35. Tragedi Jasun Wungkal

202 46 40
                                    

-o0o-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-o0o-

Jasun Wungkal adalah sebuah desa makmur yang terletak jauh di utara kutaraja Singasari. Penduduknya hidup berkecukupan. Letaknya yang tidak terlalu jauh dari Sungai Brantas membuat pertanian subur, begitu pula perdagangan berjalan lancar. Malam itu, suasana desa tidak berbeda dari malam-malam yang telah lalu. Tenang dan damai. Hanya saja, saat ini langit gelap gulita tanpa cahaya bulan dan bintang. Awan menggantung dan sebentar lagi akan meluncur turun menjadi tetesan hujan. Penduduk yang tengah terlelap tidak pernah menduga bayangan kematian mengincar mereka dari kegelapan.

Sebuah ancaman besar merayap mendekati desa malang itu. Bayangan hitam itu berkeriap tanpa suara, terlindung oleh kegelapan. Mereka pasukan tanpa nama, tanpa bendera kerajaan mana pun, dan sanggup menembus pekatnya malam hanya dengan sedikit cahaya obor kecil. Wajah-wajah mereka garang, tubuh-tubuh kekar dan terlatih untuk membunuh terbalut kain hitam. Sebagian besar berjalan kaki dan membawa tombak, perisai, dan golok. Di antara mereka ada pria-pria yang mengenakan gelang dan ikat pinggang kuningan, mengendarai kuda dan beberapa kali membuat perintah. Pasukan tanpa nama itu seperti awan neraka yang siap mencabut nyawa.

Pasukan kematian itu berhenti di pinggir desa, berlindung sejenak di balik kabut malam. Seorang pimpinan pasukan memberi perintah untuk menyiapkan senjata. Di dekat jalan masuk itu, obor-obor besar dinyalakan. Beberapa saat kemudian, pekikan lerang membelah langit, mengiringi serbuan langsung ke pusat perkampungan.

Tiga orang warga desa yang bertugas jaga di ujung jalan masuk Jasun Wungkal tersentak dari obrolan receh-keceh. Ketiganya kaget mendengar gemuruh mengerikan itu. Serta-merta, mereka meloncat turun dari gubuk kecil yang berfungsi sebagai pos jaga, meninggalkan cangkir-cangkir tembikar berisi jahe panas terserak di lantai.

Begitu sadar, di hadapan mereka telah berdiri pasukan dengan obor merah menyala yang bergerak cepat memasuki desa. Ketiga pria malang itu langsung menerima tusukan tombak tanpa sempat bersuara. Tubuh mereka terguling di jalanan desa dan segera terinjak-injak pasukan besar menyerbu tanpa rasa belas kasihan.

Pasukan kematian melempar obor ke beberapa rumah. Bangunan tempat tinggal sederhana yang hanya terbuat dari bambu atau kayu dengan segera dilalap api, menimbulkan kebakaran besar serta lolongan tangis yang mengagetkan seisi desa. Penduduk kampung yang jumlahnya tak sampai lima ratus jiwa terbangun dari tidur lelap. Pasukan tanpa nama itu kemudian memasuki rumah-rumah  dan menyeret keluar semua isinya.

"Berhenti! Siapa kalian?"

Kepala desa yang sudah tua dan beberapa lelaki berusaha menghadang para pembuat onar itu di lapangan desa. Mereka membawa senjata seadanya. Golok kecil, keris, linggis, tombak bambu, dan kapak. Dikepung ratusan pasukan terlatih berpakaian hitam-hitam yang mengacungkan tombak, mereka tampak menyedihkan, seperti tikus yang masuk perangkap.

"Diam kalian!" Seorang pria berkuda menyeruak kerumunan. Bila melihat gelang-gelang dan ikat pinggang kuningan mengkilap yang dikenakan, bisa dipastikan ia yang tertinggi di antara semua pasukan hitam itu.

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang