Banjir air mata kembali melanda Gayatri saat melepas Banyak Seta di pelabuhan Sumenep. Ia sudah diberi tahu Dyah Wijaya bahwa Banyak Seta akan ditugaskan berkeliling dwipantara. Itu berarti ia akan lama, lama, lama sekali tidak melihat sosok tegap yang selalu serius itu. Saking tidak relanya, Gayatri bahkan terus berdiri di bibir pantai, menunggu hingga kelulus yang membawa Banyak Seta menghilang di cakrawala. Ia bisa berbuat sesuka hati sekarang karena tidak ada emban yang mengatur tindak tanduknya.
Hari-hari Gayatri selanjutnya diisi oleh kesibukan para wanita pada umumnya, memasak, membatik, dan merawat diri. Ia jauh lebih pendiam dan tidak banyak bertingkah karena tahu mereka hanya menumpang di kediaman Arya Wiraraja. Selain itu, masih ada satu perkara yang harus dihadapi, yaitu Sandyasa Lebu yang rusak.
Setelah galau selama satu minggu penuh, Gayatri akhirnya membulatkan tekad untuk memberi tahu Dyah Wijaya tentang Sandyasa Lebu yang rusak. Ia mencari waktu yang tepat untuk menyampaikan kabar buruk itu. Sore itu, ia sengaja memasak bubur ketan dan gula merah kesukaan Dyah Wijaya, serta membuat minuman madu, kunyit, asam, dan kayu manis. Semuanya untuk bekal menghadap sang pangeran.
Dyah Wijaya sendiri tidak membiarkan waktu berlalu tanpa berusaha bertemu banyak orang demi menggalang dukungan. Kadang ia bahkan pergi sampai tinggi malam. Tubuhnya banyak menyusut. Namun, bara semangat tak pernah redup dari wajahnya.
Kegigihan Dyah Wijaya itulah yang membuat Gayatri terenyuh. Walau terimpit kemalangan, sang pangeran selalu melempar senyum setiap kali menyadari kehadirannya. Sorot matanya teduh seperti biasa, seolah berkata bahwa segalanya akan baik-baik saja. Tak jarang saat mereka sempat berbincang, tunangannya itu masih membuat candaan murah yang dulu dibencinya. Kini, saat mereka menderita, ia mulai sadar bahwa candaan murah itu adalah bentuk kasih sayang Dyah Wijaya yang tidak ingin ia terlalu keras pada diri sendiri.
Dengan membawa nampan berisi satu cawan bubur ketan dan satu cangkir jamu kunyit asam, Gayatri menemui Dyah Wijaya di wismanya. Lelaki itu tengah duduk di balai-balai, menghadap meja pendek. Lembaran-lembaran dluwang berisi catatan berserakan di atas meja. Salah satunya sedang dibaca dengan serius.
"Selamat sore, Kanda," sapa Gayatri. Sengaja ia memakai selendang dan kain terbaik, membubuhi wajah dengan bedak, serta menabur bubuk bunga mawar di tubuh agar penampilannya sempurna.
Dyah Wiyaja mendongak. Ia gembira mendapat kunjungan Gayatri. Cepat-cepat digerakkannya tangan untuk meminta gadis itu masuk. "Ayo, Dinda, duduklah di sisiku."
Gayatri meletakkan nampan di balai-balai, lalu bersimpuh di hadapan Dyah Wijaya. Diletakkannya cawan bubur dan cangkir jamu di atas meja. "Silakan, Kanda."
"Dinda, dari mana saja? Mengapa tanganmu kuning?" tanya Dyah Wijaya
"Saya membantu di dapur, Paduka. Warna kuning ini saya dapat saat mengupas kunyit."
"Wah, Dinda. Lama-kelamaan, aku tidak bisa membedakan antara selendang dan tanganmu karena sama-sama kuning menyala."
Gayatri tidak protes dan hal itu malah membuat Dyah Wijaya keheranan. "Mengapa cuma tersenyum? Biasanya Dinda mengomel agar aku berpikir sungguh-sungguh."
"Saya tidak mungkin memarahi Kanda untuk hal-hal yang tidak penting," sahut Gayatri kalem. "Maafkan saya yang selama ini selalu membantah Kanda."
"Oh, apakah terjadi sesuatu padamu? Benarkah ini tanda-tanda Dinda semakin dewasa?"
"Benar, Kanda. Karena itu, Kanda tidak perlu selalu menghibur saya."
"Ah, padahal menggodamu itu sangat menyenangkan, Dinda. Aku harus bagaimana supaya Dinda senang?"
Gayatri melempar tatapan yang dalam dan lembut. "Bagilah kesedihan dan beban Kanda pada saya. Saya ingin membantu Kanda sepenuhnya dalam hal apa pun," ucapnya lirih, namun tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...