Gayatri boleh lega sejenak ketika punggawa mempersilakannya masuk. Dengan diiringi Cebluk dan Cupuk, ia melangkah tergesa membuntuti prajurit itu, menuju tempat di mana Dyah Wijaya telah menunggu. Namun, tempat yang mereka tuju ternyata tidak seperti harapannya. Sang punggawa tidak membelok ke area sel-sel tahanan, melainkan ke bangunan panjang yang dikelilingi pagar tembok bata merah.
"Punggawa, ini bukan penjara tempat Kakang Seta ditahan," protes gadis itu.
"Ampun, Paduka Putri. Daerah ini memang bukan kerangkeng tahanan, namun masih termasuk bagian dari penjara. Lebih tepatnya, di sinilah tempat para petinggi penjara bersua dan bekerja."
Gayatri tidak punya pilihan selain menurut. Harapannya untuk melihat Banyak Seta agaknya masih perlu perjuangan lebih keras.
Gayatri akhirnya sampai di pendopo di mana Dyah Wijaya menyambutnya dengan senyum lebar serta kerinduan yang terpancar nyata dari sorot matanya. Sehari setelah kepergian Banyak Seta, Dyah Wijaya juga berangkat menuju pesisir utara guna mengunjungi pangkalan militer di Hujung Galuh dan Kambang Putih. Perjalanan sepuluh hari itu membuatnya tidak bisa berdebat sambil memandangi wajah ayu Gayatri sehingga rasa rindunya membuncah, tumpah ruah dari dada.
"Dinda Gayatri!" seru Wijaya begitu melihat calon istrinya menaiki pendopo. Seperti biasa, ia tidak sabar menunggu Gayatri duduk rapi dan menghaturkan sembah sebelum mulai menyapanya.
Urakan sekali! batin Gayatri.
"Apa kabar, Kanda?" sapa Gayatri setelah duduk dengan baik di lantai pendopo.
"Aduhai, Dinda! Sekarang sudah lewat tengah malam. Mimpi apakah yang membuat Dinda tergesa-gesa menyusul Kanda di penjara? Bila dulu Dinda bermimpi istana kebakaran dan dilanda air bah, sekarang ini pastilah mimpi yang sangat seram."
Gayatri kontan merengut dan rasa gemas Wijaya pun semakin menjadi-jadi dibuatnya. Padahal beberapa saat yang lalu, dada lelaki itu dipenuhi bara api cemburu. Begitu berjumpa langsung dengan orang yang dicinta, rasa cemburu itu langsung lenyap. Wajah cantik memang berdampak besar terhadap hati seorang lelaki.
"Hm, kalau boleh aku akan menebaknya. Apakah Dinda bermimpi kehilangan monyet peliharaan yang sangat disayang?" Wijaya belum puas menggoda calon istrinya.
"Monyet?" Gayatri kontan membeliak saking kesalnya. Apakah Wijaya tengah menyamakan Banyak Seta dengan monyet?
"Ah, tebakanku salah rupanya." Wijaya meringis lebar, sehingga pipinya membulat dan terlihat lucu.
"Saya tidak bermimpi apa pun lagi, Kanda. Saya bahkan tidak bisa tidur karena mengerjakan hukuman dari Yunda Tribhuwana." Gayatri menunjukkan ujung jemarinya yang ternoda minyak kemiri bakar sambil manyun panjang. "Lihatlah! Saya sampai tidak bisa membedakan antara jari saya dengan arang kemiri!"
Melihat itu, Wijaya diam-diam ingin tertawa. Gayatri yang tengah protes adalah pemandangan paling indah dalam hidupnya. Sebab, tidak ada orang lain yang bisa merajuk dengan cara paling menggelikan seperti gadis itu.
"Oh, malangnya adindaku yang satu ini!" seru Wijaya. "Pasti bukan karena noda tinta itu Dinda menyusul kemari. Bolehlah kandamu ini berbangga hati karena telah dirindukan sedemikian rupa oleh calon istri."
"Kanda!" seru Gayatri. "Saya datang karena masalah teramat sangat genting! Mengapa Kanda malah menanggapinya dengan bercanda?"
Wijaya berpura-pura kaget dengan memegangi dadanya. "Aduhai! Dinda membuatku terkejut!"
"Maafkan saya," ucap Gayatri saat menyadari sikapnya tidak sopan. "Kanda jangan salah paham."
"Aku salah paham, Dinda? Ah! Hatiku menjadi sedih. Dinda sama saja berkata tidak merindukanku. Apakah benar begitu?"
Gayatri mendadak merasa frustrasi. Wijaya selalu saja lebih mementingkan urusan remeh temeh percintaan mereka daripada masalah negara. "Kanda, dua emban saya telah menjadi korban pembunuhan. Bagaimana mungkin saya sempat merasa rindu?"
Mendengar dua emban Gayatri dibunuh, wajah Wijaya berubah tegang. "Pembunuhan? Siapa korbannya, Dinda?"
Gayatri memberi kode kepada Cebluk untuk memberikan sisa kain tapih Ni Cemplon kepada abdi Dyah Wijaya. Sang abdi kemudian menyampaikan benda itu kepada tuannya.
"Kain siapa ini?" tanya Wijaya setelah beberapa saat mengamati benda itu. "Hm, sepertinya pemiliknya sudah meninggal dunia."
"Benar sekali, Kanda. Itu kain Ni Cemplon. Kalau boleh saya melapor, Ni Cemplon dan Ni Candil menghilang dan ditemukan telah meninggal dunia. Kemudian emban penggantinya, Seni, juga menghilang setelah peristiwa dua hari yang lalu. Asal Kanda tahu, Senilah yang memberi saya arak yang membuat mengantuk itu. Saya yakin, Seni jugalah yang membunuh Ni Cemplon dan Ni Candil." Gayatri mencerocos dengan cepat.
"Ini masalah gawat, Dinda."
"Bukan hanya itu. Baru saja ada orang menyusup ke keputren."
"Astaga! Dinda tahu seperti apa dia dan berbuat apa di keputren?"
Gayatri menggeleng. Ia tidak mungkin memberi tahu tentang utusan Banyak Seta. "Maaf. Saya hanya melihat sosoknya di kegelapan. Orang itu langsung kabur begitu tahu saya memergokinya."
"Baiklah, aku akan mengirim prajurit telik sandi untuk menyelidiki masalah ini," ucap Wijaya setelah terdiam sejenak untuk berpikir.
"Terima kasih. Saya mohon, usutlah masalah ini sampai tuntas. Saya yakin, semuanya terkait dengan dua mimpi saya."
Wijaya mengangguk. "Tentu! Sekarang, Dinda silakan kembali ke keputren dan segera beristirahat. Aku akan meminta Gajah Pagon untuk menambah penjagaan di sana."
Gayatri mengangguk, namun belum bergerak untuk pergi. Melihat itu, Wijaya segera teringat Banyak Seta.
"Apakah masih ada yang harus Dinda sampaikan?" tanya Wijaya. Ia sungguh berharap Gayatri menggeleng. Namun, yang didapat justru permintaan yang menyakitkan hati.
"Benar, Kanda. Izinkan saya mengunjungi Kakang Seta."
Alis Wijaya langsung terangkat mendengar permintaan yang disampaikan dengan teramat lugas itu. "Aduhai! Tidak bisakah Dinda berbasa-basi sedikit agar tidak melukai perasaanku?"
"Maafkan saya. Bukankah hati kita sudah sama-sama terluka karena masalah tempo hari? Lebih baik kita sadari luka itu agar bisa mengobatinya." Lancar sekali Gayatri berucap. Ia bahkan tidak benar-benar mengerti apa makna kalimatnya.
Wijaya hanya bisa mengelus dada melihat sepasang insan yang saling menyukai. Ia belum lupa alasan Gayatri mengirim surat kepada Banyak Seta. Serindu itukah calon istrinya pada lelaki lain?
"Haruskah Dinda menemuinya sekarang?" tanya Wijaya. Kali ini suaranya berat dan dalam, menandakan hatinya yang perih.
Gayatri mengangguk kecil. Matanya menyorotkan keteguhan yang membuat Wijaya merinding. "Saya khawatir esok sudah terlambat."
"Bila kularang menemui Seta, pasti Dinda akan tetap duduk di sini sampai pagi. Bukankah begitu?" tanya Wijaya dengan suara yang dipenuhi rasa getir.
Gayatri tertunduk. "Saya harus menemuinya, Kanda. Maafkan bila terlihat seperti melukai Kanda. Saya mohon percayalah bahwa saya selalu mengutamakan kepentingan Singasari di atas segala hal."
Kedua insan itu kemudian beradu pandang beberapa saat. Gayatri dengan keteguhan niatnya, sedangkan Wijaya sedang meyakinkan diri bahwa ucapan Gayatri yang terakhir tadi adalah janji yang tidak akan diingkari.
Pandangan yang saling bertukar itu rupanya cukup untuk membuahkan kesepakatan tanpa kata. Perlahan, Wijaya mengangguk.
"Baiklah. Aku izinkan Dinda menemui Seta."
☆-Bersambung-☆
Belum ketemuan juga Gaya-Seta. Besok, ya.
Mau dibuatin mereka uwu-uwuan? Beri emot api-api yang banyak dong ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...