50. Menangkap Musuh

189 53 32
                                    

Kekisruhan terjadi di pasukan Dyah Wijaya yang memilih setia kepada Singasari dan Raja Kertanagara. Mereka berjibaku mempertahankan senjata dan logistik dari para pembelot. Terpaksalah terjadi pertempuran yang memakan korban. Beberapa saat kemudian, para panglima berhasil mengamankan pasukan dan membiarkan para pembelot itu pergi.

"Sisa berapa pasukan kita?" tanya Dyah Wijaya dari atas punggung kuda hitamnya yang tetap berdiri dengan gagah di depan pasukan yang berbaris di antara pepohonan hutan. Raut wajahnya sengaja dibuat setenang mungkin walaupun hatinya carut-marut. Sikap tenang itu membuat karisma sang pangeran memancar kuat dan mempengaruhi segenap pasukannya.

"Tinggal enam ratus orang, Paduka," bisik Nambi.

Ardharaja pengkhianat! rutuk Dyah Wijaya dalam hati. Ribuan pasukannya dibajak sedemikian rupa hingga tersisa sepersepuluh saja.

"Persediaan senjata kita?" Dyah Wijaya berpaling ke Lembu Sora.

"Masih ada satu gerobak anak panah dan tombak. Tapi, semua gerobak bahan makanan direbut oleh pasukan Paduka Ardharaja," sahut sang panglima. Wajahnya benar-benar gusar. Beberapa kali ia menggeram dan mengembuskan napas berat.

"Paduka, apakah kita perlu kembali ke ibukota dengan diam-diam untuk mengecek keadaan di sana?" tanya Nambi.

Dyah Wijaya memejamkan mata. Ia sudah bisa membayangkan apa yang terjadi di ibukota Singasari. Pemberontakan Jayakatwang sukses besar. Ayah mertuanya kemungkinan sudah wafat. Entah bagaimana nasib negara setelah ini. Bukan hanya itu yang membuat dadanya terasa sesak. Istri dan tunangannya belum tentu selamat. Tribhuwana sedang mengandung. Haruskan ia kehilangan calon putra juga?

Dan Gayatri ... ah!

Hati Dyah Wijaya kontan tercabik-cabik. Bagaimana bila gadis pemberontak yang menggemaskan itu lenyap ditelan bumi untuk selamanya? Jangan-jangan ciuman di depan sel penjara Banyak Seta itu adalah kali terakhir ia melihat Gayatri dalam kondisi sehat.

"Menurut kalian, siapa yang bisa kita andalkan di ibukota?" tanya Dyah Wijaya sambil mengedarkan pandangan ke Nambi, Lembu Sora, Gajah Pagon, dan Rangga Lawe.

"Semoga Panji Patipati selamat, Paduka. Selain itu, kita menahan Seta di penjara istana ...," sahut Nambi, sedikit ragu saat menyebut nama Banyak Seta.

Dyah Wijaya menggeleng. "Panji Patipati adalah kepala pasukan pengawal raja. Aku yakin dia tidak akan meninggalkan arena pertempuran sampai titik darah penghabisan. Mengenai Banyak Seta, kita semua tahu bagaimana perangainya. Aku rasa dia akan memilih gugur di sisi raja."

Semua panglima itu tercenung saat menyadari bahwa mereka kini hanya bisa mengandalkan diri sendiri.

"Nambi, kirimkan orang kepercayaanmu untuk mengecek kondisi ibukota," perintah Dyah Wijaya setelah terdiam beberapa saat. "Perintahkan mereka untuk menemukan putri-putri Paduka Kertanagara."

"Siap laksanakan, Paduka!" Nambi memacu kudanya menuju ke deretan pasukan, lalu memanggil dua orang di antara mereka.

Dyah Wijaya memandang panglima-panglimanya dengan tatapan tegas seorang pemimpin. "Kita akan menuju ke wilayah Jenggala[1]. Aku yakin masih banyak abdi-abdi ayahandaku yang setia di sana. Kita bisa menyusun kekuatan untuk membalas Kediri."

Semua setuju dengan rencana Dyah Wijaya itu. Setelah meneriakkan seruan-seruan penyemangat, mereka bergerak menyeberangi Sungai Porong menuju utara.

☆☆☆

Ketika pasukan Dyah Wijaya bergerak menyeberangi Sungai Porong menuju sebuah desa bernama Pamwatan Apajeg, rombongan kecil Banyak Seta telah memasuki daerah Kedung Peluk, di mana pertempuran Dyah Wijaya pertama kali pecah. Perjalanan mereka tidak secepat biasa. Karena terluka dalam, Banyak Seta terpaksa berjalan seperti orang kebanyakan, tanpa mengerahkan kesaktian. Luka-luka dalam membuatnya harus berhenti beberapa kali untuk meredakan rasa nyeri.

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang