62. Akhir Pralaya

204 50 67
                                    

Mahisa Ruhuh tertegun. Ia belum pernah melihat seorang perempuan memiliki keberanian dan harga diri sebesar Gayatri. Embusan angin laut tiba-tiba berpusing membentuk pusaran yang memisahkan dirinya dan sang putri. Mahisa Rubuh kontan mundur dengan bulu-bulu tubuh meremang. Ia seperti melihat Kertanagara berdiri di belakang putrinya. Diam-diam, nyalinya menciut. Jangan-jangan akibat membunuh Gayatri, ia mendapat murka Kertanagara dari alam para dewa.

"Rubuh!" hardik Ardharaja. "Apa yang kaupikirkan? Cepat bunuh!"

Mahisa Rubuh tersadar dari keraguan. Kerisnya terayun ke dada Gayatri. Namun, gerakannya tiba-tiba terhenti karena ia merasakan bahaya datang dari arah belakang. Sang panglima pasukan utara itu berusaha berkelit dan menangkis.

Terlambat. Sebuah anak panah melesat dari arah belakang dan langsung menembus bahu kirinya.

"Aaaargh!" Mahisa Rubuh ambruk sambil mengerang kesakitan.

☆☆☆

Dari kejauhan, Panji Patipati dan Banyak Seta telah melihat pasukan Ardharaja tengah menuruni tebing menuju pantai.

"Ah, pengeroyokan lagi," keluh Banyak Seta. Pasukan musuh berjumlah sekitar 150 orang. Sebagian berkuda, sebagian berjalan kaki. Dengan enam puluh prajurit ditambah Sarba, Kambang, dan Panji Patipati, ia boleh mengharapkan kemenangan, walaupun kalah jumlah. Namun tetap saja, mereka akan bertempur satu lawan dua atau tiga.

Mereka segera merapat ke pantai, kemudian membawa prajurit dari kelulus menyerbu orang-orang Kediri itu.

"Mereka akan membunuh Paduka Gayatri!" seru Panji Patipati.

Banyak Seta meregang busur, lalu membidik Mahisa Rubuh. Anak panah melesat di udara bertepatan dengan keris Mahisa Rubuh yang terayun ke dada Gayatri. Hanya sayang, Mahisa Rubuh sempat memutar tubuh sehingga mata panah tidak jadi menembus punggung lalu mengenai jantung, melainkan menyasar bahu, dari depan tembus ke belakang. 

"Ah, sial! Meleset!" geram Banyak Seta.

"Tidak juga. Dia pasti terluka parah," sahut Panji Patipati. "Raka hadapi Ardharaja, biar saya mengurus sisanya!" Panji Patipati menoleh kepada pasukan kelulus. "Seraaaang!"

Panji Patipati melesat ke kerumunan pasukan Kediri. Bersama Sarba, Kambang, dan pasukan kelulus, ia mengamuk habis-habisan. Banyak Seta sama sekali tidak meragukan kemampuan kepala pasukan pengawal Kertanagara itu. Buktinya Panji Patipati bila lolos dari kepungan Pudot dan Bowong di Balai Manguntur.

Banyak Seta sebenarnya ingin membunuh Mahisa Rubuh demi membalaskan dendam atas kematian Runi dan pasukan Singasari di Kembangsri. Namun, pemuda itu tengah terluka dan ia tidak mau pertarungan yang tidak kesatria.

Ardharaja tidak menyangka akan diserbu sisa-sisa pasukan Singasari. Mereka tidak memperhitungkan armada tempur laut yang berada di bawah pengawasan Dyah Wijaya karena sebagian besar tengah dikirim ke Melayu untuk menghadang serangan Mongol. Ternyata yang berjumlah sedikit ini malah merecoki pekerjaan pentingnya.

Ardharaja mengambil langkah berjaga-jaga. Ia sudah tahu kemampuan Banyak Seta dan Panji Patipati. Gayatri diseret ke merapat di depan tubuhnya. Satu tangan gadis itu dibekuk ke belakang dan lehernya ditekan dengan keris. Sedikit saja berontak, niscaya ujung keris akan menembus nadinya.

"Banyak Setaaaa! Suruh anak buahmu berhenti atau Gayatri matiiiii!" ancam Ardharaja untuk mencegah Banyak Seta—yang masih berada dalam jarak dua puluh tombak—mendekat.

Banyak Seta tidak menanggapi. Secepat kilat, dilemparnya belati menyasar kepala Ardharaja. Gerakan itu begitu cepat sehingga musuhnya tidak menyangka akan diserang. Ardharaja sempat berkelit, namun hal itu membuat leher Gayatri terbebas dari ancaman kerisnya. Dari jauh, Banyak Seta tidak memberi sang pangeran kesempatan untuk menarik napas. Pemuda itu melesat mendekat sambil mengirim pukulan jarak jauh. Ardharaja terpelanting jauh ke belakang. Banyak Seta segera memburunya. Berkat istirahat dua malam dan pemberian tenaga dalam oleh Dyah Wijaya, kekuatannya pulih dengan cepat. Walaupun belum sekuat dulu, cukuplah untuk meremukkan tubuh Ardharaja seperti biji melinjo yang ditumbuk menjadi emping.

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang