17. Mengejar Pelarian

206 43 16
                                    



Sarba dan Kambang menatap atasannya dengan hati kecut karena mengira orang di dalam rumah mengetahui keberadaan mereka. Keduanya bangkit dari posisi merunduk di tanah. Maksudnya mau segera kabur dari tempat itu. Namun, Banyak Seta menahan mereka.

Udara dini hari di pinggiran desa yang langsung berbatasan dengan hutan terasa dingin menusuk kulit. Kabut tipis telah turun, menyelimuti area di sekeliling pekarangan dan menghalangi pandangan mata orang awam. Namun, hal itu tidak menjadi kendala bagi Banyak Seta dan kedua anak buahnya. Mereka justru diuntungkan oleh kabut tersebut. Keberadaan mereka di celah sempit di antara dinding rumah dan pagar kayu pekarangan menjadi semakin tersamarkan sehingga Banyak Seta sangat yakin kehadiran mereka tidak diketahui oleh penghuni rumah.

Banyak Seta menggeleng sambil memberi isyarat dengan jari di depan mulut agar kedua anak buahnya diam tak bergerak. Sarba dan Kambang pun kembali merunduk di tanah. Ketiga orang itu kemudian menajamkan indra pendengaran untuk mendeteksi situasi yang baru saja berubah. Mereka telah berlatih mengaktifkan cakra-cakra tubuh, yaitu pusat-pusat energi gaib yang diberikan kepada setiap manusia oleh Sang Hyang Pencipta saat mereka dilahirkan. Berkat latihan yang berat, cakra tenggorokan mereka menjadi lebih bersih dan aktif sehingga panca indra mereka lebih peka dalam menerima informasi dari alam.

Bunyi pergerakan tadi jelas terdengar dari arah depan. Sekarang bahkan berubah menjadi tapak kaki yang berlari sangat cepat keluar pekarangan. Bila diperhatikan benar, bunyi itu hanya berasal dari satu orang. Banyak Seta bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah ada telik sandi lain yang tengah mengawasi tempat ini? Kalau benar, siapa yang mengirimnya? Apakah sang Raja sendiri yang memberi perintah?

Banyak Seta berdebar. Sebuah kemungkinan menyeruak dalam benak dan membuatnya resah. Jangan-jangan justru Dyah Wijaya yang mengutus mereka. Ia hampir yakin tunangan Gayatri itu menaruh curiga padanya. Bila tidak, buat apa Dyah Wijaya bersusah payah menyamar sebagai Gayatri dan menggodanya di tengah malam?

Sementara itu, di dalam rumah pun terjadi pergerakan. Terdengar sedikit kegaduhan di sana. Dari celah dinding bambu, Banyak Seta melihat lelaki di balai-balai tadi melesat ke pintu diikuti oleh kedua anak buahnya. Ketiganya berlari cepat ke halaman. Sepertinya, mereka memburu orang yang kabur tadi.

"Cepat, kita tidak boleh kehilangan jejak mereka!" bisik Banyak Seta.

Ia memberi isyarat kepada kedua anak buahnya untuk segera meninggalkan tempat persembunyian. Mereka menerobos celah pagar kayu dan tumbuhan pembatas halaman, lalu melesat ke sisi depan pekarangan. Orang yang lari dan pengejarnya sudah lenyap dari pandangan. Namun, dari sisa energi yang ditinggalkan di udara, Banyak Seta dapat memperkirakan arah kepergian mereka.

"Mereka ke sana!" ucap Banyak Seta sambil menunjuk ke ladang-ladang penduduk yang ditanami pisang, talas, dan kacang panjang. Mata tajamnya dapat melihat bayangan dedaunan yang tersibak saat orang-orang menerobosnya.

Sarba dan Kambang bergerak, ingin ikut terjun ke lautan tanaman, namun Banyak Seta kembali menahan mereka.

"Naik ke pohon!" perintahnya. Dalam sekejap, pemuda itu telah memanjat sebuah pohon durian besar yang ada di tepi ladang. Batang durian bisa tumbuh tinggi dan menjulang melampaui pohon-pohon lain. Selain itu, tumbuhan jenis ini daunnya tidak terlalu rimbun sehingga tidak membuat pandangan terhalang.

Sarba dan Kambang ikut naik. Keduanya tidak hanya lincah di darat dan air, melainkan juga andal di ketinggian seperti ini. Mereka sanggup menyusul sang tuan dengan cepat di pucuk pohon, walau dengan napas terengah.

"Itu mereka," bisik Kambang seraya menunjuk sebuah titik di ladang.

"Akan lari ke mana orang itu?" tanya Sarba.

"Kalau melihat arahnya ke utara, mungkin dia mau melarikan diri lewat Sungai Brantas," jawab Kambang. Ia mendongak untuk melihat tuannya yang berada di pucuk pohon. Ilmu meringankan tubuh Banyak Seta itu membuatnya iri. Kapan ia bisa mencapai tataran itu?

"Sebentar," ucap Banyak Seta. Ia tengah mengerahkan kemampuan pendengaran untuk menangkap bunyi nun jauh di sana. Indra batinnya yang peka menelusuri ladang. Terdengar gesekan-gesekan tubuh dengan daun-daun dan suara patahan batang tanaman. Ladang itu berakhir di jajaran rumpun bambu yang memanjang. Ia mendengar gemercik air di balik rimbunnya batang-batang bambu. Rupanya, ada parit besar di situ, bahkan mungkin sebuah anak sungai.

Banyak Seta mencermati bunyi-bunyi itu sejenak. Gerakan orang yang kabur tadi sangat tidak biasa. Setelah bermain kucing-kucingan di ladang, ia memang masuk ke rumpun bambu dan lari ke arah Sungai Brantas. Namun, mendadak orang itu turun ke parit dan menyeberanginya.

Cerdik! batin Banyak Seta. Orang itu sengaja mengaburkan jejak dengan masuk ke air. Pasti sebentar lagi dia berbalik arah.

Benar perkiraan Banyak Seta. Setelah menyeberangi anak sungai, buronan itu berbalik arah ke selatan. Bila terus berlari ke selatan, berarti orang itu menuju hutan.

"Tuan, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Sarba sambil meringkuk di atas dahan durian dan berpegangan pada batangnya.

"Kita harus mendapatkan orang yang kabur itu sebelum ditangkap penghuni rumah tadi," ucap Banyak Seta. "Aku rasa kita bisa menggali keterangan darinya."

"Menurut Tuan, dia salah satu anggota kelompok pasukan air tadi?" tanya Sarba.

"Hih, Kakang! Sudah jelas gerakannya gesit. Pasti dia bukan petani biasa, tapi prajurit terlatih! Kalaupun bukan pasukan air, paling tidak, dia telik sandi." Kambang yang menjawab sambil mencibir panjang.

Plak!

Sarba masih sempat menampar pipi adiknya walau mereka berdua berimpitan di dahan pohon. Kambang yang kesal, membalas dengan tabokan keras di pantat Sarba. Kontan, Sarba mendelik maksimal. Hanya para gadis yang boleh menabok pantatnya! Sebentar lagi, pertarungan kakak beradik akan pecah.

"Hei, cepat turun dan kejar orang itu!" Perintah tegas dari Banyak Seta menghindarkan pecahnya perang saudara.

"Baik, Tuan!" sahut Kambang dan Sarba bersamaan. Keduanya segera turun dari pohon secepat mungkin. Mereka tetap kalah cepat dari tuannya yang tidak mengerahkan tenaga saat turun. Cukup dengan melayang dari pucuk pohon, Banyak Seta sudah mendarat di tanah dalam sekejap.

Banyak Seta langsung melesat ke arah hutan, kebalikan dengan arah yang diambil para pengejar tadi. Anak buahnya kebingungan.

"Tu-tuan, kita mau ke mana?" tanya Sarba. Ia baru sampai di tanah dan bergegas menyusul Banyak Seta dengan susah payah.

Banyak Seta menunjuk ujung hutan di mana anak sungai tadi berasal. "Cepat! Kita harus menangkap dia sebelum para pengejar itu sadar telah dikecoh!"

Ketiga orang itu pun lalu menyeberangi anak sungai dan menunggu di balik rumpun perdu.

Di kejauhan, terdengar sayup-sayup seruan-seruan kemarahan para pengejar. Agaknya, mereka baru saja sadar telah terkecoh dan segera menyusul ke seberang anak sungai. Sementara itu, sesosok lelaki berlari ke arah persembunyian Banyak Seta. Langkahnya sudah terseok. Mereka juga mendengar bunyi berdebum. Kemungkinan, gelapnya malam membuat orang itu tersandung akar pohon dan jatuh.

Orang itu kesusahan untuk bangkit lagi. Sementara para mengejarnya semakin mengikis jarak. Kurang beberapa saat lagi, bila orang itu tidak segera kabur, ia pasti tertangkap.

Banyak Seta memberi isyarat pada Sarba dan Kambang untuk bergerak. Pelarian itu berhasil bangkit dan kembali berlari lagi. Namun, sosoknya telah tertangkap mata para pemburu. Salah satu dari mereka mencabut belati. Dengan gerakan secepat kilat, senjata kecil itu dilemparkan ke arah buronan.

Belati melayang membelah udara malam. Ujungnya tepat mengarah pada punggung sang buronan. Bilahnya memantulkan cahaya putih dari sinar rembulan yang hanya separuh bulatan. Kilau putih kebiruan itu seperti pesan dari alam kematian. Kurang beberapa jari lagi, senjata itu akan menembus paru-paru pelarian.

Jlep!

Terdengar suara bilah besi yang menancap di suatu benda.

= Bersambung =

Komen, please ....

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang