Pertempuran di Kulawan itu berakhir memilukan. Pasukan jalan kaki Singasari menjadi korban paling menderita. Segagah apa pun, prajurit-prajurit muda itu akhirnya kewalahan. Satu demi satu bertumbangan. Yang cukup pengecut melarikan diri ke segala penjuru hutan. Itu pun tidak menjamin nyawa mereka selamat. Prajurit Kediri seperti kerasukan makhluk kegelapan, mereka memburu dan membasmi semua orang yang ditemukan. Hanya sebagian kecil saja yang selamat.
Dyah Wijaya hanya dilindungi oleh pasukan berkuda dan sembilan panglimanya. Nambi dan Gajah Pagon membuka jalan di depan. Lembu Sora dan Rangga Lawe berada paling belakang, menjaga agar tidak ada musuh menyentuh punggung sang pangeran. Mereka meloloskan diri dari kejaran orang-orang Kediri dengan memasuki hutan yang rapat dan angker. Pasukan itu menyusup di antara semak belukar dalam gelapnya malam, hanya diterangi bara dari suluh. Hal itu menghambat laju pasukan, namun dapat menyamarkan keberadaan mereka.
Perlindungan oleh kegelapan malam tidak berlangsung lama. Puncak malam telah terlewati. Beberapa saat kemudian, matahari terbit dan langit menjadi terang. Pasukan itu terpaksa berhenti sejenak di mata air agar kuda-kuda mereka bisa minum dan merumput seadanya.
"Paman Sora, berapa sisa pasukan kita?" tanya Dyah Wijaya.
Lembu Sora yang telah memeriksa kondisi pasukan, langsung menjawab, "Dua ratus lima puluh, Paduka."
"Ah!" Dyah Wijaya mendesah lirih. Mereka kehilangan separuh prajurit yang berangkat ke Kulawan. Dan kini, ribuan orang Kediri tengah memburu mereka.
Raut Dyah Wijaya semakin mendung saat mengedarkan pandangan ke sekeliling. Prajurit berkuda adalah anggota pasukan elite yang kemampuannya melebihi prajurit biasa. Namun lihatlah, mereka kelelahan. Baju zirah para prajurit itu merah oleh darah, baik darah lawan maupun darah sendiri. Persediaan senjata dan makanan pun sudah lenyap.
Dyah Wijaya berusaha merekam semua wajah anak buahnya. Mungkin ini terakhir kali melihat teman-teman seperjuangan itu masih bernapas. Firasatnya mengatakan dalam beberapa waktu lagi ia akan kehilangan mereka pula.
"Kita tidak bisa berlama-lama di sini. Segera berangkatkan pasukan setelah kuda-kuda kita selesai minum."
"Siap, Paduka!" sahut Lembu Sora.
Beberapa saat kemudian, pasukan itu kembali bergerak secepat mungkin ke utara. Kali ini, mereka lebih waspada karena pasukan Kediri sewaktu-waktu bisa menemukan mereka.
Tak lama berselang, rombongan Banyak Seta berhasil menemukan lokasi Dyah Wijaya. Tahu panglima andalannya masih hidup, Dyah Wijaya meminta Banyak Seta mendekat.
"Paduka, hamba telah mengirim orang untuk meminta bantuan Arya Gala di Hujung Galuh. Kemungkinan, mereka akan tiba di daerah ini nanti malam," lapor Banyak Seta begitu kudanya menyejajari kuda Dyah Wijaya.
Dyah Wijaya mengangguk kecil. "Sayangnya, pasukan tempur di Hujung Galuh telah dikirim ke Melayu."
"Mereka pasti punya pasukan cadangan, Paduka. Mungkin seratus orang cukup untuk mengawal Paduka ke Madura."
"Dari mana kamu tahu aku akan ke Madura?"
"Salah satu rekan hamba bertemu Panji Patipati di malam istana diserang Kediri. Dia mengawal Paduka Tribhuwana, Paduka Dyah Duhita, dan Paduka Prajna Paramita ke Madura. Apakah Paduka tidak ingin menjumpai mereka?"
"Tribhuwana dan dua adiknya ... ke mana Gayatri?"
"Dari kabar yang hamba dapat, Paduka Gayatri menuju Tawangalun." Banyak Seta sengaja tidak menceritakan kisah keseluruhan agar Dyah Wijaya tidak salah paham.
Dyah Wijaya langsung panik. "Tawangalun? Mengapa dia terpisah dari kakak-kakaknya?"
"Hamba juga tidak tahu. Pada malam penyerangan itu, hamba langsung menuju Balai Manguntur tempat Baginda Raja disandera."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...