Malam ini, rembulan penuh hanya sedikit memberi cahaya karena bergumpal-gumpal awan menutupi sebagian wajahnya. Bumi Singasari kala puncak malam terasa lengang. Suara serangga bersahutan dari pepohonan. Kodok jantan yang belum menemukan pasangan berseru berirama demi mengundang betina idaman. Pemukiman penduduk di luar tembok istana sudah sepi dan gelap. Di waktu seperti ini, teras rumah dan pagar depan halaman hanya diterangi bara dari sabut kelapa. Nyala kecil itu cukup untuk menjadi penanda tempat tinggal warga.
Sepasang kaki kekar seorang lelaki muda melangkah di jalan tanah dengan hati-hati. Cahaya bulan yang putih pucat sebenarnya cukup untuk menunjukkan arah. Namun, penduduk ibukota biasa membawa lampu minyak atau obor sebagai penerang saat perjalanan malam. Sungguh berbeda dari lelaki itu. Bukan hanya tidak membawa lampu, ia bahkan memilih jalan yang gelap dan terlindung bayangan rumah atau pohon. Perlahan dan mengendap-endap gerakannya.
Lelaki itu muncul dari utara kota. Ia menggendong keranjang bambu serta mengenakan topi lebar dari bambu yang dinamakan caping. Melihat pakaian dan barang bawaan itu, sekilas ia seperti petani pada umumnya. Namun, badan lelaki itu terlalu tegap untuk ukuran rakyat jelata. Gerakannya pun terlalu ringan dan gesit. Lagipula, petani mana yang masih keluyuran di pemukiman saat tengah malam begini? Bila mereka berada di luar rumah pun, pasti tengah menunggu sawah dari serangan tikus, atau menangkap kodok hijau untuk santapan.
Lelaki misterius itu berhenti di depan sebuah rumah yang dikelilingi pagar tanaman. Setelah menengok ke sekeliling, ia merunduk masuk melalui celah di antara tanaman perdu yang membatasi pekarangan. Di tempat itu, ia disambut seorang lelaki setengah baya yang berbadan tambun. Keduanya masuk ke rumah dan pintu pun ditutup rapat. Keduanya duduk bersila berhadapan di ruang tengah.
"Apakah barang-barang sudah sampai di Hujung Galuh?" tanya si tua. Badannya dicondongkan ke depan karena suaranya sangat pelan.
"Sudah, Tuan. Semua telah disiapkan seperti perintah Tuan," jawab lelaki muda yang baru datang.
"Bagus!" Lelaki paruh baya itu memberikan sekantong uang logam. Si pemuda menerimanya sambil mengucap terima kasih.
"Di mana kelinci itu sekarang?" tanya si tua.
Lawan bicaranya berdeham, geli mendengar bahasa sandi yang digunakan orang itu. Kelinci? Orang yang dimaksud sama sekali tidak manis dan lembut seperti kelinci. Bahkan sangat menyusahkan karena beberapa kali melawan dan berusaha melarikan diri.
"Kenapa kamu tertawa?" tanya si tua.
"Saya lebih suka menyebutnya tikus wirog, Tuan." (sebutan untuk jenis tikus yang besar)
"Ya, sudah, terserah kamu. Tikus wirog pun boleh."
"Tikus wirog sudah diamankan di penjara," sahut si pemuda.
"Bagus. Saya akan memberi tugas baru padamu."
"Siap, Tuan. Asal saja ...." Pemuda itu tersenyum penuh arti.
Lelaki tua tampak kesal. "Haruskah sejelas itu diucapkan? Seolah saya tidak pernah memberi upah secara layak saja."
Si pemuda langsung menunduk. "Ampun, Tuan. Saya percaya sepenuhnya pada kemurahan hati Tuan. Kalau bukan karena jasa Tuan pada keluarga saya, entah bagaimana nasib ibu dan adik-adik saya."
"Ya sudah. Jangan dibahas lagi. Sekarang dengarkan tugas berikutnya."
"Siap, Tuan." Lelaki muda itu memasang wajah serius.
"Besok pagi, pergilah ke Hujung Galuh lagi."
Si pemuda keheranan. Ia baru datang dari Hujung Galuh, masa harus kembali lagi ke sana? "Apakah sesuatu yang buruk telah terjadi?"
Si tua menggeleng. "Ada perubahan rencana. Tuan kita ingin bermain lebih halus. Kamu harus kembali ke sana dan mencari seorang penjahat dari Bakula Pura[1]. Tangkap dia, lalu penjarakan bersama tikus wirog."
Si pemuda mengangguk kecil beberapa kali. Ia sudah biasa menerima tugas aneh dan mendadak seperti ini. "Siapa yang harus saya cari?"
"Siapa saja yang mulutnya lantih." (lancar berbicara)
Kening si pemuda berkerut mendengar penuturan itu. "Sebaiknya Tuan menjelaskan, orang seperti apa yang Tuan butuhkan."
Lelaki yang lebih tua mendekatkan tubuh ke lelaki muda, lalu membisikkan sesuatu. Si pemuda terlihat semakin tegang.
"Sudah paham?" tanya si tua.
Lelaki muda itu mendesah lirih. "Tuan, tugas ini menyangkut orang-orang penting. Apakah Tuan sudah memikirkan akibatnya?"
"Kamu ini!" Si tua langsung memukul kepala pemuda itu. "Semakin tinggi taruhannya, semakin besar hasilnya, bodoh!"
"Saya masih ragu. Bukankah Singasari sedang jaya sekarang? Hidup rakyat juga baik-baik saja. Apakah kita akan berhasil?"
"Haaaish! Jaya apanya! Itu hanya tampak luar, di dalamnya bobrok . Isi istana Singasari itu pencuri semua, ingat itu! Dari luar mereka seperti orang suci, tapi sebenarnya mereka merampok rakyat."
Si pemuda termangu. "Saya juga mendengar desas-desus itu. Tapi masih banyak rakyat mengagungkan Paduka Raja Kertanagara. Paduka Raja memang sakti dan berjaya menguasai Melayu, Bali, sampai Gurun."
Si tua tahu, orang kepercayaannya tengah gamang. Tidak mudah meyakinkan anak muda zaman sekarang yang tidak tahu sejarah. Mereka hanya memikirkan mengumpulkan kekayaan, menikah, lalu beranak-pinak. Sudah, hanya sejauh itu pandangan hidup mereka.
"Kamu tahu, kan? Semua Wangsa Rajasa keturunan Ken Arok sebenarnya telah menindas raja-raja dan rakyat Kediri. Ken Arok itu siapa? Bukan siapa-siapa, toh? Dia dulu pencoleng, begal. Orang seperti itu berani-beraninya mengangkat diri menjadi raja. Lalu raja yang memang berdarah bangsawan disingkirkan secara semena-mena. Kamu sadar, tidak?"
"Benar, Tuan. Leluhur-leluhur saya adalah pelayan Wangsa Isyana dan sudah mengabdi turun-temurun sejak Paduka Raja Airlangga. Saya sedih bila memikirkan keturunan Paduka Raja Airlangga sudah tidak lagi berjaya."
Si tua menepuk punggung si pemuda. "Apa kubilang! Karena itu, kita harus mendukung semua rencana Paduka Raja Jayakatwang untuk mencegah kekuatan Raja Kertanagara semakin besar. Raja Kertanagara tidak boleh dibiarkan berhasil menyatukan dwipantara dalam satu mandala Singasari. Bahaya! Nanti Singasari akan semakin kuat dan Wangsa Isyana akan semakin diinjak-injak. Kita harus membuat Raja Kertanagara turun tahta."
Agaknya, bujukan si tua berhasil. Buktinya anak muda itu menegakkan tubuh dan mengangguk mantap. "Saya siap memberikan nyawa sekali pun demi kejayaan Wangsa Isyana!"
"Ingat, tahun ini juga, tanah Jawa harus berganti raja!"
"Siap!"
"Bagus! Saya percaya padamu." Lelaki paruh baya itu lalu mengeluarkan seikat uang logam lagi dan menyerahkannya kepada si pemuda. "Ini buat bekal. Upahnya nanti setelah semua selesai. Ingat, semua ini rahasia. Kalau sampai bocor, kepala ibu dan tiga adikmu akan menjadi ganjarannya."
"Jangan khawatir, Tuan. Saya akan menjaganya sampai ke alam kubur!"
_______________
[1] Bakula Pura adalah kerajaan bawahan Singasari di Pulau Kalimantan. Terletak di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Kerap dikenal dengan nama Tanjungpura atau Matan.
Author Note:
Yang dimaksud tanah Jawa adalah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan Jawa Barat disebut sebagai tanah Sunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Ficção HistóricaSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...