Chapter 14 - Strategy

2.4K 191 14
                                    

Pertempuran adu cepat antara beberapa mobil itu terjadi dengan sangat sengit, selisih waktu yang ditempuh Gio dengan mobil opponen-Nya, Calvin, mungkin hanya berjarak 2 detik. Sejauh ini, perlu diakui, Gio memang satu-satunya opponen Calvin yang hampir berhasil mengalahkannya. Namun, belum.

Di detik terakhir mendekati garis finish, Gio memacu kendaraannya begitu kencang, membuat jarak mobilnya dan mobil Calvin hanya sebesar beberapa senti dengan Calvin memimpin kemenangan. Gio memukul stirnya kasar, padahal kemenangan itu sudah didepan mata, tinggal sedikit lagi saja.

Tara masih memperhatikan jalannya latihan latihan hari ini dari tempat duduknya di tenda Gio, gadis itu memperhatikan bagaimana berbedanya sikap dua jawara itu. Calvin yang turun dari mobilnya dan langsung menyombongkan diri. Dan Gio yang turun dari mobil sembari meminta maaf karena belum berhasil meraih peringkat pertama pada sang coach, lelaki itu sontak meraih riuh semangat dari rombongan supporternya.

Lingkungan Gio terlihat begitu positif, Tara menebak hal itu terjadi karena anak itu sendiri memang menebar aura positif ke sekitarnya. Gio seakan tersentak saat melihat kearah Tara yang memperhatikan kearahnya, lelaki itu langsung berlari mendekat, membuat beberapa mata jadi menatap serta kearah Tara.

"Eh, sori, sori. Belom di bersihin lukanya? Sini, kasih gue kotak P3Knya". Ucap Gio, berlutut didepan Tara.

Tara menggelengkan kepalanya. "Gak apa-apa, serius. Gue cuma luka dikit aja. Gak sakit kok, lo keren tadi".

Pipi Gio bersemu kemerahan mendengarnya. "Thank you, gue ambilin es batu deh ya biar darahnya beku, bentar".

Gio kembali berdiri, dan menepuk pundak sang coach. "Bro, boleh ambilin es batu?".

Sang coach nampak kebingungan. "Es batu? Buat apaan? Bikin es serut?".

"Itu, tadi gue pas jalan kesini nabrak cewek sampe jatoh, dagunya berdarah". Jelas Gio sembari menunjuk kearah Tara.

Coach Gio turut mendekat kearah Tara dan memeriksa luka gadis itu. "Wah, robek ya? Ini mah mesti dijahit, keluar terus kalo gak darahnya".

Pain tolerance Tara memang bisa dibilang tinggi, pasalnya gadis itu hampir tak merasakan apapun. "Really?".

Ekspresi Gio berubah khawatir. "Aduh, sori banget.. Gue anter ke rumah sakit ya? Siapa nama lo?".

"Tara". Jawab Tara singkat.

Coach Gio langsung memberikan izin. "Lo anter ke tenda palang merah aja, Gi. Diujung sana kayaknya tadi gue liat".

Gio melepas baju balapnya dan mengangguk. "Oh iya ya. Yaudah, ayo Tara, biar gak ngucur terus itu darahnya".

Tara pada akhirnya hanya mengikuti langkah Gio di depannya, menerobos kerumunan hari itu yang lumayan membuat sesak. Sesampainya disana, Tara langsung mendapatkan penanganan, untunglah hanya jahitan kecil yang tidak terlalu mengkhawatirkan, jadi ia tidak perlu lagi dirujuk ke rumah sakit.

"Sori banget ya, gue tadi beneran gak liat ada orang depan gue, sibuk ngeliatin botol". Ucap Gio, kembali meminta maaf.

Tara pada akhirnya tertawa. "Gak apa-apa, gue udah bilang 10x kayaknya. Gue beneran gak apa-apa, Gio. Eh, Gio kan nama lo?".

Entah perasaan Tara saja atau bukan, tapi rasanya ia melihat pipi lelaki itu bersemu lagi. "Iya".

Tara mulai melancarkan aksinya. "Gue boleh tanya sesuatu?".

Gio menautkan alisnya. "Apa?".

"Kalo misal gue mau kayak lo, gimana caranya?". Tanya gadis itu lagi.

"Hah? Maksudnya?". Tanya Gio balik.

Tara menghela nafasnya. "Iya, kalo misal gue mau belajar balap juga, kayak lo. Itu gimana caranya?".

Lelaki di hadapan Tara mengedipkan matanya berulang kali. "Wow. Lo yakin mau?".

Gadis itu mengangguk yakin. "Yakin banget. Gue mau belajar. Please, bantuin gue supaya bisa".

"Bisa aja sih sebenernya, kalo lo mau, nanti gue bilangin ke coach gue, atau lo nanti ngomong sendiri aja ke dia, coach gue tuh yang tadi saranin lo biar dijahit lukanya". Ucap Gio lagi.

Senyum gadis itu mengembang mendengarnya. "Iya, gue mau".

"Tapi gak gampang loh, banyak resikonya juga. Situasi didalam mobil itu gak seindah yang lo liat dari luar". Balas Gio lagi.

"Gue ngerti, gue siap jalanin seberat apapun. Asal gue bisa kayak lo dan masuk kedalam arena juga". Balas Tara lagi disertai senyuman penuh arti.

———

Tara tak henti mengetuk pintu apartment milik Ken, yang sampai detik ini belum kunjung juga memunculkan wajahnya. Hati Tara berat bukan main karena situasi ini, ia benci harus bertengkar dengan salah satu orang yang paling dekat dengannya sejak dulu. Ken sampai mengganti password kamar apartmentnya, membuat Tara tidak bisa sembarangan lagi masuk.

"Ken.. Gue tau lo di dalem, sepatu lo aja ada. Please, dong. Jangan diemin gue terus.. Udahan dong berantemnya". Ucap Tara dari luar, masih belum henti mengetuk pintu.

Hampir saja gadis itu putus asa, ia sampai menyandarkan kepalanya di pintu depan apartment lelaki itu, yang tiba-tiba saja terbuka dan membuatnya hampir jatuh namun tertahan oleh tubuh Ken. Gadis itu mendongak dan menemukan sahabatnya menatap datar kearahnya.

"Ken...". Panggil Tara.

Ken hanya melirik sekilas kearah dagu Tara, tempat disematkannya perban dan plester yang menutupi lukanya. Lelaki itu kemudian memilih berbalik dan masuk kembali kedalam, meninggalkan Tara yang masih terbengong dan mengikutinya dari belakang.

"Ken... Masih marah ya? Udah dong.. Mau sampai kapan marah sama gue?". Tanya gadis itu.

Pada akhirnya, Ken berhenti dan membalikkan badan. Lelaki itu bersandar di dinding belakangnya dan melipat tangannya di depan dada. "Dagu lo kenapa?".

"Dijahit".

"Gara-gara apa?".

Tara meringis. "Jatuh tadi".

"Jatuh dimana?". Tanya Ken lagi, mengintrogasi.

Tara menghela nafas panjang. "Tadi gue ikut Joan ke sirkuit, terus pas disana gak sengaja nabrak orang, terus jatoh deh, tau-tau dagu gue robek".

Ken mencerna kalimat yang Tara sebutkan baik-baik, lelaki itu memasang wajah datar sejak tadi dan belum juga berubah. "Mau ngapain kesini?".

"...Minta maaf?". Balas Tara dengan suara kecil.

Lelaki di hadapan Tara menggigit bibirnya sebelum menjawab. "Lo udah tau salah lo?".

"Udah...".

"Kenapa harus disembunyiin dari gue?". Tanya Ken lagi.

Tara memilin ujung baju yang gadis itu kenakan. "Gue takut, Ken. Malu juga kalo lo tau kalo gue udah gak... Virgin".

"Gue bukan marah gara-gara lo gak virgin, Tar. Gue marah gara-gara lo tidur sama orang, tapi bersikap seolah gak terjadi apa-apa. Sejak kapan lo nyembunyiin hal dari gue?". Suara Ken begitu berbeda, mendiktenya bagai orang lain.

"Iya, gue ngerti. Sori ya, Ken.. Kita masih bisa temenan kan?". Cicit Tara dengan suara kecil.

Ken akhirnya menutup matanya, sepertinya tengah berpikir. Lelaki itu berakhir mengangguk ringan, membuat Tara membelalakkan matanya.

"Beneran? Gue dimaafin?". Seru Tara.

"Iya, jangan diulangin. Mulai sekarang ceritain semua ke gue, jangan ada yang ditutupin". Balas Ken.

Tara melompat dan memeluk Ken tanpa sadar, membuat lelaki itu otomatis menerima pelukan gadis mungil itu. "Iya! Gue janji gak bakal sembunyiin apa-apa lagi dari lo, Kenneth! Janji".

Ken tersenyum, merasakan bagaimana hangatnya Tara didalam dekapannya. Gadis itu begitu mungil dan pas didalam pelukannya, membuatnya ingin terus menjaga Tara. Perasaan itu kian meluap, membentuk elegi yang sarat dengan rasa ingin memiliki.

———

Calvinnya absen dulu, muncul di chapter selanjutnya wkwkkwkwkwkw 😂

A MILE AWAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang