Keesokan hari, Banyak Seta membawa jenazah Kuwuk yang telah dibersihkan ke sebuah makam yang berada di lereng Gunung Arjuna. Hanya Banyak Seta, Wingsil, dan Weling yang mengantarkan jenazah Kuwuk ke tempat terakhirnya. Kompleks makam itu berupa sebuah area di tengah hutan yang pohon-pohonnya besar.
Pada zaman ini, jasad orang meninggal dari kalangan rakyat jelata tidak dikuburkan atau dibakar. Ada yang dibuang ke sungai atau laut, namun sebagian lagi ditinggalkan di ceruk pohon besar di tengah hutan keramat, lapangan kosong, atau gua-gua. Anjing dan binatang pemakan bangkai akan menuntaskan tugas mengembalikan raga orang mati ke bumi. Beberapa hari kemudian, keluarga akan memeriksa kembali jasad itu. Bila dagingnya habis, berarti pertanda baik. Bila tidak habis, keluarga akan mengambil sisa tulang belulang lalu membuangnya ke sungai atau laut[1].
Bukit kecil tempat meletakkan jenazah ini gelap dan udaranya terasa berat. Angin dingin berembus perlahan mengelus kulit, seperti membawa hawa menusuk dari alam bawah. Segera saja, bulu roma ketiga orang itu berdiri. Kuda-kuda mereka bahkan membuat aksi mogok, tidak mau memasuki area angker itu. Mereka terpaksa meninggalkannya di kaki bukit.
Kesan angker tempat pemakaman ini bukan hanya karena keberadaan arwah orang mati. Konon, para penganut Bhairawa Tantra aliran kiri kerap mengadakan ritual rahasia di tempat ini. Mereka bisa bersemadi di depan jenazah. Bahkan kabarnya, ada upacara untuk menghidupkan orang mati. Banyak Seta sendiri tidak pernah berjumpa dengan penganut aliran rahasia itu. Namun dua abad yang lalu, seseorang di Desa Girah dikabarkan pernah melakukannya[2].
Ada aroma tak sedap memenuhi udara karena tak jauh dari situ terdapat jasad yang belum lama ditinggalkan. Terlihat anjing hutan tengah menyantapnya. Namun, binatang-binatang itu kabur manakala tahu ada manusia memasuki area itu.
Jasad Kuwuk yang telah dibungkus rapi dengan tikar diletakkan di kaki sebuah pohon beringin besar. Mereka meletakkan sesaji bunga-bunga, makanan, serta dupa, lalu bersembahyang untuk kedamaian jiwa Kuwuk.
Pikiran Banyak Seta terus berkecamuk sejak kemarin. Ia jelas berduka kehilangan teman masa kecil yang sudah seperti saudara. Namun, kabar yang dibawa Kuwuk dan nasib malang yang dialaminya lebih membuatnya prihatin.
"Siapa saja yang tahu tentang barang bawaan Kuwuk?" tanya Banyak Seta saat mereka bersiap meninggalkan area hutan.
"Tidak ada. Hanya kita bertiga," jawab Weling. Tabib itu masih kerabat Banyak Seta dan sama-sama berasal dari Hujung Galuh. Ia pandai meramu jamu dan mempunyai ilmu yang cukup tinggi. "Seta, perasaanku tidak enak sejak semalam."
Banyak Seta mengangguk. "Saya juga merasa begitu. Sebaiknya, Paman dan Wingsil pergi ke tempat aman sementara saya menyelidiki kasus ini."
Weling setuju. "Apa tidak lebih baik bila aku dan Wingsil pergi ke Matahun untuk mencari tahu keberadaan ayahmu?"
Banyak Seta menggeleng. "Itu namanya mencari bahaya, Paman, bukan bersembunyi."
Weling menepuk bahu Seta. "Sejak kapan aku sudi bersembunyi?"
"Kalau begitu, sebaiknya Paman mampir di Pawitra, bertemu Guru," usul Seta.
Guru yang ia maksud adalah Mpu Nadajna, pemimpin kadewaguruan[3] di lereng Gunung Penanggungan[4], tempat ia pertama kali belajar menjadi abdi negara di usia delapan tahun. Kadewaguruan Mpu Nadajna juga menjadi tempat putra-putra bangsawan belajar. Banyak Seta bahkan digembleng bersama Dyah Wijaya. Bisa dikatakan, ia tumbuh bersama sang Pangeran. Karena itu, tidak heran bila di kemudian hari ia diangkat menjadi pasukan elite Dyah Wijaya dan bergabung bersama prajurit-prajurit setia lain seperti Lembu Sora, Rangga Lawe, Nambi, Gajah Pagon, Dangdi, Banyak Kapok, dan Pedang[5]. Ia juga menjadi salah satu dari empat panglima yang berasal dari daerah Jenggala selain Mahisa Pawagal, Pamandan, dan Wiragati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...