Banyak Seta mengambil kuda cokelat miliknya yang diikat di pinggir lapangan pelatihan. Ia memacunya secepat mungkin keluar kompleks, ke arah utara. Sebentar kemudian, ia sudah berada di alun-alun kota. Ia melintasinya dengan cepat, melibas rumput yang menutupi tanah lapang luas itu, lalu menyeberang memasuki area pasar besar. Saat menjelang petang seperti ini, pasar sudah sepi sehingga Banyak Seta dapat melewatinya dengan mudah. Di belakang pasar itulah perumahan pejabat menengah ke bawah berada.
Kuda Banyak Seta menderap di jalan tanah berdebu, di antara deretan rumah milik para pejabat pemerintahan yang berdinding kayu dan beratap genting tanah liat. Dinding pekarangan yang terbuat dari tembok bata merah mengapit jalan, membentuk lorong-lorong panjang yang bercabang. Setelah dua kali membelok di persimpangan, Banyak Seta tiba di rumahnya. Matahari mulai redup saat ia mengikat kudanya di pagar, lalu berlari melewati gapura. Saat memasuki pelataran dalam, ia menemukan rumahnya telah dipenuhi orang. Suasana di tempat itu terlihat kacau sekali.
Tanpa menghiraukan mereka, ia naik rumahnya yang berdiri di atas fondasi bata merah. Matanya langsung tertuju pada sosok lelaki yang terbaring meringkuk di atas tikar. Napasnya tersengal satu-satu. Mulutnya mengeluarkan darah, namun tidak ada luka terbuka. Kain-kain bernoda darah berserakan di sekitar tikar. Ada dua baskom tembikar di sisinya. Yang satu, berisi air dan kain untuk membasuh kotoran. Yang satu lagi berisi cairan merah kehitaman dan berlendir. Sepertinya itu muntahan yang bercampur darah.
"Seta, cepat ke sini!" panggil tabib kampung yang telah lebih dulu datang. Banyak Seta mendekat. Napasnya tersekat saat tahu kondisi temannya.
"Kuwuk?" panggil Banyak Seta sembari menjatuhkan diri, duduk di sisi Kuwuk. Ditepuknya bahu Kuwuk, namun pemuda itu tidak bereaksi.
"Dia pingsan. Biarkan dia istirahat, semoga cepat sadar kembali," ucap sang tabib.
"Dia kenapa, Paman Weling? Apanya yang berdarah? Bagian mana yang luka?" Tanpa sadar, Banyak Seta memberondong sang tabib dengan pertanyaan.
"Tenangkan dirimu. Saya sudah berusaha menghentikan perdarahan," sahut Weling.
Hati Banyak Seta seperti diiris sembilu melihat teman masa kecilnya di kampung terbaring tak berdaya. "Saya harus melakukan apa untuk membantunya?"
Weling mengembuskan napas panjang. Ia sendiri sangsi apakah luka Kuwuk bisa disembuhkan. "Tunggui saja, jangan ditinggal. Dia mau bicara padamu."
"Apa yang membuatnya seperti ini?" keluh Banyak Seta sambil mengelus-elus lengan Kuwuk.
Weling menggeser tubuh mendekat ke Banyak Seta, lalu membisikkan sesuatu di telinganya. Pemuda itu mengangguk mengerti dan segera memutar tubuh ke arah orang-orang yang berkerumun. "Tolong, semuanya keluar dulu," pintanya.
Banyak Seta menunggu semua orang meninggalkan rumahnya, lalu mengunci pintu gerbang dan rumah. Setelah itu, ia kembali ke sisi Weling. "Apa yang Paman ketahui?" bisiknya.
Sang tabib menelentangkan tubuh Kuwuk yang masih pingsan, lalu menunjuk luka memar di perut bagian atas. "Ini bukan pukulan biasa, Seta. Orang yang menyerangnya punya ilmu tenaga dalam yang langka. Lihat, kulitnya utuh, tapi isi perutnya remuk."
Banyak Seta mengernyit mengamati tubuh Kuwuk, lalu mengangguk. "Ini seperti pukulan dari daerah Girah."
Weling manggut-manggut dan menatap Banyak Seta dalam-dalam. "Kamu tahu, siapa yang ada di sana?"
Banyak Seta mendesah panjang. Sudah lama ia menyelidiki beberapa hal mencurigakan, seperti senjata pesanan yang tidak kunjung sampai, hingga desas-desus aneh di ibukota yang mengatakan Raja Kertanagara punya kebiasaan mengorbankan darah gadis-gadis untuk ritual sesat. Setelah ditelusuri, orang-orang yang diduga berhubungan dengan kejanggalan itu semuanya berasal dari seputar Girah di wilayah Kediri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...