Malam ini adalah kedua semenjak Banyak Seta dan kedua abdinya dikurung dalam penjara. Selama itu pula Gayatri tidak sanggup menelan apa pun dan tidak bisa terpejam. Peristiwa ini mengingatkannya pada mimpi buruk beberapa waktu yang lalu. Istana Singasari terbakar beserta raja dan seluruh pejabat tinggi. Mimpi itu bahkan berulang. Pada malam lain, ia melihat air bah berwarna hitam pekat menyapu habis istana raja. Api sering melambangkan angkara murka, sedangkan air bah hitam sering ditafsirkan sebagai bencana yang membawa banyak kematian. Bukankah bila keduanya digabungkan bisa dianggap peringatan akan datangnya peristiwa mengerikan? Apakah mahapralaya yang melanda Kerajaan Medang dan menewaskan Raja Dharmawangsa Teguh beserta seluruh keluarganya akan terulang kembali?
Gayatri berpikir keras untuk menduga asal ancaman. Angkara murka yang mendatangkan banyak kematian bisa berarti serangan pasukan perang. Ia belum melupakan peristiwa berdarah saat ayahandanya menolak tunduk kepada Kerajaan Mongol. Dengan penuh kepercayaan diri, Raja Kertanagara mengecap wajah utusan Mongol dengan besi panas layaknya pencuri serta memotong telinganya. Sesudah itu, sang raja mengusirnya tanpa belas kasihan. Benar-benar tindakan yang sangat berani dan terkesan ceroboh. Namun, Gayatri tahu ayahandanya melakukan itu bukan tanpa perhitungan. Saat ini, armada tempur laut Singasari telah menguasai perairan dari Selat Malaka di barat hingga Kepulauan Gurun di Timur. Di darat, mereka berhasil menundukkan kerajaan-kerajaan kuat di nusantara seperti Sriwijaya dan Bali. Singasari telah menjelma menjadi kerajaan adidaya di wilayah perairan selatan. Ayahandanya yakin dengan memperkuat pertahanan laut, mereka bisa membendung serbuan pasukan Kubilai Khan. Praktis ancaman satu-satunya saat ini hanya berasal dari Mongol.
Rasa cemas menyelimuti kalbu Gayatri karena ia punya pertimbangan lain. Mongol adalah kekaisaran raksasa. Walau kabar angin menyebutkan Kaisar Kubilai Khan sibuk memberantas pemberontakan di daratan Cina dan melebarkan kekuasaan ke barat, tetap saja, armada tempur mereka sangat banyak. Dengan pengaruh kekuasaan dan kekayaan, mereka bisa menggalang pasukan dari Campa dan sekitarnya. Barangkali tak lama lagi, kapal-kapal Mongol akan segera melintasi Laut Jawa dan mendarat di pesisir utara.
Putri muda itu berjalan melintasi kamar, menuju sebuah lemari di sudut. Ia mengeluarkan sebuah kotak dari kayu cendana yang berukir indah dan beraroma harum. Niat hati ingin mengambil Sandyasa Lebu yang tersimpan di dalamnya, namun entah mengapa ia meragu.
Malam sebelum kepulangan Banyak Seta di ibukota, ia mendapat kunjungan tamu istimewa. Tidak tahu dari mana datangnya, lelaki bertapih putih itu mendadak telah bersimpuh di lantai kamarnya. Kulit yang kuning terang serta ikat kepala putih membuat wajah Mpu Sambi terlihat agung dan berwibawa. Gayatri tidak heran karena ia merasa sang empu bukan manusia biasa, melainkan makhluk setengah gaib.
"Mpu Sambi?" seru Gayatri yang terperanjat. Ia baru membuka mata setelah bersemadi tengah malam.
Mpu paruh baya itu tersenyum lembut sambil mengangguk hormat. "Mohon Paduka Putri jangan bersuara terlalu keras. Semua dinding istana ini memiliki telinga."
Gayatri beringsut mendekat, lalu duduk bersimpuh di depan sang Mpu. "Mpu, ada keperluan apa sampai Mpu mengunjungi saya?"
Mpu Sambi mengambil kotak kecil dari samping tempat duduknya. Kotak itu terbuat dari cendana dan di atas tutupnya diukir lambang kerajaan Singasari. "Hamba mohon simpanlah ini, Paduka Putri."
Gayatri mengenali kotak tersebut dan matanya segera membulat. "Sandyasa Lebu?"
"Hamba mendapat penglihatan yang genting. Hamba harap, Paduka Putri segera memberitahukan isi Sandyasa Lebu kepada orang yang Paduka pilih."
Sejenak, Gayatri mengelus kotak itu dan berpikir keras. Firasat buruknya kembali mencuat ke permukaan. "Mpu, apakah kedatangan Mpu berkaitan dengan mimpi yang saya alami akhir-akhir ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...