, dan kali ini Tara merasakannya.. Hangat. Seakan perasaan terjujur Calvin tersampaikan, bukan obsesinya.

Dua insan itu menghabiskan lebih banyak waktu dari yang terucap untuk memeluk, hanya memeluk satu sama lain. Calvin seakan mendapatkan nafasnya kembali saat merasakan tubuh mungil itu didalam dekapannya, membuatnya jauh lebih tenang dari sebelumnya. Dan jika ada satu manusia yang bisa ia percaya dalam hidup, sudah pasti Tara orangnya.

Bisa dibilang, Calvin bahkan lebih mempercayai Tara dibanding dirinya sendiri.

———

A MILE AWAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang