36. Arak dari Seni

183 40 21
                                    

Buat Sobat yang kangen Gayatri dan Wijaya, setelah part ini, ya

☘☘☘

Titah raja telah dikumandangkan. Dyah Wijaya dan Ardharaja meninggalkan balai pertemuan setelah menghaturkan sembah. Sementara itu, Kertanagara masih termangu di tempatnya. Mahapatihnya, Apanji Aragani, tahu ada hal yang mengganggu pikiran sang junjungan.

"Ampun, Paduka. Adakah hal yang membuat risau hati Paduka?"

Kertanagara menggeram lirih, lalu menoleh pada sang mahapatih. "Tidakkah engkau merasa ada yang janggal dalam masalah Jasun Wungkal tadi?"

"Tentu saja, Paduka. Hamba tidak mendengar apa pun tentang pasukan bayaran Mongol dan tiba-tiba Paduka Ardharaja menyebutnya."

"Hm, bagaimana menurutmu, Aragani? Haruskah aku mengeceknya sendiri?"

"Hamba sangat setuju dengan pemikiran Paduka. Izinkan Hamba mengirim telik sandi ke utara untuk memastikan berita tersebut," sahut Apanji Aragani.

Kertanagara menopang dagunya dengan tangan sambil berpikir keras. "Jangan ke utara, tapi utus mereka untuk mengecek daerah sepanjang sungai Brantas di wilayah selatan."

"Paduka ingin mengirim telik sandi ke selatan? Bukankah perusuhnya berada di utara?" Apanji Aragani kembali bertanya untuk memastikan pendengarannya tidak salah.

Kertanagara menggeleng kecil sambil tetap berkerut kening. "Tidak, bukan ke utara, tapi ke Selatan. Firasatku mengatakan ada awan badai menunggu di selatan."

Apanji Aragani mengangguk. "Siap laksanakan, Paduka. Hamba mohon waktu tujuh hari untuk memberi kabar."

"Hm, tujuh hari rasanya cukup untuk menyisir daerah selatan. Baiklah, Aragani, segeralah kirim telik sandi paling gesit yang kaupunya."

Apanji Aragani menghaturkan sembah, lalu meninggalkan balai pertemuan untuk menjalankan perintah Kertanagara. Sang raja sendiri kemudian bangkit dan berjalan gegas menuju balairung utama istana di mana upacara pancamakarapudja masih berlangsung. Ia melintas di sudut halaman istana di mana sebuah pohon kepel[1] tengah berbuah lebat. Entah mengapa, perhatiannya teralihkan dan langkahnya terhenti. Disuruhnya para abdi yang mengiringi untuk meninggalkannya sendiri.

Begitu Kertanagara sendirian saja, seseorang berpakaian kain tapih putih tiba-tiba bersimpuh di hadapannya.

"Hamba menghadap, Paduka."

"Mpu Sambi!" Kertanagara terjingkat kaget. "Mengapa Mpu berada di sini? Siapa menjaga ruang rahasia kita?"

"Ampun, Paduka. Hamba memohon untuk terakhir kali, utuslah pasukan ke selatan," pinta sang resi sambil bersujud di hadapan Kertanagara.

Mpu Sambi dengan teliti memilih berjumpa junjungannya di bawah pohon ini. Biji kepel posisinya melintang terhadap tangkainya. Dengan demikian, ia berharap Kertanagara memahami makna di balik simbol buah kepel, yaitu ia hendak memberi penghalang bagi semua yang berniat mencelakai sang raja.

"Permintaanmu semakin tinggi saja, Mpu. Dulu kauminta aku mengirim telik sandi ke selatan. Baru saja kukabulkan usul itu. sekarang kauminta aku mengirim pasukan tempur?"

"Mohon mendengarkan hamba, Paduka. Sudah tidak ada waktu untuk mengutus telik sandi. Sekarang saatnya Paduka mengirim pasukan ke selatan."

Kertanagara tersenyum tipis. Bagaimanapun anehnya permintaan itu, ia tetap harus menghormati resi sakti ini. "Pasukan bayaran Mongol baru saja merongrongku di utara, Mpu. Tidak mungkin mereka sudah berada di selatan pula."

Mpu Sambi menghela napas panjang. Kekhawatirannya telah menjadi kenyataan. "Menurut hamba, lebih baik Paduka Wijaya diutus ke selatan. Ancaman dari utara hanyalah kecil belaka. Pasti akan dapat diselesaikan oleh Panglima Rangga Lawe atau Lembu Sora."

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang