12. Terlena Sejenak

279 50 30
                                    

Ruang tengah kediaman Banyak Seta mendadak terasa sesak. Aroma ikan panggang tersapu oleh keharuman yang memancar dari sosok Gayatri. Banyak Seta tidak asing dengan bau khas bubuk cendana yang kini memenuhi udara. Para bangsawan kerabat raja biasa menggunakan bubuk itu sebagai pengharum tubuh. Namun entah mengapa, kali ini ia malah merinding dibuatnya.

Banyak Seta tertegun saat Gayatri menjulurkan kaki mulus jenjang yang berjari indah nan lentik. Tak dapat dimungkiri, tangannya ingin bergerak menyambutnya, lalu mengusapnya dengan ujung jari. Ia lelaki muda yang sehat. Darahnya dengan mudah bergolak bila disajikan pemandangan eksotis. Dunia mendadak berhenti berputar.

Tangan Banyak Seta benar-benar menyambut kaki Gayatri yang sekarang tampak kemilau, seperti kaki bidadari. Saat jemarinya menyentuh kulit halus itu, seluruh tubuhnya menjadi ringan dan tanpa sadar ia terdorong untuk mendekat.

Gayatri ... oh Gayatri ....

Perlahan tapi pasti, tangan Banyak Seta bergerak lembut menyusuri ujung jari kaki Gayatri dengan hati memuja keindahan buah karya dewata. Jemarinya memutar ke belakang, mengelus pergelangan tangan, lalu bergerak ke atas.

Oh, Gayatri ....

Srek!

Keris Banyak Seta yang tergeletak di samping pemuda itu mendadak keluar sendiri dari sarungnya. Suara gesekan yang ditimbulkannya lirih, namun cukup untuk mencabut kesadaran Banyak Seta dari alam khayalan dan mengembalikannya ke kenyataan.

"Ah, Pa-paduka?"

Banyak Seta tergagap dan segera memandang wajah Gayatri dengan kebingungan. Untunglah, kejadian tadi hanya muncul dalam khayalan. Ia masih duduk bersila di tempat semula. Namun, jantungnya menderap seperti kuda gila sehingga ia hanya bisa bungkam dan mematung untuk beberapa saat.

Apa yang baru saja terjadi? Apa aku mulai tidak waras?

"Kanda Seta!" panggil Gayatri tiba-tiba. "Kenapa diam saja?" Gayatri protes lebih kencang karena tidak mendapat balasan yang diharapkan.

Duh, Paduka! Kalau begini, hamba sebentar lagi gila!

Banyak Seta menautkan kedua tangan di atas pangkuan erat-erat, agar bila otaknya mulai mengacau lagi, tangan itu tidak merambah ke mana-mana. Ia juga kembali menunduk dalam-dalam sehingga pandangannya terkunci hanya di perut sendiri.

"Ampun, Paduka. Jangan biarkan hamba melakukannya karena sungguh tidak pantas. Lebih baik hamba panggilkan kedua abdi Paduka," elak Banyak Seta.

"Kanda juga abdi kerajaan. Lagipula, saya sudah bersusah payah mempertaruhkan harga diri untuk mengunjungi Kanda. Inikah balasannya?" rajuk Gayatri lagi.

Suara manja Gayatri kembali menggetarkan kisi-kisi kalbu Banyak Seta. Ia semakin merasa serba salah saja. Demi berjaga-jaga agar khayalan seperti tadi tidak menjadi kenyataan, Banyak Seta segera bersujud sambil mengulurkan tangan ke depan.

"Silakan Paduka potong tangan hamba daripada hamba harus menodai Paduka dengan tangan kotor ini," ucapnya.

Gayatri mencibir, kesal karena ditolak mentah-mentah. "Haruskah saya membelah dada Kanda juga karena telah memelukku tempo hari?"

"Ampun, Paduka. Waktu itu hamba hanya mencegah supaya Paduka tidak jatuh setelah bertabrakan. Namun apabila tindakan hamba itu salah, hamba rela mendapat hukuman apa pun," jawab Banyak Seta sambil tetap bersujud.

"Ah, sudahlah! Duduklah dengan baik, Kanda, jangan bersujud terus," ucap Gayatri. Ia kemudian memanggil kedua pengawal yang berjaga di luar untuk mencuci kakinya.

"Kanda Seta kenapa pergi tanpa pamit?" tanya Gayatri sambil memperhatikan kedua abdinya bekerja.

Banyak Seta telah kembali duduk bersila, namun masih tidak berani menatap wajah junjungannya. "Paduka, hamba bertugas sebagai tugas telik sandi. Hamba tidak boleh membocorkan kepergian ini."

"Ah, jangan terlalu kaku. Kenyataannya tugas Kanda tidak terlalu rahasia. Buktinya saya tahu Kanda Seta akan berangkat," kilah Gayatri sambil mengamati perubahan mimik wajah Banyak Seta.

"Duh, justru hal itu semakin membuat hamba prihatin. Dari mana Paduka Putri mengetahui berita ini?"

Senyum Gayatri terkembang lebar. "Semua dinding istana memiliki telinga, Kanda!"

Banyak Seta kontan tegang. "Duh, Paduka. Itu berarti kepergian hamba telah bocor."

Gayatri berkedip penuh arti. "Bisa jadi. Kalau begitu, Kanda jangan pergi."

Kali ini, Banyak Seta terpaksa mendongak untuk mengetahui arah pembicaraan mereka. "Kalau berkenan, tolong beri tahu hamba dari mana Paduka mendengar rencana ini?"

"Saya mendengarnya dengan telinga saya sendiri, Kanda. Saya bersembunyi di kediaman Kanda Wijaya saat beliau sedang berjumpa dengan Panglima Nambi dan Gajah Pagon."

Jawaban itu membuat Banyak Seta kaget karena terlalu sulit untuk dipercaya. "Ah? Untuk apa Paduka bersembunyi di sana?"

Wajah Gayatri memerah. "Saya pergi ke tempat Kanda Wijaya diam-diam untuk membicarakan pertunangan kami."

Keterangan itu semakin membuat Banyak Seta mengernyit. Walau demikian, ia tetap diam mendengarkan.

"Ah, sudahlah. Saya harus segera kembali ke istana dan Kanda harus segera berangkat," ucap Gayatri kemudian. "Saya datang kemari hanya untuk melihatmu sebelum pergi. Kepergian Kanda pasti akan lama dan saya khawatir tidak bisa melihat wajah Kanda lagi."

"Ampun Paduka. Janganlah menyimpan pikiran buruk. Sebagai prajurit, hidup dan mati hamba adalah untuk Singasari. Karena itu, akan menjadi kehormatan bagi hamba bila gugur dalam tugas," jawab Banyak Seta.

"Jangan gugur, Kanda!" pinta Gayatri lirih dan dalam. "Saya membawakan bekal dendeng daging rusa paling gurih dari dapur istana khusus untuk menemani Kanda bertugas. Karena itu, berjanjilah untuk tetap hidup."

Kata-kata Gayatri bagai embun pagi yang menyejukkan. Banyak Seta langsung berlinang air mata. Jujur, tugas kali ini teramat berat dan berbahaya. Ia tidak tahu apakah bisa menuntaskan tanggung jawabnya dengan baik. Atau malah sebaliknya, perjalanan kali ini akan menjadi perjalanan dinas terakhirnya.

"Terima kasih, Paduka. Hamba akan menyantap pemberian Paduka setiap hari sampai habis."

"Bagus! Hati-hati di jalan, Kanda." Gayatri bangkit dari duduknya, hendak melangkah ke pintu depan.

Banyak Seta ikut bangkit. "Hamba mohon, janganlah Paduka mengunjungi gubuk hamba lagi. Hamba khawatir kepergian Paduka akan mendatangkan kemarahan Baginda Raja bila tersiar kabar tunangan Paduka Wijaya mengunjungi hamba."

Gayatri menggeleng. Sambil memasang kembali caping dan kain penutup bahu, ia tersenyum kepada Banyak Seta. "Jangan khawatir soal itu. Saya sudah mendapat izin Kanda Wijaya."

"Ah?" Banyak Seta kaget mendengarnya.

"Iya, Kanda Seta. Kanda Wijaya sendiri yang menyetujui pertemuan ini," ucap Gayatri sambil melangkah keluar.

Tentu saja, informasi baru ini membuat Banyak Seta semakin bingung sekaligus cemas. Sambil termangu menyaksikan tiga sosok wanita itu menghilang di balik pintu gapura, pikirannya terus berkecamuk.

Paduka, mengapa menguji hamba sedemikian rupa? Sampai mati pun hamba tidak akan mengkhianati Paduka.


=Bersambung=


Vomen, please ....

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang