49. Pembelotan

220 45 35
                                    

Rabut Carat.

Dyah Wijaya beserta Lembu Sora, Nambi, dan Rangga Lawe menghela kuda melewati bekas-bekas pertempuran yang melelahkan di Hutan Carat. Sambil bergerak perlahan, Dyah Wijaya dan ketiga panglima tertinggi itu memperhitungkan kekuatan pasukan yang tersisa. Di depan, di antara pepohonan dan semak belukar, pasukan Singasari yang selamat tengah berbenah diri di bawah pengawasan para panglima. Hutan itu kini dipenuhi mayat dan prajurit yang terluka, baik dari pasukan Dyah Wijaya, maupun musuh. Beruntung para dewa masih berpihak pada mereka. Keadaan sudah aman setelah musuh melarikan diri.

"Musuh di tempat ini lebih kuat dari sebelumnya," ucap Dyah Wijaya, setengah bergumam, seperti sedang berbicara dengan diri sendiri. Ditepisnya debu-debu yang mengotori baju zirah perunggunya, lalu memperbaiki posisi keris yang diselipkan di pinggang belakang. Sepanjang pertempuran ini, keris berlambang garuda dan cakra api itu belum mencabut nyawa seseorang. Para panglimanya masih sanggup mengatasi gempuran musuh tanpa melibatkan dirinya.

"Hamba sudah mengalami banyak pertempuran, tapi baru kali ini hamba menghadapi musuh yang gelagatnya sangat aneh," sahut Lembu Sora. Panglima gagah yang berasal dari Blambangan itu sudah merasakan keganjilan sejak mereka pertama kali bertemu musuh di Kedung Peluk.

"Pertama, mereka tidak membawa umbul-umbul atau lambang daerah mana pun, tapi memakai seragam serba hitam," lanjut Lembu Sora. "Terus terang, hamba mulai sangsi, Paduka. Apakah benar mereka adalah tentara bayaran Mongol?"

"Saya juga merasa demikian, Paduka. Dari gaya bertempurnya, mereka lebih mirip pasukan dari Kediri dan wilayah barat," imbuh Rangga Lawe, kerabat dekat Bupati Sumenep Arya Wiraraja, sekaligus keponakan Lembu Sora. Rangga Lawe adalah andalan Dyah Wijaya untuk menjaga wilayah Kambang Putih, pantai timur, hingga Madura.[1]

"Hamba menduga, mereka menyembunyikan kekuatan yang lebih besar di utara," ucap Nambi. Ia adalah andalan Dyah Wijaya dalam hal strategi perang. "Paduka melihat sendiri, setelah dari Kedung Peluk, mereka lari ke Lembah, lalu Batang. Ternyata di Batang, mereka tidak menghadapi kita dan langsung kabur. Kita seperti dipancing untuk masuk ke Kepulungan."

"Pasukan yang menghadapi kita di Kepulungan juga seperti bukan pasukan inti," ucap Dyah Wijaya.

"Benar, Paduka. Mereka memancing kita untuk terus ke utara," sahut Nambi.

"Kamu yakin?" tanya Dyah Wijaya. Semakin lama mengikuti jalannya pertempuran, pikirannya selalu kembali pada peta yang disita dari Banyak Seta dan Wiskira. Bila peta itu benar ... ah! Dyah Wijaya ngeri membayangkan akibatnya.

"Sangat yakin, Paduka," sahut Nambi.

Dyah Wijaya mengangguk. Entah mengapa, pola pikir Nambi selalu sejalan dengan dirinya. "Kalau begitu, kita harus secepatnya menyelesaikan pertempuran di sini, lalu kembali ke ibukota."

Gajah Pagon, Mahisa Pawagal, dan Pamandan datang dari memeriksa pasukan. Kuda-kuda mereka dengan gagah menderap melewati semak belukar, lalu berhenti di dekat Dyah Wijaya. Mereka melaporkan kondisi pasukan dan hal itu membuat wajah Dyah Wijaya semakin muram.

Firasat akan adanya hal yang tidak beres sangat terasa saat mereka memenangkan pertempuran di Kepulungan[2], lalu bermalam di sana. Alam seolah diam. Bahkan udara malam pun terasa berat dan pengap. Biasanya, hal seperti ini adalah tanda terjadinya tragedi mahadahsyat.

Benar saja. Ketika keesokan hari mereka mendekati wilayah Rabut Carat[3], musuh dalam jumlah besar menyerang. Kali ini, terjadi pertempuran sengit. Banyak jatuh korban di antara kedua belah pihak. Namun akhirnya, Dyah Wijaya memenangkan pertempuran itu. Musuh memilih mundur dan melarikan diri ke seberang Sungai Porong.

"Kurang ajar!" geram Lembu Sora setelah mendengar laporan tentang kondisi pasukan. "Korban meninggal banyak dari pihak kita."

Mendengar ucapan Lembu Sora, para panglima itu serempak merapat.

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang