68. Runi - End Chapter

586 60 83
                                    


Setelah menyusuri jalanan desa yang berpasir, rombongan Banyak Seta sampai di rumah. Kelima orang itu segera membersihkan diri. Setelah berganti kain tapih dan mengikat rambut, Banyak Seta naik ke pendopo yang terletak di tengah pekarangan sambil menunggu makanan disajikan. Hanya ia sendiri di tempat itu. Sarba dan Kambang sibuk di dapur, mengolah dendeng rusa kesukaan mereka bersama Dhawuk dan Wuru. Halaman di sekeliling pendopo itu masih dihiasi tanaman hias sehingga tampak asri dan sejuk. Ia menyandarkan diri ke salah satu tiang, sambil mengenang masa kecilnya.

Rumah masa kecil Banyak Seta tetap terjaga baik karena ada Dhawuk. Walau sederhana, di dalamnya terdapat banyak bangunan atau wisma selain rumah utama yang ditempati Wiskira dan Banyak Seta. Pagar kelilingnya terbuat dari bata merah dan memiliki gapura yang dihiasi ukiran dari batu hitam. Wiskira menampung sebagian pekerja jung di tempat itu sehingga rumahnya selalu 'hidup'. Walau kehilangan ibu sejak kecil, ia tidak merasa kesepian. Sekarang, rumah ini terasa lengang tanpa jiwa karena ditinggalkan Wiskira. Sang ayah adalah panutan Banyak Seta. Lelaki itu cerdas dan ulet sehingga dihormati oleh penduduk sekitar. Berkat dorongan Wiskira pula pemuda-pemuda desa belajar membuat jung agar mendapat penghidupan yang lebih baik. Tidak heran bila tanpa Wiskira rumahnya serasa 'mati'.

Wingsil datang membawa bungkusan kain, lalu bersimpuh di depan tuannya. "Tuan," panggilnya lirih.

Lamunan Banyak Seta lenyap dan ia menoleh pada abdi setia itu. "Ada apa?"

Wingsil seperti kebingungan mencari kata-kata yang tepat. "Tuan akan ke mana setelah ini?"

"Mencari bapaku dan kalau memungkinkan mencari Paman Weling juga."

Wingsil kontan tertunduk. Gerak-gerik itu tentu saja membuat Banyak Seta curiga.

"Kenapa? Apa terjadi sesuatu?"

"Ini, Tuan." Wingsil menyodorkan bungkusan yang ia bawa ke hadapan Banyak Seta dengan mata membasah.

"Apa ini?" Banyak Seta menerima bungkusan itu dan menduga-duga isinya.

Wingsil hanya menggeleng kecil. Bibirnya gemetar karena tangis sehingga tak sanggup berkata-kata. Hanya tangannya memberi isyarat agar Banyak Seta segera membuka bungkusan itu.

Tanpa menunda lagi, Banyak Seta mengurai lipatan-lipatan pembungkus yang berupa kain katun berwarna putih bersih sampai isinya terkuak. Sebilah keris bersarung kayu jati yang diukir sulur-suluran. Melihat hiasan kuningan di gagangnya, Banyak Seta langsung tahu siapa pemilik pusaka itu. Sendi-sendinya serasa melonggar dan tulang-tulangnya seperti dicabuti. Ia tak sanggup mengucapkan apa pun walau seribu tanya menunggu untuk dilontarkan.

Wingsil sudah tersedu. Sebelah tangannya menutup mata yang mengucurkan butiran-butiran bening. "Nik, Nok, dan Gendhuk ... menemukan Paman Wiskira ... di ... di Jajaghu [1], Tuan." Wingsil terbata-bata, setengah merintih.

Napas Banyak Seta terembus, menguapkan sebagian pertanyaan yang terpendam. Pasti ketiga gadis itu menemukan ayahnya dalam kondisi kritis.

"Mereka menikam Paman Wiskira dengan tombak di dekat tembok pelataran candi bagian utara ... dan ...." Wingsil tidak sanggup melanjutkan dan hanya bisa meraung.

Mata Banyak Seta langsung terpejam. Akhirnya, ia tahu apa yang terjadi setelah ayahnya berpisah dengan Gayatri. Lelaki itu telah menghadang pasukan Kediri dengan gagah berani demi memberi kesempatan Gayatri menyelamatkan diri. Jajaghu terletak di tenggara ibukota, sedangkan Gayatri menuju Tawangalun di timur laut. Pasti Wiskira berusaha mengecoh orang-orang Kediri agar tidak mengejar Gayatri. Ia bisa membayangkan betapa berat perjuangan itu karena Wiskira berhasil mencapai Jajaghu yang berjarak satu hari perjalanan dari ibukota.

Entah berapa puluh tarikan napas lamanya kedua orang itu tenggelam dalam kesedihan. Badai perasaan itu reda setelah Banyak Seta menyadari bahwa sepedih apa pun, ia harus menerima suratan takdir ini. Toh semesta masih berbaik hati memberikan secuil hiburan. Berkat ketiga gadis itu, ia bisa menyimpan keris pusaka Wiskira dan tahu di mana sang ayah tiada sehingga bisa mengunjungi tempat itu untuk menghormati arwahnya.

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang