52. Rabut Carat

202 59 28
                                    

Nyeri yang dirasakan Banyak Seta mereda setelah meminum jamu dari Weling. Penyaluran tenaga dalam oleh Runi juga sangat membantu memulihkan kekacauan energi di organ-organ dalam. Secara alamiah, tubuh Banyak Seta meminta rehat dan setelah beberapa putaran napas, ia tertidur.

Menjelang dini hari, Banyak Seta terbangun dengan tubuh yang jauh lebih segar. Rasa nyeri dan perdarahannya telah berhenti. Ia tidak tahu mana yang memberikan pengaruh lebih banyak, jamu Weling atau penyaluran tenaga dalam oleh Runi.

Hari masih gelap dan udara dingin bercampur dengan kabut. Beruntung perapian di depannya cukup membantu untuk mengusir rasa dingin. Rombongan yang lain sebagian pergi ke sungai untuk menunaikan panggilan alam. Hanya tersisa Runi dan Weling di tempat itu, serta enam orang anak buah Subala yang masih terikat.

Runi sedang sibuk memanggang ikan dan membalik-balik batang bambu tempat menanak nasi. Diam-diam, Banyak Seta mengamati gadis itu.

Cekatan dan berilmu tinggi. Memakai senjata aneh yang setahunya jarang ditemui di Jawadwipa. Mengaku hanya dibayar oleh Kediri, tapi dipanggil Tuan Putri. Runi bahkan sangat memahami seluk beluk wilayah Singasari. Siapa sebenarnya orang ini?

Selain itu, wajah Runi membuat penasaran. Mata yang agak sipit, alis tipis yang melengkung rapi, pipi yang membulat, dan bentuk bibir itu, di mana ia pernah melihatnya?

"Bagaimana keadaanmu?" Weling ternyata sudah lebih dulu terjaga dan tengah menyeduh jamu di perapian.

Banyak Seta tersentak dari lamunan. "Sudah lebih baik, Paman."

"Kita berangkat sekarang?"

Banyak Seta mengangguk. Weling memberinya secangkir jamu.

"Habiskan jamunya dan makanlah terlebih dulu," ucap Weling.

Banyak Seta menyeruput jamu itu sambil diam-diam melayangkan pandangan ke perapian. Matanya kembali menelisik sosok Runi sembari memikirkan berbagai kemungkinan.

Runi sedang membelah sebuah batang bambu yang telah dibakar, lalu menuang isinya ke daun pisang. Tanpa memedulikan seseorang yang menatapnya tajam, ia menyantap nasi dan ikan dengan lahap. Sepanjang malam, matanya nyaris tidak terpejam karena menyalurkan energi. Nasi putih itu cukup manjur untuk menghalau rasa lelah.

Weling seolah tahu isi hati Banyak Seta. "Kamu masih terganggu olehnya?"

Banyak Seta mengangguk. "Tindak-tanduk dan asal usulnya sangat mencurigakan."

Weling tidak menampik karena juga merasakan hal yang sama. "Kita lihat saja nanti, apakah dia akan mengarahkan kita menuju perangkap."

"Paman bisa menduga apa bentuk perangkap itu?"

Weling menggeleng kecil. "Semua petunjuk yang kita terima selama ini bisa saja merupakan perangkap, termasuk petunjuk yang dibawa oleh Subala."

"Sayang sekali, kita tidak punya waktu untuk membuktikan kebenarannya," ucap Banyak Seta dengan lirih.

Entah bagaimana, tahu-tahu Runi sudah berdiri di samping mereka sambil memberikan dua pincuk nasi dan ikan panggang. Mulutnya manyun panjang karena mendengar percakapan mereka. Wajah cemberut itu malah tampak menggemaskan. (Daun pisang yang dibentuk menjadi wadah)

"Kalian masih tidak percaya padaku?"

Banyak Seta dan Weling menerima makanan pemberian Runi tanpa bicara dan langsung menyantapnya. Runi yang merasa tidak digubris, menjadi semakin kesal.

"Ada racun di nasi itu!" ucapnya.

Banyak Seta dan Weling hanya melirik sebentar, lalu kembali makan dengan santai.

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang