Chapter 62 - An Empty Space

1K 102 3
                                    

Tidak tahu untuk berapa lama sudah, Calvin resmi sudah kehilangan pengetahuannya akan waktu. Lelaki itu seakan tenggelam dalam gelap yang ia ciptakan sendiri, memilih satu sudut yang merupakan kamarnya dulu di rumah lamanya. Rumah itu benar-benar sudah tak terurus sekarang, kondisinya gelap dan berdebu, namun Calvin nampaknya sungguh tak peduli.

Lelaki itu terus menatap ke kekosongan, mengulang terus menerus kejadian yang terjadi diantara dirinya dan sang Kakak, yang entah bagaimana keadannya kini. Calvin berulang kali tertawa, kemudian berlanjut menarik rambutnya gelisah, dengan raut ketakutan. Alih-alih senang dan lega, kini, hatinya justru terasa perih.

"Gue berhasil, tapi kenapa rasanya sakit begini?". Rintihnya tak tahu arah.

Dua netra milik Claire yang begitu serupa miliknya terus terngiang-ngiang saat menatap putus asa kearahnya, seakan memohon pengampunan. Calvin memeluk dirinya sendiri, merasakan sakit di seluruh tubuhnya yang menyerang bak hujaman mendadak. Lelaki itu bergerak gelisah, kemudian meraih tas punggung miliknya yang selalu ia bawa-bawa. Dengan tergesa, Calvin meraih sebuah bungkusan dari dalam, menelan beberapa butir obat-obatan yang langsumg meredakan nyerinya.

Kembali ke jalan yang salah, inilah petaka yang harus Calvin alami selepas kepergian Tara.

Calvin seakan kehilangan arah hidupnya, kompas yang menuntunnya kearah yang seharusnya. Jadilah ia berjalan sendiri menuju ke arah lain, yang ia ketahui salah, tapi paling memungkinkan untuknya.

Kemana perginya Tara disaat seperti ini?

Dunia Calvin terasa gelap gulita tanpa penerangan sang gadis yang selalu menyinarinya. Tara bak menghilang seketika, tak lagi terlihat dimana pun. Diluar sana, bunyi sirine dan keramaian silih berganti. Tapi, Calvin sama sekali tak terpengaruh. Lelaki itu tetap duduk meringkuk, memeluk dirinya sendiri yang begitu menyedihkan.

Efek obat-obatan yang ia konsumsi nampaknya mulai bekerja. Sebab, beberapa saat kemudian, pemandangan disekitaran Calvin menjadi seperti dulu. Kamarnya yang tadinya usang, seketika berubah rapi dan teratur seperti dulu. Seprai berwarna biru dengan gambar beruang itu terpasang disana, lampu kamar yang berbentuk bintang pun terlihat nyala benderang.

Dari kejauhan, suara sang Mama memanggil, memintanya untuk turun dan makan malam bersama. Calvin masih membeku di tempatnya, matanya seakan menyaksikan bagaimana detik selanjutnya gadis berambut ikal menongolkan diri dari balik pintu, Claire. "Avin, ayo, turun! Mama sama Papa udah nungguin di bawah, tau! Kamu nih, harus banget Kakak samperin.. Ngapain sih dipojok situ?".

Claire kecil di khayalan Calvin itu perlahan berjalan mendekat, kemudian berjongkok di depannya, dan tersenyum manis untuknya. "Avin, takut dengar Mama sama Papa teriak-teriak lagi ya? Tenang aja, gak akan lagi kok. Mau pegang tangan Kakak biar gak takut lagi?".

Dengan ragu, Calvin menggerakkan tangannya, berupaya meraih tangan mungil Claire yang tersodor untuknya, namun segera setelah tangannya menyentuh bayangan itu, semua luruh. Ruangan gelap itu kembali seperti sediakala, tidak ada lagi setitik cahaya di sekitarnya. Calvin sontak terkesiap, menerima khayalannya yang sirna dalam hitungan detik.

Hingga perlahan, pemandangan dihadapannya berubah. Samar suara yang ia rindukan kini terdengar, suara yang seringkali menuntunnya kearah yang seharusnya, itu jelas sekali suara Tara. "Calv, Calvin".

Calvin tidak tahu apakah semua masih menjadi imajinasinya atau bukan, tapi suasana kamar kumuh itu seakan berubah menjadi kamar apartemennya. "Tara...". Panggil Calvin lemah.

Gadis cantik itu muncul dari balik pintu kamarnya, menunjukkan senyum menenangkan yang membuat airmata Calvin sontak jatuh tak beraturan. "Calv? Kok disini? Aku cariin dari tadi..".

"Aku yang cari kamu, Tara. Kamu kemana aja? Kenapa tinggalin aku?". Balas Calvin sendu.

Seperti bayangan Claire tadi, kini, Tara pun mendekat padanya. "Gak ada yang ninggalin kamu, Calv. Ngomong apa sih?". Gadis itu berangsur mendekat dan berlutut, menyamakan tinggi mereka. "Kamu kenapa sedih begini? Kenapa sendirian?".

"Aku takut, Tara". Balas Calvin sendu, tidak tahu apakah ia benar berbicara dengan Tara atau semua hanya imajinasinya, tapi, lelaki itu memilih untuk mengabaikan.

Raut Tara berubah sendu. "Takut apa, Calv? Kamu buat salah, iya?".

"I did a very bad thing, Tara. I might have killed someone I really love". Balas Calvin lemah, sorot matanya lurus menatap sang gadis.

"Who?".

Calvin menjatuhkan kembali airmatanya. "Claire, Kakakku. I stabbed her, and I don't know why but it scares me a lot now".

Tara terlihat tersenyum. "You're not a psychopath".

Alis Calvin bertaut mendengarnya. "Apa?".

"Gak ada psikopat yang ketakutan setelah membunuh. Aku senang dengarnya, kamu bukan psikopat, Calv. You're just... Very ill, mentally. And you need to be cured". Balas Tara dengan lembut.

Calvin menatap Tara tak percaya. "Aku bisa sembuh? Kamu yakin?".

"Iya, Calvin. Asalkan kamu mau. Kita ke psikiater ya, Calv. Aku temanin kamu dan antar kamu kesana, aku tungguin kamu berobat. Sekaligus di rehab, kamu mau kan?". Balas Tara dengan nada tenang.

Lagi-lagi, gadis di hadapannya menyodorkan tangannya, meminta Calvin untuk menyambut ajakannya. Calvin menatap tangan itu selama sejenak. "Kalau aku sentuh kamu, kamu akan hilang juga kayak Claire tadi, gak?".

"Take my hand, Calv". Hanya itu jawaban yang Calvin terima dari Tara.

Dengan terpaksa, lelaki itu meraih tangan sang gadis, dan bagai dejavu, seluruh imajinasi itu luntur seketika, mengembalikannya pada realita kegelapan di sudut rumah tua milik keluarganya dulu. Percakapannya dan Tara barusan pun hanyalah khayalannya belaka.

Jelas saja, gadis itu pun mungkin sudah menikmati hidupnya diluar sana tanpa memikirkan Calvin sama sekali.

Calvin menundukkan kepalanya dan kembali terisak, persis seperti kondisinya dulu ketika usianya baru menginjak delapan tahun. Calvin gemar sekali menyendiri di kamar, di sudut yang ia duduki dan menangis dalam diam, terisak namun teredam akibat seluruh hal yang ia saksikan; pertengkaran orangtuanya.

Sebenar-benarnya, Calvin tidak pernah berubah. Ia tetaplah seorang anak kecil yang penuh rasa takut dan trauma, yang membutuhkan sosok lain untuk bergantung selama hidupnya agar tidak menunjukkan sisi kelemahannya. Dan kini, Calvin tengah menunjukkan sisi terlemahnya, tanpa seorangpun di sampingnya.

Status buronan yang kini melekat pada dirinya tak sedikitpun ia sadari. Memikirkan kondisi dirinya sendiri yang sudah tak mengkonsumsi apapun selain obat-obatan selama berhari-hari saja ia tak sempat. Apalagi memikirkan kenyataan bahwa diluar sana namanya sudah tersiar ke seluruh penjuru negara, dengan kasus yang menumbangkan seorang Kakak yang tak ia ketahui tengah tergeletak lemah dan membutuhkan dirinya untuk dapat bertahan hidup.

Calvin rasanya ingin terus hidup di dalam khayalannya, entah yang versi mana, asalkan ada tempat baginya bergantung.

Lelaki itu tidak pernah menyadari bahwa Tara adalah paralel Claire dalam fase hidupnya setelah beranjak dewasa.

Itu sebabnya, sepeninggalan Tara, Calvin bak kehilangan arah, persis saat ia kehilangan Claire dahulu.

A MILE AWAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang