Sepulang dari menemui Dyah Wijaya di penjara, kelompok Ardharaja berpencar. Sang menantu raja kembali ke istana kediamannya dengan tenang dan damai, seolah-olah tidak melakukan apa pun. Sementara Kebo Wungu diam-diam bergegas keluar istana. Seperti petinggi kerajaan lain, ia memang memiliki rumah di luar istana. Namun, malam ini ia tidak pulang ke rumahnya, melainkan mendatangi suatu tempat di pinggiran ibukota.
Rumah petani sederhana di selatan ibukota itu hanya dikelilingi pagar tanaman. Bangunan utamanya kecil, namun pekarangannya cukup luas dan letaknya terpencil. Di tempat itulah Kebo Wungu kerap berjumpa telik sandi yang menjadi penghubung dengan orang-orang bawahan Kebo Mundarang, ayahnya.
Kebo Wungu mengendap sejenak di luar pagar untuk memastikan ia tidak diikuti orang-orang Dyah Wijaya. Walaupun telik sandi paling disegani di antara pasukan Singasari, yaitu Banyak Seta, berhasil mereka fitnah dan sekarang mendekam di penjara, namun tidak mustahil Dyah Wijaya masih memiliki prajurit tangguh lainnya.
Setelah memastikan semuanya aman, Kebo Wungu menyelinap masuk. Di balik pintu gerbang, ia disambut anggota pasukan rahasia Kediri.
"Tuan Wungu sudah ditunggu," bisik prajurit muda itu.
"Saya sudah tahu," jawab Kebo Wungu.
"Kali ini ada yang berbeda, Tuan. Ayahanda Tuan datang kemari," bisik prajurit itu lagi.
Kebo Wungu kaget. Pasti ada berita mahapenting hingga sang ayah langsung menemuinya di tempat ini.
Kebo Wungu segera menderap menuju rumah dan langsung masuk. Bagian dalam rumah itu sengaja dibuat remang-remang untuk menutupi orang-orang yang berkumpul di dalamnya. Jumlah peserta rapat kali ini dua kali lipat dari biasa dan langsung dipimpin sendiri oleh Patih Kediri, Kebo Mundarang. Mereka adalah telik sandi Kediri yang mengerjakan pekerjaan rahasia untuk memfitnah Banyak seta dan mempersiapkan penyerbuan ibukota.
"Ayahanda, saya haturkan selamat datang." Kebo Wungu bersimpuh di depan balai-balai di mana ayahnya duduk.
Kebo Mundarang adalah pria berusia lima puluhan. Ia tidak terlalu tinggi, namun tubuhnya kencang dan matanya tajam, menandakan ilmu yang dimilikinya sangat tinggi. Seperti para petinggi kerajaan lain, rambutnya digelung rapi di belakang kepala. Upawita, perhiasan lengan, dada, serta pinggang sementara tidak dikenakan karena tengah melakukan penyamaran. Walaupun hanya memakai kain tapih lusuh seperti rakyat jelata, wibawa yang terpancar dari sosok itu sangat terasa.
Kebo Mundarang mengangguk. "Putraku sudah datang. Kita segera mulai rapat kali ini. Bagaimana keadaan istana, Wungu?"
"Berkat petunjuk Ayahanda, semua berjalan sesuai rencana," lapor Kebo Wungu. "Banyak Seta telah dipenjara."
Kebo Mundarang mengangguk dan tersenyum puas. "Di mana ayahnya sekarang?"
"Wiskira, ayah Banyak Seta, sekarang sedang dipenjara juga, Ayahanda. Paduka Ardharaja akan memastikan ayah dan anak itu dihukum berat pada persidangan esok."
"Bagus!" Senyum Kebo Mundarang semakin lebar. "Hampir saja rencana kita kacau karena ayah dan anak itu."
"Semua itu berkat kewaskitaan Ayahanda. Andai Ayahanda tidak memberi tahu saya tentang pengapesan Banyak Seta, saya tidak mungkin memukulnya hingga pingsan," ucap Kebo Wungu lagi. (hal-hal yang membuat apes atau nahas – Jawa)
"Apa kubilang!" Kebo Mundarang terkekeh lirih. "Pengapesan Banyak Seta ada di unyeng-unyeng. Kalau kaulawan langsung, nasibmu akan sama dengan puluhan pasukan yang dikirim untuk membunuhnya di dekat Kabalan." (pusat pusaran rambut di puncak kepala – Jawa)
Kebo Wungu menunduk hormat. "Terima kasih, Ayahanda."
"Apakah benar Paduka Ardharaja sudah mendapat pasukan utama istana?" tanya Kebo Mundarang lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...