Dyah Wijaya mengamati iparnya yang tersenyum penuh percaya diri. Sosok Ardharaja sangat mirip dengan ayahandanya, Jayakatwang. Wajahnya bulat dan memiliki pipi yang padat, serta tulang rahang yang tidak menonjol. Matanya khas keluarga raja-raja Kediri; besar dan lebar, serta dinaungi bulu mata lentik nan panjang. Kulitnya sawo matang, berbeda dengan keluarga Dyah Wijaya yang kebanyakan kuning langsat. Wijaya masih mengingat masa kecil lelaki itu. Ardharaja adalah anak yang menggemaskan. Pipinya kerap menjadi sasaran cubitan para kerabat raja.
Ardharaja dipersilakan duduk di balai-balai bersama Dyah Wijaya. Sekarang, ia bisa menegakkan tubuh saat berhadapan dengan iparnya. Jabatan baru telah membuat Ardharaja tidak ragu mengangkat dagu di hadapan calon pewaris tahta Singasari itu. Ia bahkan tidak merasa perlu lagi untuk menghaturkan sembah. Bukankah posisi mereka sekarang sama-sama pucuk pimpinan pasukan tempur Singasari?
"Kanda Wijaya, maafkan perangai saya yang agak abai," sapa Ardharaja. Tidak ada rasa sungkan tersirat dalam sikapnya. Padahal, secara garis keturunan, Ardharaja menikahi adik Tribhuwana dari selir, sehingga Wijaya lebih tua baik secara posisi maupun usia.
Wijaya mengangkat alis dan tersenyum lebar. Ia masih bisa bersikap santai walaupun hatinya memanas melihat adik ipar yang mendadak berubah pongah. "Oh, apakah yang membuatmu berpikir seperti itu, Dinda?"
"Saya baru sempat mengunjungi Kanda setelah dua hari Kanda kembali ke istana ini," ucap Ardharaja.
"Saya tidak sepenting itu untuk kaukunjungi," balas Wijaya, sengaja merendah.
"Ah, jangan membuat saya semakin tidak enak hati. Sudah kewajiban saya untuk menghadap Kanda setelah mendapat amanat baru dari Baginda Raja. Tapi, dua hari ini saya terlalu sibuk membenahi pasukan sehingga baru malam ini sempat menemui Kanda." Ardharaja sengaja pamer jabatan barunya.
"Wah, pasti Paduka Raja sangat bangga memiliki menantu berbakat seperti Dinda," puji Wijaya. "Barangkali kesetiaan Dinda selama bertahun-tahun mengurus para dayang, makanan, serta selokan istana telah membuat Paduka Raja terkesan."
Wijaya kembali tersenyum lebar saat menemukan wajah Ardharaja berubah kecut. Lelaki itu pasti tahu Wijaya tengah mengejeknya karena menggunakan pengaruh Jayakatwang untuk mendapatkan posisi tinggi di pasukan tempur.
"Benar, Kanda. Untuk itulah saya datang kemari agar mendapatkan petunjuk dan bimbingan dari Kanda Wijaya, pemimpin pasukan Singasari yang ditakuti di seluruh dwipantara."
Wijaya tergelak. Matanya membentuk bulan sabit yang lucu sekali. "Dinda sangat pintar membuat saya senang," sindirnya. "Sekarang katakan apa yang membuatmu datang kemari?"
Ardharaja menggeser posisi duduk mendekati Wijaya. "Saya ingin membahas tentang Banyak Seta dan ayahnya. Saya dengar, mereka menumpuk kekayaan dengan menjual senjata istana."
Wijaya mulai merasa tidak nyaman karena persoalan Banyak Seta berada dalam wewenangnya, bukan Ardharaja. "Masalah itu sedang saya selidiki. Mengapa Dinda menanyakannya?"
"Saya ingin ikut dalam persidangan besok, Kanda. Saya dengar, Banyak Seta memfitnah ayah saya untuk menutupi perbuatannya."
Alis Wijaya terangkat. Sampai saat ini, semua hal yang menyangkut pengkhianatan Banyak Seta adalah rahasia yang hanya diketahui orang-orangnya. Bagaimana mungkin masalah itu sampai bocor ke orang luar?
"Wah, saya baru mendengarnya! Dari mana Dinda mendapat kabar tidak benar itu?"
Wajah Ardharaja langsung terlihat serba salah. Untuk sesaat, ia tidak bisa menjawab. Salah satu anak buah Ardharaja yang bernama Kebo Wungu dengan sigap bertindak melindungi junjungannya dengan membisikkan sesuatu. Pasti sebuah alasan masuk akal agar Wijaya tidak curiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...