Banyak Seta mengamati gadis bertapih biru yang kini sibuk menghaluskan bumbu sambil sesekali mengipasi api di tungku yang terbuat dari susunan bata merah dan memiliki empat mata pembakaran. Sebenarnya cukup aneh gubuk sekecil ini memiliki tungku sebesar itu.
"Katakan, tempat apa ini!" seru Banyak Seta yang tak dapat menahan rasa curiganya. Sementara itu, ia berusaha menahan rasa nyeri yang menyergap di bahu, dada, dan perut.
Si gadis hanya menoleh sekilas tanpa ekspresi, lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Setelah memasukkan bumbu ke kuali berisi bebek, ia mengambil bungkusan daun pisang dari sebuah keranjang bambu. Isinya ikan panggang utuh yang diberi tusukan bambu dari mulut hingga perut. Ia mencuci ikan itu, lalu meletakkannya di atas tungku dan mengolesi permukaannya dengan minyak kelapa. Aroma sedap ikan panggang yang dipanaskan pun segera memenuhi ruangan.
Kambang tergopoh bangkit dan mendekati tungku. "Dik, biar aku saja yang memanggangnya."
Ucapan Kambang bernada ramah dan akrab sehingga membuat Banyak Seta ternganga. Anak buahnya mendadak dekat dengan musuh Singasari? Kapan mereka berkenalan?
"Ada apa ini?" Ditatapnya Sarba dengan sorot mata setajam pedang. Ia hendak bangkit berdiri, namun rasa nyeri tadi tiba-tiba menyengat dan membekukan gerakannya. Ia sampai mengernyit dan menekan dada.
Sarba langsung khawatir. "Jangan banyak bergerak dulu. Perdarahan Tuan belum lama berhenti. Saya takut lukanya terbuka lagi."
Sarba menunjuk bahu dan punggung Banyak Seta yang terbebat kain. "Tuan juga terluka dalam di bagian dada dan perut."
Banyak Seta meraba dada dan perutnya yang hanya terlihat memar, seperti luka Kuwuk. Pukulan Kebo Mundarang tidak melukai kulit, namun menyerang organ dalam. Sungguh malang, Kuwuk tidak mempunyai pertahanan sekuat dirinya sehingga tidak mampu menahan serangan itu.
Banyak Seta kemudian duduk bersila, bersandar dinding, dan memulai meditasi. Melihat itu, Sarba segera menahannya.
"Mm, Tuan mau semadi sekarang? Lebih baik makan dulu, Tuan. Sudah satu hari dua malam Tuan tidak menelan apa pun."
Wajah Banyak Seta yang semula sudah tenang, kini kembali tegang. Matanya terbeliak maksimal. "Apa? Dua malam?"
"Iya. Sekarang ini pagi kedua kita di sini,"
Banyak Seta langsung panik. Ia harus mengamankan Dyah Wijaya dan putri-putri sang raja dan malah terbaring di tempat asing ini selama dua malam?
Paduka Gayatri ....
Wajah Gayatri pun mengambang dalam pikiran dan langsung memperparah rasa sesak di dadanya. Ada sebentuk rasa sesal mengapa pada malam nahas itu ia tidak meminta ayahnya untuk mencari Gayatri sebelum pergi ke utara. Ia tidak melakukannya karena terlalu malu mengakui perasaan terlarang di hadapan orang-orang, terutama sang ayah.
Banyak Seta kembali ke posisi semadi dan masuk dalam keheningan untuk mendeteksi keberadaan kerisnya. Bila pusaka itu masih di tangan Gayatri, ia yakin akan menemukan gadis itu dengan mudah.
Setelah semadi selama dua puluh tarikan napas, Banyak Seta tetap tidak menemukan Gayatri. Keberadaan gadis itu lenyap seperti asap yang tertiup angin. Yang ia dapati justru lokasi kerisnya. Benda pusaka itu berada di ... tempat ini!
"Hei!" Banyak Seta membuka mata dan langsung meneriaki gadis bertapih biru. Suara keras itu membuat seisi ruangan menoleh padanya, termasuk orang yang dipanggil.
Sejenak keheranan karena diperlakukan kasar, si gadis beranjak meninggalkan tungku, menuju sudut lain dari gubuk. Di tempat itu terdapat beberapa keranjang bambu dan tempayan, yang entah apa sisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...