65. Pertama dan Terakhir

292 49 45
                                    


Mempersunting Gayatri?

Darah Banyak Seta berdesir. Jantungnya menderap kencang seperti kuda perang. Sungguh anugerah tak terkira bagi rakyat jelata dari desa kecil di pesisir tanah Jawa. Gayatri adalah gadis pertama yang menggetarkan hatinya. Bintang terang yang menyinari langit masa remaja, serta mimpi-mimpi liar yang menghiasi malam-malam sepi. Namun, sudah lama getaran itu ia benamkan jauh-jauh di dasar hati. Bukan hanya karena perbedaan status, melainkan akibat teriakan hati kecil yang mengingatkan bahwa keinginan itu tidak pantas bagi seorang prajurit.

Selama ini, hidupnya terasa mengalir dan mudah karena ia tidak pernah berkelahi dengan takdir. Apa yang diberikan semesta, dijalani dengan sungguh-sungguh dan sebaik mungkin. Saat harus berpisah dengan kedua orang tua, teman-teman bermain, serta laut untuk belajar di lereng Gunung Pawitra, ia menerimanya dengan ikhlas dan berusaha menjadi murid yang baik. Kemudian, saat mimpinya harus pupus karena gagal menjadi prajurit laut, ia juga tidak berlama-lama tenggelam dalam kekecewaan dan menerima suratan nasib menjadi pasukan elite Dyah Wijaya hingga akhirnya menjadi panglima muda yang paling disegani. Bahkan ketika dirinya harus mendekam di penjara karena dituduh berkhianat dan berbuat melanggar susila, jiwanya menerima dengan ikhlas. Semua itu berkat suara hati nurani yang selalu mengarahkannya pada kebaikan sekalipun dalam hitung-hitungan duniawi dirinya tengah merugi. Saat ini pun suara yang sama terus-menerus mengingatkan bahwa tidak pantas seorang kesatria membatalkan janji, apalagi janji itu adalah amanat terakhir seseorang sebelum meninggal.

Sebaliknya, Dyah Wijaya tidak mengerti mengapa Banyak Seta justru tidak terlihat bahagia setelah mendengar tawaran itu. "Mengapa wajahmu malah tegang? Apa yang kamu takutkan? Tawaranku tulus, Seta, tidak mengujimu seperti malam itu."

Dyah Wijaya terpaksa mengakui perbuatannya berpura-pura menjadi Gayatri dulu. Toh ia sangat yakin Banyak Seta mengetahui penyamarannya. "Maafkan aku. Waktu itu semua orang curiga pada kedekatan kalian sehingga aku terpaksa mengujinya sendiri."

"Duh, Paduka. Hamba sama sekali tidak berpikir Paduka tengah memberi ujian. Bukan itu yang mengganggu pikiran hamba."

"Lantas apa?"

"Hamba sudah telanjur membuat janji pada seseorang ...." Banyak Seta tahu akan mengecewakan sang pangeran, namun itulah yang diperintahkan oleh hati nuraninya. Ia tidak boleh mengecewakan Nari yang telah menunggu sangat lama.

"Janji pada siapa?"

"Ampun, Paduka. Hamba sudah menerima perjodohan dengan adik Kakang Piyung dan akan meminangnya setelah kembali ke Jawadwipa."

Dyah Wijaya tidak dapat berkata-kata untuk beberapa saat. Bayangkan saja, seorang putri raja kalah bersaing dengan gadis desa biasa. Keganjilan apa pula ini?

"Cantikkah gadis itu?"

"Menurut kakaknya, dia cantik dan budi pekertinya tidak mengecewakan."

Alis Dyah Wijaya tertaut. "Menurut kakaknya? Kamu belum pernah bertemu gadis itu?"

"Belum, Paduka."

"Jadi, kamu tidak mencintainya?"

"Belum, Paduka."

"Kamu baru akan belajar mencintai setelah meminangnya?" Dyah Wijaya menggeleng-geleng, tidak percaya pada keterangan itu. "Wah, Seta. Kamu sangat cerdas di medan laga, tapi tidak tahu apa-apa soal wanita. Sepertinya, Gayatri akan patah hati."

"Ampun, Paduka."

Dyah Wijaya memandang dalam-dalam wajah Banyak Seta yang tidak berani membalas tatapannya. Penolakan itu sangat tidak masuk akal, lebih mirip alasan yang dibuat-buat untuk menutupi penyebab sesungguhnya, yaitu tidak ingin merebut tunangan sang atasan, atau rasa rendah diri karena berbeda kasta. Jangan-jangan, gadis itu pun tidak benar-benar ada.

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang