39. Ancaman dari Selatan

173 45 13
                                    

Gayatri seperti membeku di tempat untuk beberapa kedipan mata. Kesan yang ditinggalkan oleh kecupan singkat Wijaya tadi begitu membekas. Ada sengat-sengat aneh yang sangat membingungkan. Selama ini ia mengenal Wijaya sebagai kakak lelaki yang suka bercanda dan lawan debat yang sengit. Untuk pertama kali sejak mereka dijodohkan, Gayatri merasakan sisi lain dari sang pangeran. Ia sendiri bingung mengapa sentuhan singkat di pipi itu membuat hatinya galau.

Banyak Seta sendiri segera bangkit dari posisi bersimpuh untuk memeriksa kondisi ayahnya. Sebenarnya hatinya ngilu akibat melihat adegan mesra tadi. Tapi, mau bagaimana lagi? Gayatri memang milik Wijaya sejak semula. Ia harus tahu di mana menempatkan diri.

Gerakan itu tertangkap sudut mata Gayatri dan menyentaknya dari lamunan.

"Kanda Seta ...," bisiknya tanpa sengaja.

Banyak Seta tidak menyahut, bukan karena tidak mendengar, melainkan akibat bingung mengatasi perasaannya sendiri. Ia sadar tidak boleh cemburu, namun hatinya toh tetap nelangsa. Ia lebih suka menghadang terjangan tombak dan keris daripada menghadapi situasi aneh seperti ini.

"Bapa, bagian mana yang terluka?" Banyak Seta memutar tubuh Wiskira untuk melihat punggung dan bagian belakang kepalanya. Ada banyak luka lebam di sekujur tubuh lelaki itu, namun organ-organ dalamnya masih selamat. Lelaki itu masih bisa bersila dengan badan tegak.

Wiskira menggeleng. "Aku baik-baik saja. Kamu dipanggil Paduka Putri."

Kerlingan mata Wiskira memberi isyarat agar Banyak Seta berpaling. Ia sendiri segera bersujud memberi hormat.

Banyak Seta terpaksa kembali ke dekat jeruji dan duduk bersimpuh sambil menunduk. Ia tidak sanggup menatap sepasang mata bening milik Gayatri. Ia yakin akan gila bila nekat melakukannya.

"Hamba, Paduka," ucapnya dengan suara serak.

Kini, giliran Gayatri yang termangu. Ia merindu berat pada lelaki ini. Namun, sekarang ia takut melihat wajah Banyak Seta yang berubah masam. Padahal saat pertama melihatnya datang, jelas sekali lelaki itu juga merindukannya.

"Kanda marah?"

"Ampun, Paduka. Mengapa saya harus marah?" Banyak Seta pura-pura tidak mengerti, padahal ia sangat tahu apa yang dimaksud oleh Gayatri.

Gayatri tertunduk sejenak karena rasa bersalah. Ia sendiri tidak paham mengapa harus terbebani oleh rasa bersalah.

"Ah, tidak-tidak. Bagaimana keadaan ayah Kanda? Saya akan memanggil tabib istana untuk mengobati kalian."

"Oh, jangan, Paduka!" Banyak Seta segera menolak karena takut membuat masalah baru. "Bapa saya hanya lecet-lecet dan memar."

"Oh, syukurlah." Gayatri menggigit bibir untuk mengurangi rasa canggung. "Kiriman Kanda sudah saya terima," bisiknya.

Banyak Seta mengangguk. "Mohon Paduka menyimpannya agar hamba bisa menemukan Paduka di mana pun Paduka berada."

Gayatri tertegun. "Kanda mau ke mana? Mengapa kita seperti akan terpisah jauh?"

Banyak Seta tidak bisa menjawabnya. "Seperti pesan Paduka Wijaya, sebaiknya Paduka Putri melakukan apa yang harus dilakukan sesegera mungkin."

Kening Gayatri berkerut karena perkataan tidak jelas itu. "Apa yang harus saya lakukan?"

Perlahan, Banyak Seta mengangkat wajah dan menguatkan hati untuk menghadapi orang yang dirindukan siang dan malam. Pandangan mereka beradu dan ia merasakan kembali getaran-getaran terlarang itu. Kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Banyak Seta pun terdiam sesaat.

"Paduka, bila ada marabahaya, segeralah Paduka menyelamatkan hal paling penting yang menjadi tanggung jawab Paduka," ucap Banyak Seta setelah berhasil meredakan gemuruh di dadanya. Ia beringsut mendekati jeruji.

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang