Pasukan Kediri yang dipimpin oleh Kebo Mundarang, Pudot, dan Bowong bergerak diam-diam ke utara, menuju ibukota Singasari. Agar tidak menarik perhatian, mereka bersembunyi di hutan-hutan sekitar ibukota dan di desa-desa kecil di sekitarnya. Sudah bertahun-tahun lamanya Kediri menyiapkan puluhan desa di sepanjang jalur selatan untuk menjadi sekutu dalam melawan Raja Kertanagara. Petani-petani sederhana itu menyediakan tempat transit, gudang senjata, serta pasokan makanan bagi pasukan ketika serangan besar berlangsung.
Ribuan prajurit terlatih mengendap di kegelapan malam. Mereka bergerak tanpa suara, tanpa tabuh-tabuhan yang biasa mengiringi pasukan tempur, bahkan umbul-umbul dan selembar bendera pun tidak. Pasukan besar itu seperti kabut neraka yang merayap diam-diam. Di dekat gerbang selatan ibukota, mereka membagi diri. Sebagian tinggal di selatan, sedangkan yang lain menuju sisi timur, barat, dan utara. Dalam waktu tidak terlalu lama, ibukota telah dikepung oleh orang-orang Kediri. Mereka tinggal menunggu aba-aba untuk menyerbu.
Tepat tengah malam, Kebo Mundarang mengamati ibukota dari puncak bukit di dekat gerbang selatan. Di sisinya, berdiri Pudot dan Bowong. Seorang prajurit telik sandi berlari dari kaki bukit menuju ke tempat mereka.
"Lapor, Paduka Patih," ucap lelaki itu setelah berlutut dan menghaturkan sembah. "Semua pasukan telah siap di tempat mereka masing-masing dan menunggu perintah Paduka."
Kebo Mundarang yang malam ini terlihat semakin angker karena sosok kekarnya hanya diterangi obor kecil, menyahut dengan berdeham lirih.
"Bagaimana penduduk desa?"
"Penduduk desa di sekitar kutaraja juga telah siap untuk menghancurkan semua arca dan tempat pemujaan," lanjut prajurit itu lagi.
"Baiklah. Pastikan mereka menghancurkan semua pelindung gaib Kertanagara," titah Kebo Mundarang.
"Hamba laksanakan!" Prajurit itu memberi sembah, lalu melesat menuruni bukit untuk bergabung dengan pasukannya.
Kebo Mundarang sejenak menengadah, memandang langit yang kelam. Mendung tebal menggayut dan udara menjadi berat dan dingin. Ia dapat mencium aroma kematian dari embusan angin yang menerobos pekatnya malam. Alam seolah memberikan restu untuk misi besar mereka.
Kebo Mundarang berpaling ke Bowong. "Tembakkan panah api!"
"Siap!" Bowong segera memberi kode kepada bawahannya. Dalam beberapa tarikan napas, sebuah panah menyala membelah langit Singasari yang gelap pekat. Perintah untuk menyerbu telah diluncurkan. Segenap pasukan Kediri melihat tanda itu dan segera bergerak.
Dari tempatnya berdiri, Kebo Mundarang menyaksikan lautan obor yang dinyalakan oleh ribuan prajurit yang telah mengepung ibukota. Bersamaan dengan itu, terdengar gemuruh pekikan perang dari empat penjuru mata angin.
Senyum terulas di bibir Patih Kediri tersebut saat api mulai berkobar, membakar pemukiman di dekat gerbang kota. Pasukannya berhasil masuk ke kutaraja dan mulai membumihanguskan isinya. Teriakan para prajurit segera bercampur dengan jerit tangis perempuan dan anak-anak. Pemukiman damai berubah menjadi arena pembantaian. Ibukota Singasari pun menjadi lautan api dalam sekejap.
Kegaduhan luar biasa itu terdengar sampai di penjara. Banyak Seta mengakhiri semadinya. Saat membuka mata, ia melihat langit yang semula gelap pekat, kini menjadi terang karena kobaran api yang melalap perumahan penduduk.
"Apa itu, Tuan?" Sarba beringsut ke jeruji besi sambil menengadah ke langit.
Wiskira, Kambang, dan tawanan dari Bakula Pura ikut mendekat ke depan sel. Wajah mereka seketika memucat.
"Orang Kediri!" seru Wiskira. "Mereka datang secepat ini!"
"Mengapa istana terlihat tenang-tenang saja?" Kambang rupanya melihat gelagat mencurigakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...