27. Bantuan yang Ditolak

170 52 24
                                    

Setelah kepergian Gajah Pagon, penjara kembali lengang. Banyak Seta duduk bersandar jeruji sambil mengatur napas dan mengumpulkan kekuatan. Kepalanya masih sangat pening sehingga butuh waktu untuk pulih. Sementara itu, dua orang pemuda duduk sisi lain sel sambil mengamati Banyak Seta. Keduanya terlihat lemas.

"Tuan!" panggil Sarba. Ada memar dan bekas darah di sekujur tubuhnya. Dengan menahan nyeri, ia beringsut mendekati tuannya.

Banyak Seta menoleh dan menemukan kedua anak buahnya babak belur. Mata kiri Kambang bahkan tidak bisa dibuka dan membiru. Kedua tangan mereka terikat di belakang tubuh.

"Kalian juga di sini?"

"Kami ditangkap, lalu ditanyai sambil disiksa, Tuan," lapor Kambang dengan suara serak. Ia terlalu lemas untuk mendekat sehingga tetap bersandar di sudut gelap.

"Kalian sudah bicara apa saja?"

"Semua yang kita ketahui selama penyelidikan. Apakah kami membuat kesalahan?"

Banyak Seta menggeleng. "Tidak. Tindakan kalian sudah benar. Kita memang harus melaporkan temuan itu. Siapa saja yang menanyai kalian?"

"Tuan Gajah Pagon dan Tuan Nambi," sahut Sarba.

Banyak Seta mendekatkan mulut ke Sarba dan berbisik, "Bagaimana tindak-tanduk Raka Nambi? Kalian melihat gelagat mencurigakan?"

Sarba menggeleng. "Entahlah, Tuan. Kami dipukuli habis-habisan seperti pencuri kambing sehingga tidak sempat mengamati Tuan Nambi."

Banyak Seta tidak menyalahkan kedua abdi itu. Mereka pasti bingung dan ketakutan menghadapi para panglima yang terkenal sakti.

"Sarba, Kambang. Tahanlah sedikit lagi. Aku pasti mengeluarkan kalian dari sini."

Sarba menggeleng. Di matanya yang terlihat lelah sebuah api semangat memercik dengan jelas. "Tidak, Tuan. Kami akan selalu berada di sisi Tuan sampai ajal menjemput!"

"Tidak, jangan begitu! Aku membebaskan kalian. Aku mungkin tidak bisa melindungi kalian lagi," ucap Banyak Seta dengan suara serak.

"Tidak, Tuan! Kami akan tetap bersama Tuan Seta!" Kali ini Kambang-lah yang menyahut nyaring dengan suara paraunya. "Karena kami tahu Tuan melakukan semua ini demi Singasari."

Banyak Seta terharu. Di tengah kekacauan dan pengkhianatan, ucapan Sarba dan Kambang layaknya intan. Prajurit sederhana ini telah menunjukkan bagaimana harus setia walau keadaan tidak berpihak padanya.

☆☆☆

Malam telah lama turun. Ketiga tawanan hanya diberi potongan talas bakar dan air minum. Walau tidak membuat kenyang, namun cukup untuk menambah tenaga. Langit diselimuti awan dan menjadi gelap gulita tanpa bintang. Hujan gerimis membuat udara semakin dingin. Beberapa obor mati karena guyuran hujan dan tiupan angin sehingga suasana semakin mencekam. Dahan-dahan pohon beringin berayun perlahan, seperti raksasa hitam yang mengincar mangsa. Bila prajurit di sudut penjara tidak ramai bermain dadu, pasti situasi tempat ini tak kalah menyeramkan dari kompleks pekuburan.

Di tengah kelamnya malam, sebuah bayangan meloncat dengan gesit ke bubungan, lalu merayap perlahan di atap. Sebuah tongkat panjang berada di tangannya. Gerakannya sangat halus dan senyap, nyaris seperti embusan angin sepoi-sepoi.

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang