Segera setelah titah Raja Kertanagara turun, istana Singasari diliputi ketegangan. Markas pasukan elite Dyah Wijaya hiruk pikuk oleh kesibukan mempersiapkan pertempuran besar. Perbekalan pasukan dan senjata dinaikkan ke gerobak dan kuda beban. Kuda-kuda perang diperlengkapi dengan pelana kulit yang ringan namun kuat untuk menampung senjata seperti golok, perisai, dan anak panah. Umbul-umbul dikibarkan. Lambang pasukan tempur Singasari yang berbentuk singa itu terasa garang sehingga memberikan kekuatan magis bagi pasukan yang akan berlaga. Pagi buta hari berikutnya, para prajurit yang telah menggenggam tombak, perisai, keris atau golok, berjajar di halaman markas prajurit dan alun-alun, siap menunggu perintah untuk berangkat.
Sementara itu, Dyah Wijaya baru saja menyelesaikan sembahyang di tempat pemujaan yang terletak di sisi timur istana kediamannya. Keberangkatannya untuk bertempur kali ini terasa berbeda. Ia yang selalu optimis, entah mengapa, diliputi perasaan gundah yang aneh. Seolah yang ada di depan mata hanya kabut gelap. Bahkan saat bersujud di hadapan para dewata tadi, ia mendapat penglihatan awan hitam menyelimuti istana dan seluruh keluarganya. Tangannya sampai gemetar saat menghaturkan sembah. Firasat apakah ini?
Dyah Wijaya masuk ke ruang pribadinya di istana. Di tempat itu, Tribhuwana, Dyah Duhita, dan Prajna Paramita bersimpuh menunggu di sisi ruang. Para abdi telah mempersiapkan pakaian khusus untuk bertempur dan sekarang benda-benda itu berada di nampan-nampan perak yang berjajar di sisi lain. Aroma dupa memenuhi ruangan. Ketiga putri Kertanagara membakarnya untuk mendoakan keselamatan junjungan mereka.
Tribhuwana berusaha tegar walau semalam ia tidak bisa membendung tangis. Saat ini pun matanya masih tampak sembap. Sama halnya dengan Dyah Duhita yang saat ini justru terus terisak. Hanya Prajna Paramita yang masih bisa duduk tenang. Begitu melihat sang pangeran memasuki ruang, kedua istrinya segera bangkit dari untuk membantu lelaki itu berganti busana.
"Ah, Dinda Tribhuwana, Dinda Duhita! Apa yang terjadi pada mata kalian pagi ini?" sapa Wijaya dengan ekspresi riangnya yang teduh.
Kedua istri setia yang semula hendak melepas perhiasan emas di tubuh Wijaya menghentikan gerakan dan langsung menghaturkan sembah. Wijaya tahu isi hati mereka dan tidak ingin membuat mereka semakin risau.
"Sudah dari semalam mata itu melelehkan air. Apa kalian tidak kasihan padanya? Bagaimana kalau nanti kering? Kemakmuran Singasari juga akan ikut mengering." Candaan Wijaya kembali berhasil membuahkan senyum di bibir bulat Tribhuwana.
"Maafkan Dinda yang berhati lemah ini. Saya tidak akan membebani Kanda dengan air mata lagi," ucap Tribhuwana setelah mengeringkan matanya dengan kedua tangan.
"Nah, Dinda cantik sekali bila tersenyum. Kamu juga, Dinda Duhita. Sekarang, tolong persiapkan busanaku," titah Wijaya.
Sekilas, Wijaya mengerling ke sisi ruang. Di sana hanya ada Prajna Paramita. Gadis berwajah ayu dengan mata berkilat yang selalu menggelitik rasa penasarannya tidak ikut hadir bersama ketiga kakaknya.
Tribhuwana dan Dyah Duhita melepas satu persatu perhiasan emas dari dada, lengan, dan pinggang Dyah Wijaya, kemudian menggantinya dengan kalung dan gelang yang lebih sederhana agar tidak menghalangi pergerakan sang pangeran saat bertempur. Upawita dari rantai emas diganti dengan pita kain bersulam sulur-suluran dengan bandul umbai benang emas. Ringan, namun tetap menunjukkan tingkat kebangsawanan lelaki itu. Ikat pinggang dari kulit berwarna cokelat gelap kemudian dipasang. Ikat pinggang itu memiliki kantong tempat menyimpan benda-benda kecil, serta kait-kait untuk menggantung berbagai alat dan senjata yang akan memudahkan sang pangeran dalam memimpin pasukan.
Setelah semua siap, seorang abdi membawa nampan perak berlapis kain sutra kuning. Di atasnya terletak keris pusaka Dyah Wijaya. Senjata itu sangat indah. Sarungnya dari kayu cendana yang harum dan dilapisi emas. Ukiran di lapisan emas itu berbentuk garuda yang diiringi cakra berupa pusaran api. Tangkai keris terbuat dari besi berlapis emas dan berhias permata merah delima. Namun yang paling mencengangkan adalah energi yang dibawa oleh keris itu. Sosok keris benar-benar menggambarkan kewibawaan Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan penyeimbang alam semesta. [1]
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...